Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah paeran & ponirin

Kasus salah tangkap atas paeran dan ponirin yang dituduh melakukan pembunuhan sudah divonis. 3 th kemudian pembunuh sebenarnya diadili. lewat lbh medan, 2 terdakwa tersebut menyusun upaya pembebasan.(hk)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAERAN, napi berumur 38 tahun itu berjalan mengangkang seperti kingkong menuju ruang tamu di Lembaga Pemasyarakatan Rantau Prapat, Kabupaten Labuhan satu Sumatera Utara. "Beginilah keadaan saya," katanya kepada Kamaluddin Lubis, dan Syafruddin Lubis dari LBH Medan yang mengunjungi napi itu pekan lalu. la mengurut kedua kakinya dan berkata lagi: "Sungguh, saya tak pernah membunuh. Tapi di sini saya disiksa-disiksa" dan Paeran menangis. Temannya, Ponirin, 22 tahun, yang duduk di sebelahnya, membenarkan. Paeran dan Ponirin yang tak pernah bersekolah, berada di LP itu memang karena tuduhan melakukan pembunuhan. Pada 15 November 1977 Pengadilan Negeri Rantau Prapat menjatuhkan vonis 10 tahun untuk Paeran -- sedang Ponirin kena 7 tahun. Majelis Hakim yang diketuai M. Bangun berkeyakinan, keduanya terbukti bersalah telah membunuh tetangga mereka, Atmo (45 tahun) dan anaknya, Sumarni (17 tahun). Kejadian itu, seperti tuduhan jaksa, terjadi di Kampung Batu Enam Perpaungan Aek Kanopan, Labuhan Batu, 10 Maret 1977 dini hari. Namun sejak semula, Paeran maupun Ponirin menyangkal tuduhan. Juga sewaktu keduanya diperiksa Polisi Resort Aek Kanopan. Menurut pengakuan Paeran, selama pemeriksaan "saya selalu dihajar." Jari-jari kakinya sampai remuk, dan kakinya bergeser dari engselnya. Sebab itu bila kini ia berjalan, mirip kingkong, terbata-bata. Paeran merasa tak tahan waktu kakinya dikerek ke atas, sementara kepalanya yang di bawah dimasukkan dalam bak air. "Saya terpaksa bilang: "ya," kata Paeran lagi. Ponirin juga disiksa, meski tak sehebat Paeran. Dakwaan polisi jatuh pada mereka, karena di malam naas itu keduanya sama-sama nonton sandiwara dengan Atmo dan Sumarni. Bahkan keduanya, sempat mampir di rumah Atmo yang letaknya berdekatan. Dan beberapa hari sebelumnya, Sumiatun, istri Paeran, konon melaporkan pada suaminya bahwa ia diajak bersanggama oleh Atmo, tapi ditolak. Hal lain lagi yang membuat dakwaan polisi tertuju padanya, karena Atmo, entah karena sebab apa, menggantikan Paeran bekerja di ranch milik Gurdial Singh di kampung itu. Di kejaksaan, meskipun disiksa, Paeran tetap tak mau mengaku. Begitu pula Ponirin. Toh keduanya diajukan ke pengadilan. Semula memang ada tersangka lain, Suprapto, yang juga dicurigai membunuh Atmo dan anaknya karena ia pernah menumpang di rumah korban. Tapi ia dilepas oleh polisi setelah ditahan 8 hari. Dari lima saksi yang diajukan, tak satu pun memberatkan Paeran dan Ponirin. Mereka menyatakan tak tahu siapa yang membunuh Atmo, kecuali menyaksikan bahwa Atmo pagi 10 Maret 1977 itu kedapatan mati dengan tubuh penuh luka bekas pukulan. Adapun Sumarni yang mayatnya kedapatan sudah telanjang, mulutnya gompel digigit anjing. Hanya satu saksi, Nealsing alias Miyarsing -- adik sepupu Gurdial Singh yang memberatkan. Ia mengaku ikut terlibat melakukan pembunuhan itu dan memperkosa Sumarni, karena diancam Paeran dan Ponirin. Anehnya, Nealsing tak diajukan sebagai terdakwa saat itu. Setelah menjadi saksi, ia pindah ke Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang dan kawin dengan penduduk setempat. Nah, di sini ia membunuh istrinya karena dipergoki tengah berzina dengan seorang lelaki. Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadapnya. Baru setelah itu, Miyarsing diadili di Pengadilan Rantau Prapat atas tuduhan ikut melakukan pembunuhan atas diri Atmo dan memperkosa Sumarni. Pada 24 Juni 1980 -- 3 tahun seteah Paeran dan Ponirin diadili -- Nealsing dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Perkara ini kontan mengundang tanda tanya. Humas Kejaksaan Tinggi di Medan, Sugeng KS menyatakan penyidangan Nealsing untuk perkara Atmo dan Sumarni setelah jangka waktu 3 tahun cukup janggal. "Mestinya Nealsing diadili bersamaan waktunya dengan Paeran dan Ponirin," katanya. Yang membuatnya heran juga, Nealsing yang dalam kesaksiannya jelas mengaku ikut membunuh Atmo dan memperkosa Sumarni, ternyata namanya tak disebut-sebut oleh jaksa dalam tuduhan maupun tuntutan atas diri Paeran dan Ponirin. "Saksi yang mengaku ikut terlibat, jelas harus menjadi tertuduh. Kalau toh pengadilan membebaskannya, itu soal lain," kata Humas Pengadilan Tinggi di Medan, Thamrin Raja Bangsawan. Siapa Nealsing, yang pengakuannya membuat Paeran dan Ponirin masuk penjara, memang perlu dipertanyakan. Senin pekan lalu ketika TEMPO menemuinya di LP Tanjunggusta, Medan, ia menyatakan tak tahu siapa itu Atmo dan Sumarni. Ia juga tak ingat siapa Paeran dan Ponirin. Yang ia ingat hanyalah, "saya pernah disidangkan di Rantau Prapat gara-gara abang Gurdial Singh." Penampilan Nealsing memang seperti orang dungu. Nah setelah mempelajari berkas perkara Paeran dan Ponirin, yang mirip pengalaman Sengkon dan Karta itu, Kamaluddin maupun Syafruddin dari LBH Medan, yakin kedua buruh tani itu tak bersalah. "Alasan mengajukan Paeran dan Ponirin ke muka sidang, tidak kuat. Sebab kemudian ternyata ada Nealsing yang dahulu namanya tak pernah disebut-sebut sebagai terdakwa," kata Kamaluddin. Kedua pengacara itu berpendapat Nealsing-lah yang melakukan pembunuhan itu. Sedang Paeran dan Ponirin semata-mata hanya sebagai kambing hitam. Untuk itu, atas permintaan Paeran dan Ponirin, kedua pengacara itu kini sedang menyusun upaya pembebasan sekaligus tuntutan ganti rugi ke alamat pemerintah. Juga berniat menuntut oknum polisi dan jaksa yang dikatakan melakukan penyiksaan. Kamaluddin optimistis atas kemungkinan perkara itu bisa ditinjau kembali, meski Paeran dan Ponirin oleh Mahkamah Agung dalam putusannya di tingkat kasasi masing-masing dijatuhi hukuman 12 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus