Sidang pemeriksaan terdakwa penggelapan uang investor PT Kinarya Era Bumi Nusa (PT Kebun) senilai Rp 217 miliar bagai kehilangan roh. Dua terdakwa: Direktur Utama Djaslim Suin dan anaknya, Khanti Prawira, yang menjabat direktur pengelola, sampai sidang Rabu pekan lalu tak juga duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Padahal semua keterangan yang disampaikan dua orang terdakwa lainnya, Direktur Keuangan Satrio Gunawan dan Direktur Produksi Indra Puspa, selalu menyebut nama kedua orang itu sebagai yang bertanggung jawab.
Djaslim, 58 tahun, dan Khanti, 32 tahun, tak lagi muncul kembali setelah menghadiri sidang 23 Maret lalu. Kabarnya, mereka diculik sekelompok orang dan disekap di sebuah hotel di kawasan Petamburan, Jakarta. Ke mana ayah dan anak itu lenyap? Tak ada yang tahu pasti. "Lima terdakwa lainnya sudah diperiksa, tinggal dua orang itu yang tak pernah hadir. Saya minta jaksa menghadirkannya," kata Ketua Majelis Hakim Ida Bagus Putu Madeg kepada jaksa.
Namun, menurut Jaksa Fentje Eyfert Loway, justru hakimlah yang harus bertanggung jawab atas menghilangnya kedua terdakwa tersebut. "Karena hakim yang memberikan penangguhan penahanan dan mengulur-ulur waktu persidangan," ujar Fentje. Hakim Madeg agaknya punya alasan mengapa penangguhan penahanan Djaslim dan anaknya dilakukan. Menurut dia, karena kedua terdakwa itu cuma didakwa terlibat kasus penggelapan yang ancaman hukumannya empat tahun. "Lagi pula para investor sepakat ia berada di luar tahanan agar bisnisnya bisa ditata kembali," kata Madeg.
Bahkan, sekalipun tak ditangguhkan, menurut Madeg, Djaslim juga bakal lepas demi hukum karena masa tahanannya sudah hampir habis. Djaslim sudah ditahan selama enam bulan. Menurut jaksa pengganti, Cecep Sunarto, pihaknya pekan lalu sudah mengirim surat ketiga kalinya kepada polisi. "Jika belum juga datang, kami minta ia dimasukkan dalam daftar pencarian orang," kata Jaksa Cecep.
Ketidakhadiran Djaslim dan Khanti, selain mengganggu proses persidangan, sekaligus membuat geram para investor yang sering tampak hadir dalam setiap persidangan. "Kami cuma korban kelicikan Djaslim," kata Kosasih Dana Saputra, salah seorang investor. Mantan pilot pesawat Airbus Garuda Indonesia itu telah kehilangan dana yang disimpannya di PT Kebun senilai Rp 1,2 miliar. "Semua itu uang pensiun dan tabungan saya," kata pria berusia 64 tahun itu, cemas.
Kosasih hanyalah seorang dari 700 investor yang harus kehilangan uang tabungan atau harta simpanan. Ia tertarik menanamkan uang pensiunnya setelah koleganya sesama pensiunan pilot, Sri Subekti, mengajak ikut serta menyimpan di PT Kebun. Di situ Subekti menjadi komisaris utamanya. Kosasih membuka 15 buku, setiap buku bernilai Rp 100 juta. "Saya berharap dua hari sekali bisa menikmati bunganya. Maklum, sebagai pilot, saya cuma bisa menerbangkan pesawat, tak bisa bisnis lainnya," katanya.
Tujuh bulan, Kosasih menikmati bunga dari investasinya sebesar 7 persen tiap bulan. Namun, bencana datang mulai 22 November 2002. PT Kebun, yang bergerak dalam agrobisnis, tak lagi membayar profit. Bukan hanya itu, modal investor yang sudah disetor juga tak bisa dibayar kembali. Sesumbar Djaslim Suin bahwa perusahaan agrobisnis PT Kebun bakal mampu memberikan keuntungan di atas suku bunga bank, jika dikelola secara profesional, tak terbukti.
Memang akhirnya Djaslim ditahan polisi karena ada pengaduan dari dua investor. Proses berlanjut sampai ia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Namun, setelah sidang berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Hakim Putu Madeg melepaskannya. Sejak itu, jejak keberadaan Djaslim dan anaknya tak ditemukan.
Jauh sebelum itu, setelah beberapa investor asal Surabaya yang berusaha merebut kembali modal investasinya di PT Kebun dianggap cukup berhasil, sebagian investor lain pun membentuk Forum Komunikasi Investor Kebun (FKIK). Forum ini semula dibentuk untuk menelusuri, menyelamatkan, dan menghitung aset-aset yang ada. Sekaligus menyelamatkan dana milik para investor. Belakangan, forum yang diketuai Tarbiyanto ini, menurut sebagian investor, melenceng dari tujuan. Bukannya menyelamatkan aset untuk dibagi-bagi, tapi malah dianggap bekerja sama dengan Djaslim dan menikmati sendiri aset yang dapat dirampasnya.
Dua pekan lalu delapan investor melaporkan Tarbiyanto ke Polda Metro Jaya. Tuduhannya, menggelapkan aset yang telah diperoleh selama audit. "Seharusnya Tarbiyanto dan kawan-kawan secara transparan melaporkan kepada kami. Kok, malah umpet-umpetan," kata Kosasih.
Tarbiyanto tentu saja membantah tuduhan menggelapkan aset PT Kebun yang telah didapatnya. "Enggak benar tuduhan itu. Mereka (pelapor?Red) punya bukti apa bahwa saya menggelapkan?" kata pilot Garuda yang masih aktif itu. Soal laporan ke polisi? Tarbiyanto mengaku tak gentar. "Biasalah orang enggak puas, maklum kehilangan duit yang begitu besar. Kalau tuduhan itu terbukti tidak benar, saya akan menuntut balik," ujarnya dengan nada tinggi.
Persoalan baru ini muncul dan menambah rumit, padahal sidang peradilan terhadap tujuh direktur dan komisaris PT Kebun belum juga tuntas karena hilangnya terdakwa utama Djaslim dan anaknya. Meski demikian, Hakim Putu Madeg tetap memerintahkan jaksa menghadirkan paksa Djaslim dan Khanti untuk sidang pekan ini.
Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini