TONNY Ch. Martawinata sungguh percaya diri. Sudah beberapa hari diincar polisi karena namanya dikaitkan dengan kasus pembobolan Bank Internasional Indonesia (BII) sebesar Rp 31 miliar, ia tenang-tenang saja. Pengusaha ini tetap datang ke kantornya di Lina Building, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Di sini pula dia ditangkap polisi pada Rabu pekan lalu. Tonny sempat kaget, tapi ia tak kuasa menolak ketika digelandang petugas ke Markas Besar Kepolisian RI.
Penggangsiran BII diduga dilakukan oleh sebuah sindikat. Tonny salah satu anggotanya. Caranya? "Dengan membuat surat perintah transfer palsu terhadap deposito milik Yayasan Dana Pensiun Pusri (Dapensri) di Palembang," ujar Brigjen Samuel Ismoko, seorang direktur di Mabes Polri.
Aksi itu melibatkan pula orang dalam BII. Lima hari sebelumnya, polisi sudah menangkap Wahyu Hartanto, Kepala BII Cabang Pembantu Senen, Jakarta. Dia diduga mengetahui pembobolan deposito Yayasan Dapensri yang disimpan di BII.
Pada September tahun lalu, Dapensri memang menaruh deposito Rp 25 miliar dan Rp 6 miliar, sehingga totalnya Rp 31 miliar, di BII Senen. Setiap bulan, pihak Dapensri pun selalu mendapatkan bunganya.
Nah, menjelang jatuh tempo awal Juli lalu, menurut Sekretaris PT Pusri Djafarudin Lexy, pihaknya mengajukan pencairan dana kepada BII. Permintaan ini mendapatkan jawaban yang mengejutkan. Menurut petugas BII, dana deposito Dapensri bukan berjumlah Rp 31 miliar, melainkan hanya Rp 200 juta, yang berupa dua lembar sertifikat deposito masing-masing Rp 100 juta.
"Saya heran kenapa tiba-tiba muncul angka itu. Masa, Dapensri mau mendepositokan Rp 200 juta jauh-jauh ke Jakarta? Logikanya kan tidak masuk akal," kata Lexy. Lagi pula, ia menambahkan, selama ini Dapensri mendepositokan duitnya paling sedikit Rp 5 miliar.
Karena merasa dirugikan, pekan lalu, Dapensri akhirnya mensomasi BII su-paya membayarkan dana deposito milik Dapensri sebesar Rp 31 miliar. Jika somasi tidak diindahkan, Dapensri akan mempailitkan BII. Peringatan ini dijawab oleh BII dengan meminta Dapensri menunggu proses penyidikan yang dilakukan polisi.
Kenapa duit Dapensri menciut? BII punya jawaban. Amir Syamsuddin, pengacara BII, membenarkan bahwa Dapensri pernah mau menempatkan dana deposito senilai Rp 31 miliar. Tapi penempatan deposito itu dibatalkan melalui surat perintah pembatalan dan BII diminta mentransfer dana itu ke rekening PT Kharisma International Hotel di Cirebon.
Sertifikat deposito yang dipegang oleh Dapensri selama ini diduga palsu. "Ini terlihat dari data deposan yang diketik dengan mesin tik manual, padahal sertifikat deposito asli sudah menggunakan komputer," kata Amir.
Semua itu, termasuk pengiriman bunga bulanan dan munculnya deposito Dapensri sebesar Rp 200 juta, diduga merupakan rekayasa sindikat pembobol. Soalnya, menurut polisi, surat perintah transfer ke PT Kharisma pun diduga palsu. Dengan kata lain, selama ini Dapensri tidak pernah membatalkan deposito senilai Rp 31 miliar dan memindahkan dananya ke pihak lain.
Pembobolan terkuak setelah kepolisian mendapatkan aliran dana yang masuk ke PT Kharisma. Dana itu dijadikan bancakan oleh orang-orang yang diduga terlibat. Tonny mendapat jatah Rp 2,75 miliar dan Wahyu Hartanto kebagian Rp 325 juta. Sisanya dibagi ke belasan nama lain.
TEMPO sudah berusaha menghubungi keluarga atau pengacara Tonny, tapi mengalami kesulitan. Ternyata selama ini ia tidak tinggal di Jalan Pal Batu, Tebet, Jakarta, seperti alamat yang dipegang polisi. Hingga kini, pengusaha PT Tirtamas Sriwijaya itu juga belum menunjuk pengacaranya.
Yang mengejutkan, di antara belasan nama tersebut, seorang direktur PT Pusri diduga juga kecipratan duit hasil penggangsiran. "Kami sedang mendalami keterlibatan nama-nama itu," ujar Brigjen Ismoko.
Dugaan keterlibatan orang dalam PT Pusri itu buru-buru ditepis Lexy. "Tidak mungkin dia terlibat. Saya tahu betul, dia orang yang jujur. Sehari-hari saya berteman," ujarnya.
Menurut sumber TEMPO, seorang terdakwa pembobol BRI yang kini sedang diadili juga terlibat dalam aksi di BII ini. Dia mendapatkan aliran dana Rp 13,5 miliar. Melihat besarnya duit yang didapat, sang terdakwa bukan sekadar pemeran pembantu.
Wahyu Hartanto dan Tonny, dua tersangka yang sudah ditangkap, kini mendekam di sel tahanan Mabes Polri. Menurut Ismoko, kendati kondisinya sehat-sehat saja, mereka tampak mengalami stres. "Itu wajar karena orang di tahanan kan tidak sebebas orang di luar," katanya.
Mungkin mereka sebelumnya mengira kasus ini tak bakal terendus polisi karena modusnya terbilang canggih. Bahkan Tonny dengan penuh percaya diri memasang pelang di kantornya dengan tulisan "Posko PDIP" dan gambar Mega-Hasyim. Orang lalu menduga dia menjadi anggota tim sukses calon presiden Megawati. Hanya, dugaan ini dibantah Sekretaris PDI Perjuangan Sumatera Selatan, Kuwatno. Katanya, nama Tonny Martawinata tidak ada dalam tim sukses Mega-Hasyim di Palembang.
Temuan polisi sendiri? Brigjen Ismoko mengungkapkan, kebetulan saja di kantornya ada pelang bersimbol Megawati. "Jangan dong dikait-kaitkan. Ini tindakan kriminal murni, jangan dipolitisasi," katanya.
Eni Saeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini