MARINGAN Saut Panjaitan dan istrinya, Purnama, terpaksa
meninggalkan anaknya yang baru berumur 8 dan 4 tahun -- mungkin
harus sampai lebih sepuluh tahun. Sebab Maringan (39 rahun)
harus menjalani hukuman selama 17 tahun di Penjara Cipinang
(Jakarta). Sedangkan Purnama boru Napitupulu harus pula
meringkuk 12 tahun di Penjara Wanita Tangerang.
Oleh pengadilan, keduanya dianggap terbukti membunuh seorang
pemuda, Achmad Ridiyarsyah (16 tahun), tetangga mereka di
Palangkaraya sekitar lima tahun lalu. Namun hingga saat ini
suami istri tersebut tetap merasa tidak bersalah. Mereka
berusaha untuk membebaskan diri -- misalnya, dengan cara menulis
surat kepada DPR-RI. Minggu lalu keduanya didengar pengaduannya
oleh Anggota Komisi III/DPR Albert Hasibuan.
Di LPK Cipinang, Maringan, Staf Walikota Palangkaraya yang
berkumis lebat dan tak suka mengenakan seragam narapidana
tersebut menceritakan pengalamannya dengan lancar. Malam itu, 14
September 1976, katanya ia baru pulang dari pasar -- membeli
lampu patromaks. Persis di jalan depan rumahnya, ia melihat
sesosok tubuh tergeletak, mukanya tertelungkup.
Maringan turun dari sepeda motornya dan memeriksa keadaan yang
malang tersebut. Tapi sosok tubuh itu tak bergerak. Maringan,
katanya, lalu memberitahu istrinya dan beberapa tetangga. Korban
ternyata Iyar, tetangga Maringan sendiri di perumahan pegawai
situ, telah tak bernapas lagi.
Polisi turun tangan. Hasilnya, cerita, Maringan dianggap isapan
jempol. Sebab seseorang, Khairuddun Pulungan, bercerita lain.
Pada malam kejadian itu, cerita Khairuddin kepada polisi maupun
kepada hakim kemudian, ia diajak Maringan membunuh Iyar.
Mula-mula orang ini menolak. Tapi, katanya, Maringan memaksa dan
mengancamnya dengan sebuah pisau belati. Tak dijelaskan oleh
Khairuddin, untuk apa Maringan harus membunuh seorang pemuda
belasan tahun.
Begitulah, Khairuddin ternyata mau pula dipaksa Maringan. Ia
juga mengatakan, di samping ia sendiri ada orang lain yang turut
membunuh Iyar, yaitu seorang polisi bernama Regen Panjaitan. Ia
sendiri ikut menyumpal mulut dan menginjak pundak korban. Istri
Maringan, katanya, turut pula bersama mereka ketika itu.
Berangkat dari cerita itulah polisi kemudian menangkap Maringan
dan istrinya. Selanjutnya, menurut Maringan, merupakan cerita
penuh derita. Berbagai macam siksaan diterimanya siang dan malam
dari polisi yang memeriksanya. Tamatan APDN (Akademi
Pemerintahan Dalam Negeri) itu katanya pula pernah sampai
direndam di air di tengah hutan pada malam hari.
Istrinya juga bercerita begitu. Tiga hari setelah suaminya. Ia
diambil polisi dari anak-anaknya, disuruh pula mengakui cerita
Khairuddin -- seperti diutarakan polisi. "Tapi saya tak pemah
mengaku, karena saya memang tak pernah berbuat," katanya di LP
Wanita Tangerang. Sudah tentu, tuturnya, ia mengalami siksaan
berat. Pernah, katanya, ia ditelanjangi pemeriksa di aula kantor
polisi -- ditonton para polisi yang tak ada sangkut-pautnya
dengan pemeriksaan. Bagaimana bisa begitu? "Sudahlah", ujar
Purnama, "jangan tanyakan lagi-saya malu mengingatnya."
Meski runyam keadaannya, suami istri tersebut tetap menolak
tuduhan membunuh Iyar. Pun di pengadilan, mereka bersikeras,
sehingga tak terungkap motif pembunuhan. Namun mereka toh
akhirnya dihukum bersama Khairuddin dan Regen.
Pada mulanya mereka dihukum di Palangkaraya -- dekat anak-anak
mereka. Tapi keduanya kemudian minta dipindahkan ke Jakarta.
"Untuk mencari keadilan," ujar Maringan mantap. Sebab di
Palangkaraya, menurut Purnama, "tak ada yang mempedulikan nasib
kami." Dan memang benar. Segera surat mereka kepada DPR mendapat
perhatian Albert Hasibuan.
Dari cerita keduanya, Albert belum dapat menarik kesimpulan.
Cuma, kata Albert, "memang ada kejanggalan: hakim tak pernah
memberi kesempatan kepada mereka untuk mengajukan saksi-saksi
yang meringankan." Albert sedang mencoba menarik perhatian para
petinggi hukum untuk mencarikan jalan keluar bagi Maringan dan
istrinya.
Caranya? Memang repot. Keputusan pengadilan terhadap keduanya
sudah pasti. Sementara belum menemukan "bukti baru" -- misalnya
ada pembunuh Iyar yang sebenarnya -- dari cerita Maringan maupun
Purnama. Dengan begitu lembaga peninjauan kembali, herziening,
seperti yang pernah diberlakukan bagi Sengkon dan Karta, menurut
Albert belum diperhitungkan.
Namun, Kapolri Jenderal Awaluddin Djamin terundang juga untuk
bertindak. Polisi telah diminta untuk mengusut cerita Maringan
dan Purnama. Hasilnya-begitulah -- Kepolisian Palangkaraya
membantah. "Lebih baik Maringan diperiksa dokter jiwa," ujar
Danres Palang karaya, Letkol Yusuf Sutiyono. Alasannya, ulah
Maringan di tahanan polisi aneh-aneh saja. Kadang-kadang, kau
Yusuf, "ia merasa didatangi datuknya dan ketakutan karena
didatangi ular".
Hakim Sofyan Zen, yang memimpin persidangan perkara Maringan dan
Purnama, mengingatkan: "Sebagian besar saksi memberatkan
mereka." Keluarga korban pun dengan yakin menyatakan adalah
Maringan dan Purnama yang bertanggungjawab terhadap kematian
Iyar. Motifnya? Ayah korban, Anang Acil menduga "soal cemburu. "
Boleh jadi Maringan cemburu karena istrinya akrab dengan Iyar,
katanya.
"Saya yakin Maringan membunuhnya," ujar Anang (50 tahun), "kalau
ia tak puas dengan hukumannya -- itu haknya." Cuma, apa yang
bisa dilakukan Maringan dan istrinya dengan "haknya" tersebut?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini