Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akhir Lakon Sang Jaksa

HAKIM memvonis jaksa Urip Tri Gunawan 20 tahun penjara, lima tahun lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Menurut majelis hakim, tak ada yang bisa meringankan Urip—yang diadili dengan tuduhan menerima suap sekitar Rp 6 miliar. Inilah hukuman terberat yang pernah dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kepada seorang koruptor.

8 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU bersampul hitam itu tak pernah lepas dari tangan jaksa Urip Tri Gunawan. Sekitar satu jam menanti sidangnya pada Kamis pekan lalu, pria 44 tahun ini terus asyik dengan bukunya. Dia tak terusik dengan jepretan kamera yang terus-menerus mengambil gambarnya. Di buku itu, mantan ketua penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ini menulis sejumlah catatan tentang persidangannya.

Setelah sidang sekitar tiga bulan, hari itu nasib Urip ditentukan. Seperti biasa, dia tampil dengan tenang. Saat memasuki ruang sidang dan diserbu wartawan, ia menutup mulut rapat-rapat. Tak satu pun pertanyaan wartawan dia jawab. Dua pekan lalu, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut jaksa kelahiran Sragen itu hukuman 15 tahun penjara.

Saat lima anggota hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bergantian membacakan putusan, Urip mendengarkan dengan tekun sambil sesekali menulis di dalam buku hitamnya. Tapi, kala pembacaan mulai menginjak kesimpulan, wajahnya terlihat tegang. Dan saat ketua majelis hakim Teguh Hariyanto mengetuk palu, memvonisnya 20 tahun penjara, wajah Urip mendadak muram. Matanya menerawang. ”Terdakwa terbukti menerima suap dan melakukan pemerasan,” ujar Teguh. Teguh menambahkan, tidak ada satu pun hal yang meringankan terdakwa. Selain menghukum 20 tahun penjara, hakim memerintahkan Urip membayar denda Rp 500 juta. Inilah hukuman terberat yang pernah dijatuhkan pengadilan tersebut sejak dibentuk lima tahun silam.

l l l

ENAM bulan lalu Urip dibekuk oleh 15 anggota Komisi Pemberantasan Korupsi di depan rumah Sjamsul Nursalim di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Saat ia ditangkap, di dalam mobil Kijangnya, petugas menemukan satu kardus berisi dolar Amerika senilai 660 ribu—dalam rupiah sekitar 6 miliar. Inilah uang suap dari Artalyta Suryani, pengusaha yang juga orang dekat Sjamsul, agar jaksa kelahiran Sragen tersebut meredam kasus Sjamsul dalam soal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Transaksi suap terjadi dua hari setelah Kejaksaan Agung menyatakan tak terdapat tindak pidana dalam kasus Bantuan Likuiditas di Bank Dagang Nasional milik Sjamsul.

Sebagai penyuap, Artalyta sudah lebih dulu divonis. Pada 29 Juli lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman penjara lima tahun untuk perempuan yang populer dengan nama Ayin itu. Tapi, di persidangan, Artalyta dan Urip kompak menyatakan uang itu tak ada hubungannya dengan kasus Sjamsul.

Awalnya, saat diperiksa, Urip menyatakan uang itu ia pinjam dari Ayin untuk bisnis permata. Belakangan, muncul cerita lain: duit itu untuk usaha bengkel. Hakim tak percaya dengan pengakuan Urip dan Artalyta. ”Tidak ada surat perjanjian,” ujar Teguh. ”Yang ada hanya kesaksian Artalyta dan Urip.”

”Kasus Urip” ini turut ”merontokkan” sejumlah petinggi kejaksaan. Dua atasannya, Kemas Yahya Rahman dan Muhammad Salim, dicopot dari jabatan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan Direktur Penyidikan, pertengahan Maret lalu. Akhir Juni 2008, giliran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Untung Udji Santoso, ”masuk kotak”. Udji dicopot sesudah terungkap rekaman percakapannya dengan Artalyta sesaat setelah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Saat itu Udji memberikan jalan keluar: Artalyta akan ditangkap terlebih dulu oleh sebuah tim jaksa. ”Saya ini apes,” kata Udji kepada Tempo tentang nasibnya.

Vonis 20 tahun untuk Urip merupakan hukuman maksimal yang diatur dalam Pasal 12-B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Jaksa memakai pasal yang mengharamkan penyelenggara negara menerima suap itu untuk menjerat Urip. Ada sejumlah hal yang menurut hakim memberatkan Urip sehingga ia layak dihukum maksimal. Antara lain tidak mendukung program pemberantasan korupsi, merusak citra penegak hukum, melakukan diskriminasi dalam penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, berbelit-belit memberikan jawaban, dan melakukan tindak pidana lain.

”Tindak pidana lain” yang dimaksud hakim adalah pemerasan terhadap bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Glenn Muhammad Surya Yusuf. Menurut hakim, dari Glenn, Urip mendapat Rp 1 miliar. Uang tersebut diserahkan pengacara Glenn, Reno Iskandarsyah, karena Urip mengancam akan menjadikan Glenn tersangka. Urip membantah keterangan Reno. Pengacara Urip, Albab Setiawan, menuding Reno melakukan kebohongan. ”Kenapa ia tidak melapor jika memang ada pemerasan?” ujarnya.

Menurut sumber Tempo di Komisi Pemberantasan Korupsi, pemerasan yang dilakukan Urip terhadap Glenn mereka ketahui secara tak sengaja. Saat itu Komisi tengah menyadap semua telepon yang masuk ke nomor Urip. Saat itulah terdengar pembicaraan Urip-Reno. Setelah itu, Komisi mengikuti terus hubungan Urip dan Glenn.

Jatuhnya vonis berat terhadap Urip disambut lega sejumlah aktivis antikorupsi. ”Saya puas,” kata peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, yang ikut hadir dalam sidang Urip. Menurut dia, kasus ini tidak boleh berhenti dengan dihukumnya Urip dan Artalyta. ”Harus ditelusuri ke pangkal perkaranya, yaitu skandal penyelidikan Bantuan Likuiditas,” ujar Febri. Dia menekankan, kasus utama perkara ini belum disentuh. ”Dan mungkin melibatkan pejabat lebih tinggi.”

Memang ada yang tidak percaya Urip bermain sendiri dalam kasus ini. Dalam putusannya, hakim sempat menyinggung Kemas Yahya yang tidak membacakan temuan tim penyelidik soal adanya utang Sjamsul Rp 4,76 triliun saat mengumumkan dihentikannya kasus Bantuan Likuiditas Sjamsul. Adanya utang Sjamsul ini terungkap dalam kesaksian jaksa Hendro Dewanto. Kemas membantah ia menyembunyikan temuan. Menurut Kemas, ia tidak menyebutkan temuan semata-mata karena lupa.

Kendati puas dengan putusan hakim, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Sarjono Turin, menyatakan pihaknya belum menentukan sikap. Ia menyatakan ada perbedaan antara hakim dan dirinya dalam memandang kasus Glenn. Hakim, kata dia, berpendapat dalam kasus ini Urip memeras Glenn. ”Kami berpendapat itu adalah kesepakatan suap-menyuap,” ujarnya. Karena itu, katanya, ”Kami kini sedang pikir-pikir….”

Kejaksaan Agung sampai kini belum menentukan sikap terhadap Urip. Menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji, pihaknya belum akan mencopot status pegawai negeri sipil Urip. ”Masih ada proses hukum di tingkat pengadilan yang lebih tinggi,” ujarnya.

Harapan adanya ”keajaiban” dari pengadilan lebih tinggi juga datang dari pengacara Urip, Albab Setiawan. Albab menuding putusan hakim tidak adil karena banyak pertimbangan yang didasari asumsi belaka. ”Mudah-mudahan, di pengadilan banding, Urip mendapatkan keadilan,” ujarnya.

Pekan-pekan ini Urip akan mengajukan permohonan banding. Kepada Tempo, dia menyatakan menolak tuduhan hakim yang menyebutkan dirinya memberikan keterangan berbelit-belit. Ia juga membantah disebut arogan. ”Saya menyatakan penyesalan dan minta maaf, apa itu disebut jumawa?” ujarnya.

Nasi telah menjadi bubur. Karier bapak dua anak yang sudah 17 tahun menjadi jaksa ini tampaknya akan berakhir di balik bui.

Adek Media, Munawwaroh, Rini Kustiani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus