HANYA dari kanan kiri saja Surip yakin benar, anaknya telah
dijual pengasuhnya, A Cu, seharga Rp 800 ribu kepada orang lain.
Padahal, ia hanya menerima "uang bersalin" sebesar Rp 40 ribu,
ketika A Cu memungut anak perempuannya yang baru berusia dua
minggu. Penduduk Kabanjahe di Kabupaten Karo itu, yang diketahui
tak punya pekerjaan tetap, menuntut "kelebihan" dari si A Cu.
A Cu geleng kepala -- tak tahu menahu perihal harga bayi
sesungguhnya. Pertama, ia merasa hanya mengulurkan tangan bagi
Surip, yang mengeluh tak mampu mengurus anaknya sendiri.
Anak-anak lelaki berumur 32 tahun tersebut, menurut A Cu,
"berserakan bersama orang lain".
Sejumlah uang yang pernah diberikan, katanya, betul-betul
bantuan ala kadarnya saja. "Bukan berdasarkan harga -- seperti
layaknya orang jual beli," kata A Cu lagi. Kedua, bahwa kemudian
bayi si Surip jatuh ke beberapa tangan, posisinya hanyalah
"penghubung" belaka.
Ia memang menyerahkan anak pungutnya kepada seorang wanita
bernama Bebo. Meski menerima imbalan, katanya, hal itu tak
bersifat jual beli.
Ia hanya menerima sejumlah uang dalam amplop merah yang dalam
bahasa Cina setempat disebut Angpao. Artinya pemberian sukarela
-- ia tak mau menyebutkan jumlahnya.
A Cu tak tahu bagaimana bekas bayi asuhannya teroper-oper dan
kemudian jatuh ke pelukan Nam Hwa. Itu sebabnya ia menolak
tuntutan Surip. Mereka bertengkar. Lalu urusan jatuh ke tangan
polisi. Dari situ muncul kasus-kasus yang sama di daerah lain.
Praktek "jual-beli" bayi, begitu sebuah sumber TEMPO menyatakan,
juga terdengar di Pematangsiantar, Tanjungbalai, Medan dan
bahkan di Pakanbaru.
Ceritanya macam-macam dan dibumbui pula ada penculikan bayi.
Bila tak ada orang melarat menjual bayinya, begitu ceritanya,
para penjual tak segan-segan melakukan penculikan. Sebegitu jauh
belum ada cerita resmi dari kepolisian -- yang sejak beberapa
bulan ini mengurus perkara tersebut - tentang apa yang disebut
"sindikat" penculikan dan jual beli bayi. Orang seperti Tan Co
Bo alias Bebo (51 tahun) misalnya, menurut polisi, mengaku telah
beberapa kali "membeli dan menjual" bayi. Beberapa tahun yang
lalu wanita tersebut juga pernah dihukum tiga bulan penjara
untuk kejahatan yang sama.
Tentang penculikan bayi memang belum ada kabar yang jelas. Yang
lebih pasti ialah banyak orang yang tak mampu mengurus bayinya
dan mereka lebih suka menyerahkannya kepada orang-orang seperti
Bebo dengan menerima imbalan "uang bersalin" atau "uang susu".
Seperti yang dilakukan Legini. Perempuan muda ini (20 tahun),
penduduk Lubukpakam (30 km dari Medan), melahirkan anak dari
seorang laki-laki yang tak bertanggungjawab. Secara sukarela,
katanya, ia menyerahkan anaknya kepada seorang wanita bernama
Mety. Tanpa diminta, tutur Legini, wanita tersebut memberinya
uang Rp 80 ribu.
Dari wanita tersebut anak si Legini jatuh ke tangan Bebo. Dan
yang terakhir itu, menurut keterangan yang diperoleh TEMPO,
"dibeli" oleh seseorang yang menginginkan anak. Harganya? Rp 900
ribu!
Mety keberatan disebut calo. "Saya hanya menolong menghubungkan
antara yang butuh anak dan orang yang tak mampu mengurus anak,"
katanya. Ia mengaku hanya menerima sekedar ongkos taksi.
Sedangkan keluarga yang menerima anak Legini, penduduk
Perbaungan, juga tak mau disalahkan. Mereka merindukan anak
--mengapa tak menerima tawaran Bebo? Mereka tak tertarik dengan
kerepotan mengangkat anak melalui pengadilan.
Kesulitan yang dialami Nam Hwa (42 tahun) rupanya menjadi contoh
buat orang tua angkat "gelap" lainnya. Banyak di antara mereka
yang terpaksa menyembunyikan atau mengembalikan anak-anak
asuhannya kepada orang tuanya lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini