Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi atau MK membacakan putusan sengketa Pilpres dalam persidangan hari ini, Senin, 22 April 2024. Menanggapi rencana pembacaan putusan MK atas perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) itu, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, mengatakan hakim MK akan mempertimbangkan sekitar 96 juta suara yang memilih pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam memberikan putusannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Sekitar 96 juta suara rakyat memilih Prabowo-Gibran itu terbesar dalam sejarah pilpres dunia. Prabowo paling tinggi sebagai presiden dengan jumlah pemilih terbesar di dunia, bahkan sudah mendapatkan banyak ucapan selamat dari kepala negara lain," kata Ujang dalam keterangan tertulis di Jakarta pada Ahad, 21 April 2024 seperti dikutip Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) itu menilai, dalam putusan MK, hakim akan menitikberatkan pada bukti-bukti persidangan yang disampaikan pihak pemohon, tidak melihat pada jumlah suara yang didapatkan pasangan calon tertentu.
"Saya melihat hakim akan mempertimbangkan dengan objektif bukti-bukti dan fakta-fakta di persidangan," ujarnya.
Ujang menjelaskan, dalam masalah hukum, pemohon dituntut memberikan bukti-bukti yang valid agar permohonan mereka bisa dikabulkan oleh hakim. Namun, jika bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon tidak kuat, maka sudah dipastikan permohonan mereka akan ditolak.
"Kalau hukum ini kan soal pembuktian. Jadi, kalau kubu 01 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) dan 03 (Ganjar Pranowo-Mahfud Md) tidak bisa membuktikan kecurangan, ya tidak bisa. Artinya, kalau buktinya lemah, nggak valid, kemungkinan akan ditolak, kecuali kalau buktinya kuat," katanya menegaskan.
Bukti-bukti Soal Kecurangan Dinilai Kurang Kuat
Ujang menyebutkan, dalam persidangan sengketa Pilpres 2024 di MK, bukti-bukti yang dimunculkan atau diberikan di persidangan tidak terlalu kuat mengenai adanya kecurangan dalam hasil kemenangan yang diraih Prabowo-Gibran.
"Karena bagaimanapun hukum bicara soal alat bukti yang harus riil, nyata, dan ada duga-dugaan itu," katanya.
Ujang memberi contoh soal tudingan kecurangan bantuan sosial atau bansos dari kubu 01 dan 03 sehingga MK menghadirkan empat menteri kabinet Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Namun dia menilai kehadiran para menteri justru membuktikan tidak ada politisasi bansos seperti yang dituduhkan.
"Ternyata kehadiran menteri di persidangan itu tidak menguntungkan 01, tidak menguntungkan 03 juga, bahkan menguntungkan 02," ujar dia menjelaskan.
Dia menuturkan tudingan terjadinya kecurangan melalui bansos oleh kubu Prabowo-Gibran tidak mampu dibuktikan oleh pemohon. Karena itu, kata dia, peluang ditolaknya permohonan capres 01 dan 03 sangat besar.
"Saya melihat masa iya dengan suara yang besar itu didiskualifikasi, masa iya dibatalkan, kan tidak ada sejarahnya didiskualifikasi, tidak ada juga sejarahnya pembatalan kecuali ada pengulangan di beberapa TPS. Kalaupun itu ada dugaan kecurangan yang terbukti,” kata Ujang.
MK Tak Hanya Adili Angka Hasil Rekapitulasi Pemilu
Adapun Hakim MK Saldi Isra mengatakan MK tidak hanya mengadili angka-angka atau hasil rekapitulasi perhitungan suara. Namun, kata dia, MK juga dapat menilai hal-hal lain yang terkait dengan tahapan pemilu berkenaan dengan penetapan suara yang sah hasil Pemilu.
"Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24c ayat (1) UUD 1945 tidak hanya sebatas mengadili angka-angka atau hasil rekapitulasi perhitungan suara," ujar Saldi Isra dalam sidang putusan sengketa Pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin, 22 April 2024.
Karena itu, Saldi menilai, jika terjadi indikasi pemenuhan asas-asas dan prinsip Pemilu tidak terjadi pada tahapan pemilu sebelum penetapan hasil, apa pun hasilnya, hal tersebut jadi kewajiban MK mengadili keberatan atas hasil perhitungan suara pemilu.
Dengan demikian, kata Saldi, MK tidak memiliki alasan menghindar mengadili masalah hukum Pemilu berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilu, sepanjang hal demikian memang terkait dan berpengaruh terhadap hasil perolehan suara peserta Pemilu.
YOHANES MAHARSO JOHARSOYO | ANTARA