Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANTAN Gubernur Timor Timur itu akhirnya "melempar handuk". Setelah Jumat pekan lalu tak memenuhi panggilan jaksa, keesokan harinya Abilio Jose Osorio Soares memilih mengemas koper dan terbang ke Jakarta. "Saya siap dijebloskan ke penjara," kata pria yang gemar menato tubuhnya itu. Sabtu pekan lalu, menjelang petang, ia mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, langsung digelandang ke Penjara Cipinang.
Jumat pekan lalu, ketika harus menerima eksekusi, yang muncul justru sepucuk surat dari pengacaranya, O.C. Kaligis. "Dia meminta penundaan eksekusi dengan alasan sedang melakukan PK (peninjauan kembali)," ujar Harry Ismi, jaksa yang menangani eksekusi Abilio. Setelah kasasinya ditolak Mahkamah Agung pada 1 April lalu, mestinya jaksa bisa melakukan eksekusi. "Menurut undang-undang memang demikian, sekalipun dia mengajukan PK," ujar Harry.
Cuma, ketika itu Penjara Cipinang belum siap menerima Abilio. Belakangan, kejaksaan menyatakan eksekusi Abilio dilakukan setelah pemilu presiden, 5 Juli. "Kejaksaan memberi dia kesempatan menggunakan hak pilihnya," kata Direktur Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Kejaksaan Agung, I Ketut Murtika. Tak dijelaskan apakah penundaan itu ada hubungannya dengan ulang tahun ke-57 Abilio, pas 2 Juli.
Kini tak ada lagi alasan menunda eksekusi. Cipinang sudah siap. "Tak ada penyambutan khusus seperti penambahan tempat tidur. Semua biasa saja," kata Kepala Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Joko Marjo, kepada Erwin Dariyanto dari Tempo News Room. Abilio dinyatakan bertanggung jawab atas kerusuhan di Timor Timur pasca-jajak pendapat 1999.
Sebagai gubernur, ia dianggap bersalah karena pada 17 April 1999 mengizinkan ribuan anggota laskar Laksaur dan Mahidi menggelar apel di halaman kantornya. Aksi ini memicu huru-hara di Dili. Korban nyawa berjatuhan. "Sebagai gubernur, dia bertanggung jawab," kata Murtika. Jaksa menuntut Abilio 10 tahun penjara. Pengadilan hak asasi manusia menjatuhkan vonis tujuh tahun lebih rendah.
Abilio sendiri menolak disebut bertanggung jawab atas kerusuhan itu. Menurut dia, seharusnya yang dihukum adalah bekas Komandan Resor Militer 164 Wiradharma Brigadir Jenderal F.X. Tono Suratman, bekas Kepala Polda Timor Timur Brigadir Jenderal Polisi Timbul G. Silaen, dan bekas Panglima Kodam IX Udayana Mayor Jenderal Adam Damiri. "Kenyataannya, mereka divonis bebas dan saya dijadikan kambing hitam," ujarnya.
Abilio sangat kecewa majelis hakim menolak kasasinya. Kini ia mulai melirik lembaga hukum internasional. Dia mengaku sudah mengirim surat kepada International Court of Justice, International Criminal Tribunal, dan High Commission for Human Rights untuk membela dirinya. "Saya mencari keadilan di luar negeri karena negeri saya sendiri tidak mampu memberi keadilan," ujarnya, pahit.
Sejumlah warga Timor Timur bersikeras Abilio tidak bersalah. Sejak Jumat lalu puluhan warga memenuhi rumahnya di Jalan Sam Ratulangi, Kupang. Simpati juga datang dari Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao. Dalam suratnya kepada Abilio, Xanana menyatakan Abilio tidak bersalah dan tidak pantas dihukum. Parlemen nasional Timor Leste bahkan mengirim surat ke Mahkamah Agung, menyatakan Abilio tidak bersalah.
"Kami yakin bahwa fakta-fakta yang terjadi di Timor Timur adalah tanggung jawab TNI dan Polri. Untuk itu, kami harapkan Mahkamah Agung RI dapat memutuskan perkara kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur secara adil dengan menghormati kebenaran dan fakta-fakta," demikian petikan surat itu. Tentang rencananya meminta perlindungan hukum ke lembaga internasional, "Itu sah saja. Itu hak dia," kata I Ketut Murtika.
L.R. Baskoro, Jem's de Fortuna (Kupang), Khairunnisa, dan Rina R. (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo