POLlSI sudah curiga: ada sesuatu di rumah di Jalan Pahlawan
Revolusi No. 28 dan sebuah lagi di Duren Sawit, dua-duanya di
Jakarta Timur. Rumah milik Awin (bukan nama sebenarnya) itu pada
1978 lalu pernah dipakai memproduksi obat palsu.
Dan belakangan ini, ada sebuah kolt tertutup di rumah itu yang
hanya keluar malam hari. Pemakaian listriknya pun banyak
sekali, lebih 11 ribu watt/bulan. Mustahil bila hanya untuk
keperluan rumahtangga. Polisi menduga, Awin telah memulai lagi
pekerjaannya yang lama.
Tapi polisi yang menggrebek rumah di Jalan Pahlawan Revolusi itu
Jumat pekan lalu, terheran-heran. Ketika diperiksa di rumah
berhalaman luas itu tak dijumpai sesuatu yang mencurigakan,
kecuali seekor anjing herder yang terus menyalak gencar. Awin
pun tenang-tenang saja menyambut kedatangan polisi berpakaian
preman. "Tidak ada apa-apa, Pak," katanya kepada Kapten Pol.
Gordon Siadari, Komandan Unit Narkotika Kodak VII yang memimpin
operasi itu.
Gordon tak terpengaruh. Ia menghitung luas bangunan serta luas
masing-masing kamarnya. Ternyata ada selisih 20 meter. Berarti
ada ruangan tersembunyi yang letaknya sedemikian rupa, tersamar
oleh kamar-kamar lain.
Di sebuah ruangan, Gordon melihat ada sebuah lemari tanggung
yang ternyata mudah digeser. Di belakangnya ada papan berpaku
besar-besar. Ternyata itu hanya kamuflase dari sebuah pintu
berukuran 0,5 x 1 meter. Waktu dibuka, dalam ruangan tersembunyi
itu ada 10 anak wanita dan mesin yang penuh serbuk putih. Juga
dijumpai banyak kemasan puyer obat sakit kepala cap macan.
Di rumah di Duren Sawit, dalam ruangan 2 x 10 meter yang juga
letaknya tersamar, dijumpai hal serupa. Ada 22 anak wanita
(berusia 10 sampai 13 tahun) tengah bekerja mengemas obat.
Mereka tampak pucat, satu di antaranya lumpuh, karena kondisi
tempat kerja dan makanan yang kurang memenuhi syarat. Mereka
itu, menurut Kol. Pol. Hindarto, Kepala Direktorat Reserse Kodak
VII, berasal dari Semarang dan Grobogan, Jawa Tengah. Mereka
dibawa langsung oleh seorang calo tenaga kerja dengan janji yang
manis. Ada yang sudah sebulan bekerja, tapi ada yang mengaku
baru beberapa hari.
Dengan ditemukannya bukti-bukti itu di rumahnya, Awin tak bisa
mungkir. Ia segera ditangkap. Namun ia enggan menyebut, sudah
berapa lama memulai lagi memalsu obat. Awin juga tak berbicara
banyak soal anak-anak yang ia pekerjakan.
Hindarto tak berhenti sampai di situ. Tiga hari kemudian anak
buahnya menggrebek lagi sebuah rumah di Jalan Pluit Sakti 8/54,
Jakarta Utara. Dalam sebuah ruangan berukuran 3 x 15 meter,
polisi menjumpai 3 buah mesin untuk memproduksi obat Novalgin
palsu. Juga ditemukan botol-botol kosong obat gosok dan botol
balsam cap macan.
Rumah itu, milik Harkam (bukan nama asli), pada 1978 ternyata
juga dipergunakan memproduksi obat palsu. Ketika itu Awin dan
Harkam bekerja sama. "Kini nampaknya mereka jalan
sendiri-sendiri," tutur Hindarto.
Malam itu juga Harkam langsung ditangkap bersama temannya, Hardi
(bukan nama cebenarnya) yang mengaku baru menyewa di rumah itu
selama sebulan.
Kelihatannya mereka baru mencoba berproduksi. Itu bisa dilihat
pada pondasi mesin dari coran semen yang masih basah. Mesinnya
sendiri yang diimpor dari Taiwan bertahun 1982, terletak di
samping pondasi, belum terpasang. Hasil penggrebekan itu membuat
Hindarto sedikit lega. Namun ia masih penasaran. Diduga pabrik
di Jalan Pluit Sakti itu hanya merupakan pengembangan dari
tempat produksi di tempat lain -- tapi belum diketahui di mana.
Sebab sejak 1970, Novalgin palsu disinyalir sudah beredar di
pasaran. Harganya murah, Rp 150 per sepuluh tablet, sementara
yang asli Rp 385.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, obat palsu itu dibuat
dengan campuran tepung jagung (maizena). Sudah tentu tak
berkhasiat, bahkan dikhawatirkan punya efek sampingan. "Obat
berbeda dengan baju yang walaupun palsu, tidak membahayakan,"
kata Hindarto.
Awin dan Harkam, keduanya keturunan Cina asal Medan, oleh
pengadilan sudah dijatuhi hukuman masing-masing 7 bulan penjara
1978 karena perbuatannya memalsu obat. Ada dugaan kuat, otak
pemalsuan obat itu diatur OTS, menantu Harkam yang lolos dari
penggrebekan tahun 1978. OTS yang tangannya sebelah kanan lumpuh
itu, diketahui bermukim di Singapura.
Terbongkarnya pabrik obat palsu kali ini, bermula dari informasi
tentang akan masuknya 600 ribu botol balsem cap macan dari
Hongkong. Pada 22 April lalu kapal Adiguna Karunia yang merapat
di Tanjungpriok membawa barang dimaksud. Dalam daftar manifes,
19 peti botol kosong itu tertulis dengan nama medical empty.
Siapa pengirim maupun calon penerimanya, tak disebut. Rupanya si
penerima sudah mencium jejaknya diikuti. Dua bulan barang itu
tak diambil dari gudang No. 212 Tanjungpriok. Ketika diteliti,
ternyata barang serupa dimasukkan tiap tahun sekali ke Indonesia
sejak 1979, dengan jumlah yang sama.
Berapa banyak obat-obatan palsu itu beredar, sulit diketahui.
Tapi pemasarannya, biasanya langsung kepada pengecer dan
pedagang di pinggir jalan.
Hindarto berharap perkara ini bisa cepat disidangkan. Kepada
para tersangka paling tidak bisa dituduhkan tiga hal: membuka
usaha gelap, memproduksi obat palsu serta mempekerjakan buruh di
bawah umur. Karena 32 buruh anak wanita cukup menjadi problem.
Sampai pekan lalu mereka ditampung di rumah Jl. Pahlawan
Revolusi dan makan minumnya diserahkan pada kebijaksanaan istri
Awin. Mereka sudah merengek minta dipulangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini