Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Efektifkah Amnesti Narapadina Pengguna Narkoba untuk Mengurangi Beban Penjara?

Rencana pemerintah memberikan amnesti kepada 44 ribu narapidana mendapat sambutan positif. Namun ada sejumlah catatan.

17 Desember 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rencana pemerintah memberikan amnesti kepada 44 ribu narapidana mendapat sambutan positif.

  • ICJR dan ahli hukum mengingatkan agar pemberian kebebasan itu tak berdampak negatif.

  • Hanya 1 dari 9 pengguna narkoba yang membutuhkan rehabilitasi.

RENCANA pemerintah memberikan amnesti atau pengampunan kepada 44 ribu narapidana mendapat sambutan positif dari sejumlah pihak. Rencana tersebut awalnya dilontarkan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas setelah mengikuti rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jumat, 13 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Supratman kembali menjelaskan kebijakan tersebut pada Senin, 16 Desember 2024. Dia mengatakan sebagian besar tahanan yang akan mendapat amnesti adalah narapidana kasus narkotik, khususnya mereka yang berstatus pengguna. "Kasus terbanyak adalah narapidana pengguna narkotik, hampir 39 ribu," katanya di Istana Negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amnesti, kata Supratman, hanya akan diberikan kepada pengguna narkoba dengan bukti kepemilikan narkotik di bawah 1 gram, sesuai dengan surat edaran Mahkamah Agung. Ia pun mengatakan jumlah narapidana yang mendapat amnesti sangat mungkin meningkat jika Mahkamah mengubah batas kepemilikan barang bukti untuk menganggap seseorang sebagai pengguna narkotik menjadi 5 gram.

Menurut Supratman ada dua alasan pemerintah dalam kebijakan pemberian amnesti tersebut. Pertama, mengurangi kelebihan beban di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan saat ini. Kedua, pertimbangan kemanusiaan.

Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menunjukkan jumlah penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan saat ini melampaui kapasitasnya. Saat ini total tahanan dan narapidana di seluruh Indonesia sebanyak 273.593 orang. Sementara kapasitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang hanya memiliki daya tampung 143.333 orang. Dari jumlah tahanan dan narapidana itu, hampir 50 persen merupakan narapidana kasus narkotik dan psikotropik.

Selain narapidana narkotik, Supratman menyatakan ada tiga kategori narapidana yang akan mendapat amnesti: narapidana dengan kondisi kesehatan tertentu, seperti sakit berkepanjangan dan gangguan kejiwaan; narapidana yang terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik soal penghinaan kepala negara; dan narapidana yang berhubungan dengan kasus Papua, tapi tak terlibat aksi bersenjata.

Politikus Partai Gerindra itu pun menyebutkan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan saat ini masih menilai atau mengasesmen narapidana yang berhak mendapat amnesti. Penilaian tersebut didasarkan pada sejumlah kriteria, seperti tindak pidananya dan masa hukuman yang sudah dijalani dengan perilaku baik. Setelah itu, menurut dia, pemerintah akan menyampaikan nama para narapidana kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan. "Satu per satu akan diajukan ke parlemen meski bentuknya kolektif," ucapnya.

Selain itu, pemerintah akan melibatkan para narapidana yang mendapat amnesti dalam program swasembada pangan dan komponen cadangan (komcad) Tentara Nasional Indonesia. "Kalau nanti dianggap sudah bebas, Presiden menyarankan bisa ikut dalam komponen cadangan bagi yang berusia produktif," katanya. 

Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) menyambut positif kebijakan pemberian amnesti ini. Namun mereka memberikan sejumlah catatan. Direktur Eksekutif ICJR Maidina Rahmawati mengatakan kebijakan ini harus dilaksanakan secara akuntabel dan transparan. Pemberian amnesti, menurut dia, harus dirumuskan setidaknya dalam peraturan menteri.

Penilaian juga harus berbasiskan hasil pembinaan yang memperhatikan aspek psikososial dan kesehatan. "Untuk menjamin standardisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti, sampai diusulkan kepada presiden serta dipertimbangkan oleh DPR," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Soal amnesti bagi narapidana narkotik, ICJR sudah menyuarakannya sejak masa pemerintahan Jokowi. Namun ICJR mengingatkan pemerintah tak gegabah memberlakukan rehabilitasi bagi semua narapidana narkotik. Mengutip data dari UNODC, Badan Persatuan Bangsa-Bangsa yang bertugas memerangi kejahatan narkotik dan kejahatan internasional lain, Maidina mengatakan hanya 13 persen pengguna yang masuk kategori penggunaan bermasalah.

Data tersebut juga menunjukkan hanya 1 dari 9 pengguna narkotik yang membutuhkan rehabilitasi. "Jika pengguna narkotik dikeluarkan dari pemenjaraan tapi semuanya diwajibkan menjalani rehabilitasi, hal tersebut hanya memindahkan overcrowding rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan ke lembaga rehabilitasi," kata Maidina.

Karena itu, ICJR menilai pemerintah harus segera merevisi Undang-Undang Narkotika. Menurut Maidina, salah satu poin revisi yang penting adalah dekriminalisasi bagi pengguna narkotik. Maidina menyatakan pengguna narkotik seharusnya ditangani lembaga kesehatan, bukan aparat penegak hukum. "Untuk menjamin keadilan, amnesti bagi pengguna narkotik harus dilegitimasi dengan pengesahan revisi Undang-Undang Narkotika yang memperkenalkan dekriminalisasi pengguna narkotik," tuturnya.

Selain itu, ICJR menyambut baik pemberian amnesti bagi narapidana yang terjerat pasal penghinaan presiden. Mereka menilai kebijakan ini perlu disempurnakan dengan penghapusan pasal penghinaan presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru yang mulai berlaku pada 2026.

Untuk narapidana yang mendapat amnesti karena sakit, ICJR menyarankan pemerintah mempertimbangkan tindak pidananya. Jika narapidana tersebut melakukan tindak pidana umum tertentu yang melibatkan korban lain, ICJR menilai pemberian amnesti tidak tepat. "Yang lebih tepat adalah grasi atau pengampunan presiden, bukan penghapusan pidana lewat amnesti," kata Maidina.

ICJR juga mengkritik rencana pemerintah melibatkan para eks narapidana sebagai pekerja dalam program swasembada pangan dan komcad TNI. ICJR menyatakan rencana tersebut rentan bersifat eksploitatif. "Karena amnesti, ya hapus semua ketentuan dan konsekuensi pidananya. Kalau hendak dipekerjakan, rekrut mereka dan beri upah," ucapnya.

Dosen hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan bahwa pemberian amnesti memang merupakan kewenangan presiden. Hal itu tertuang dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Namun presiden harus berdiskusi dan mendapat persetujuan DPR untuk menentukan siapa saja yang akan mendapat amnesti. Hanya, Fickar curiga ada alasan lain dalam penentuan empat kriteria narapidana yang mendapat amnesti tersebut. "Saya kira mungkin saja ini ada aspek politik juga," tuturnya.

Fickar mengatakan pemberian amnesti harus benar-benar tepat sasaran. Dia mewanti-wanti agar pemberian ampunan ini tidak menjadi celah untuk membebaskan narapidana "titipan". Karena itu, ia meminta adanya pemantauan khusus dan detail terhadap narapidana yang layak mendapat amnesti.

Selain itu, Fickar menyoroti rencana mempekerjakan eks narapidana dalam program swasembada pangan dan komcad TNI. Menurut dia, hal tersebut tidak sepenuhnya salah dan tak sepenuhnya benar. Dia menekankan pemerintah harus memiliki mekanisme yang jelas. Perlu diketahui bahwa status hukum setiap narapidana yang diberi amnesti sudah terhapuskan. "Dia sudah menjadi manusia yang merdeka," ujarnya.

Apabila pemerintah ingin menggunakan tenaga narapidana tersebut untuk program swasembada pangan dan komcad, menurut dia, perlu ada kontrak yang secara resmi mempekerjakan mereka. Sebab, kata Abdul, pemberian amnesti tidak harus diganti dengan kerja sosial. "Kalau para mantan narapidana itu mau, ya silakan. Tapi harus dipastikan bahwa itu tidak didasari paksaan. Jangan karena 'kami akan beri amnesti, tapi kalian harus kerjakan ini'. Itu tidak boleh," ucapnya.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Anis Hidayah juga meminta pemerintah berhati-hati dalam memberikan amnesti. Dia meminta pemerintah mengkaji secara mendalam serta membandingkannya dengan pemberian amnesti di negara lain.

Dia juga menekankan pemberian pengampunan bagi narapidana perlu dilandaskan pada aspek kemanusiaan. Jangan sampai, kata Anis, kebijakan pemberian amnesti itu justru menjadi bumerang bagi negara dalam memerangi kejahatan tertentu. "Jadi kami berharap keputusan ini bukan keputusan yang tiba-tiba dibuat. Ini melibatkan banyak sekali narapidana di Indonesia," tuturnya.

Anggota Komisi III DPR, Jazilul Fawaid, mengatakan Presiden Prabowo Subianto tentu telah mempertimbangkan kebijakan ini dengan matang. Begitu pula soal kriteria, syarat, dan prosedurnya. Namun dia berharap Presiden bisa selektif dalam memberikan amnesti. "Jangan sampai memunculkan kontroversi dan kesalahpahaman di masyarakat, apalagi jumlahnya cukup besar," katanya kepada Tempo, Senin, 16 Desember 2024.

Soal empat kriteria narapidana yang mendapat amnesti seperti disebutkan Menteri Hukum, politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu menyatakan persyaratan tersebut sudah tepat. "Namun tetap harus berhati-hati," ujarnya.

Jazilul pun meminta pemerintah mempertimbangkan rencana pelibatan eks narapidana dalam program swasembada pangan dan komcad TNI. Pasalnya, menurut dia, bisa jadi tidak semua eks narapidana itu memiliki kompetensi yang dibutuhkan. "Mungkin bisa saja dilibatkan, tapi mungkin juga tidak bisa diandalkan," ucapnya.

Wakil Ketua Komisi XIII DPR Andreas Hugo Pereira pun sependapat dengan Jazilul. Dia meminta pemerintah memastikan betul bahwa narapidana narkotik yang mendapat amnesti adalah pengguna, bukan pengedar, apalagi bandar. Karena itu, dia meminta kebijakan ini terus diawasi semua pihak. "Untuk kebijakan ini, kita harus berhati-hati. Masyarakat dan media harus mengawasi," tuturnya.

Dinda Shabrina dan Hendrik Yandwiputra, berkontribusi dalam penulisan laporan ini.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus