Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

AJI: Hentikan Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan, dari Teror hingga Femisida

AJI Indonesia mendesak agar seluruh bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan, dari yang bentuknya teror hingga femisida.

30 Maret 2025 | 10.01 WIB

Paket berisi kepala babi yang ditujukan kepada wartawan Tempo Fransisca Christy Rosana di Kantor Tempo, Jakarta, 20 Maret 2025. Ikatan Wartawan Hukum atau Iwakum mengecam keras aksi teror berupa pengiriman kepala babi kepada wartawan Tempo dan host siniar Bocor Alus Politik Francisca Christy Rosana alias Cica. Iwakum menegaskan bahwa tindakan teror semacam ini bentuk intimidasi keji yang tidak hanya mengancam keselamatan individu, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers di Indonesia. Tidak boleh dibiarkan dan harus diusut tuntas oleh aparat penegak hukum. Tempo/Amston Probel
Perbesar
Paket berisi kepala babi yang ditujukan kepada wartawan Tempo Fransisca Christy Rosana di Kantor Tempo, Jakarta, 20 Maret 2025. Ikatan Wartawan Hukum atau Iwakum mengecam keras aksi teror berupa pengiriman kepala babi kepada wartawan Tempo dan host siniar Bocor Alus Politik Francisca Christy Rosana alias Cica. Iwakum menegaskan bahwa tindakan teror semacam ini bentuk intimidasi keji yang tidak hanya mengancam keselamatan individu, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers di Indonesia. Tidak boleh dibiarkan dan harus diusut tuntas oleh aparat penegak hukum. Tempo/Amston Probel

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam seluruh bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan, dari yang bentuknya teror hingga femisida. Ketua AJI Indonesia Nany Afrida mengatakan, jurnalis perempuan kerap menjadi target serangan dan intimidasi, terutama saat meliput isu-isu sensitif seperti konflik, kekerasan seksual, dan hak-hak perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, ancaman terhadap jurnalis perempuan sering kali diabaikan, misalnya dalam bentuk pelecehan seksual maupun serangan digital berhubungan dengan identitas gender. Nany menilai, pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan kadang dianggap sebagai hal yang biasa atau sekadar risiko pekerjaan, terutama dalam dunia jurnalistik yang masih dominan dengan maskulinitas. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Akibatnya, ancaman terhadap jurnalis perempuan kurang mendapat perhatian serius," kata Nany dalam keterangan tertulis, Jumat, 28 Maret 2025.

Mengabaikan kekerasan terhadap jurnalis perempuan, kata dia, tidak hanya memperburuk ketimpangan di dunia media massa. Lebih daripada itu, pengabaian kekerasan juga membahayakan kebebasan pers. “Perlindungan khusus dan peningkatan kesadaran sangat dibutuhkan, agar jurnalis perempuan dapat bekerja dengan aman dan tetap menyuarakan isu-isu penting tanpa rasa takut,” ujar Nany.

Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia Shinta Maharani mengatakan, jurnalis perempuan lebih rentan mengalami kekerasan. Konstruksi budaya patriarki memandang perempuan lebih lemah dan rendah dibandingkan laki-laki. 

"Budaya patriarki, sumber penindasan paling purba terhadap perempuan tumbuh subur di negara yang pemimpinnya tidak menghormati kebebasan sipil, demokrasi, keadilan gender, dan hak asasi manusia," tutur Shinta.

AJI Indonesia menilai, kekerasan terhadap jurnalis perempuan semakin menguat di tengah situasi politik dengan kepemimpinan yang militeristik dan menjauhi supremasi sipil. Kasus terbaru, teror kiriman kepala babi tanpa telinga kepada jurnalis Tempo yang juga host siniar Bocor Alus Politik, Francisca Christy Rosana alias Cica. 

Selain teror kepala babi, Cica juga terkena doxing atau penyebaran identitas pribadi. Peneror menyerang identitas gendernya sebagai perempuan melalui berbagai umpatan. Ibunda Cica juga mendapatkan serangan digital. 

Tak hanya Cica, kekerasan juga menimpa jurnalis perempuan yang meliput demonstrasi menolak revisi Undang-Undang TNI di berbagai kota. Sebagaimana diketahui, unjuk rasa terjadi di Bojonegoro, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Sukabumi, dan Jakarta. Aparat membubarkan demonstrasi menggunakan water cannon, mengejar pengunjuk rasa, menangkap, memukuli, hingga melontarkan kata-kata yang bernada pelecehan seksual. 

Berdasarkan catatan AJI, di Sukabumi, jurnalis perempuan dari Detik.com mendapatkan kekerasan saat meliput demo tersebut. Sementara di Malang, seorang jurnalis pers kampus mengalami pelecehan seksual secara verbal.

Selain itu, serangan terhadap jurnalis juga menyasar mereka karena identitas gendernya. Di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, jurnalis Newsway bernama Juwita diduga dibunuh tentara Angkatan Laut. "Kematian Juwita menggambarkan meningkatnya femisida yakni pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan, sehingga boleh berbuat sesuka hatinya," ujar Nany.

Berdasarkan data yang dihimpun AJI Indonesia, tujuh jurnalis perempuan menjadi korban dari total 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024. Sepanjang Januari hingga Maret 2025, 5 jurnalis menjadi korban dari total 23 kasus kekerasan.

Pilihan Editor: Kekerasan Seksual Guru Besar Fakultas Farmasi UGM

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus