Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DATANG dari Robin Hood’s Bay, North Yorkshire, Inggris, Cliff Southcombe punya agenda mustahak di Indonesia. Salah satunya menularkan gagasan kewirausahaan sosial. Oleh British Council, ia diminta membagi pengalamannya dalam mengelola museum sebagai kewirausahaan sosial berbasis komunitas, serta bagaimana merumuskan skema dana investasi yang ditujukan bagi wirausaha sosial.
Cliff banyak makan asam-garam. Sejak 1980, ia mendirikan sekaligus mengelola beberapa usaha sosial. Di antaranya membuat usaha yang menyediakan pekerjaan bagi para penyandang cacat, menyediakan akses Internet pita lebar dengan biaya murah, serta membantu para petani di dunia ketiga memperoleh transaksi perdagangan yang lebih adil. Ia memberikan pelatihan kepada orang-orang yang ingin terlibat dalam kewirausahaan sosial, yang percaya bahwa profit bukan lagi fokus utama dalam berbisnis.
Sederet pengalaman tadi membuat Direktur Social Enterprise UK Ltd. dan Social Enterprise Europe Ltd. ini diundang ke berbagai negara, seperti Cina, Filipina, Vietnam, dan Nigeria, untuk menularkan ”virus” kewirausahaan sosial. ”Karena sektor ini terbukti satu-satunya yang tidak terkena dampak krisis finansial global,” kata pria 58 tahun ini kepada Yandhrie Arvian, Selasa pekan lalu, di sela acara Global Entrepreneurship Week 2009 di Rasuna Episentrum, Kuningan, Jakarta. Terbukti, di Inggris, wirausaha sosial mendulang pendapatan 27 miliar pound sterling atau sekitar Rp 426 triliun dan setiap tahun menyumbangkan 8,4 miliar pound sterling terhadap produk domestik bruto negara itu.
Mengapa kewirausahaan sosial penting buat Indonesia?
Isu ini penting karena di tengah arus pergerakan global, kita harus menciptakan usaha yang memberikan kesejahteraan buat banyak orang. Tidak mungkin mendirikan usaha tanpa mempedulikan isu sosial dan lingkungan. Yang penting justru mendirikan usaha yang bisa memberikan keuntungan sosial, peduli isu perubahan iklim, juga menyelesaikan problem sosial seperti kemiskinan. Setumpuk masalah tadi juga problem yang mesti diselesaikan di Indonesia. Dan peluang untuk memecahkannya terbuka dengan mengembangkan kewirausahaan sosial. Di Inggris, misalnya, ada 67 ribu wirausaha sosial mempekerjakan ratusan ribu pekerja dan berkontribusi terhadap delapan persen produk domestik bruto.
Apa hambatan yang dirasakan oleh wirausaha sosial dan bagaimana mengatasinya?
Yang pertama tentu saja kepercayaan diri. Mereka harus percaya diri terhadap institusi keuangan dan komunitasnya. Ini tentu tidak mudah, tapi mereka bisa belajar dari pengalaman di negara lain. Sebab, pada dasarnya, gerakan ini tidak mencerminkan sesuatu yang baru dalam berbisnis. Yang dibutuhkan hanya pengalaman. Itu sebabnya harus ada pembelajaran bagaimana mendirikan usaha sosial dan bagaimana mengatur serta menjalankannya.
Siapa yang harus menaruh perhatian pada isu ini?
Dukungan pemerintah penting, tapi tidak terlalu krusial. Sebab, orang-orang yang terlibat dalam gerakan ini sudah biasa bekerja di dalam komunitas. Lembaga swadaya masyarakat terbiasa bekerja dengan masalah-masalah sosial, dan anak-anak muda di universitas tertarik membuat usaha sendiri. Mereka yang terlibat gerakan ini sudah bergerak lebih maju. Dukungan pemerintah biasanya mengikuti gerakan yang sudah ada. Pemerintah Inggris dan negara lain di Eropa kini memberikan dukungan penuh terhadap wirausaha sosial.
Tapi, dalam beberapa kasus, mereka sulit mendapat pinjaman bank?
Ini fakta bahwa wirausaha sosial harus belajar mengukur keuntungan. Ada sejumlah teknik tentang social auditing untuk menghitung social return on investment. Ini ukuran yang menunjukkan efisien atau tidaknya suatu usaha sosial, tidak hanya secara komersial, tapi juga keuntungan sosial. Sehingga setiap dana yang ditanam, yang didapat dari donor atau bank, tidak cuma memberikan imbal balik, tapi menyumbangkan tambahan investasi sosial, yang kadang tingkat pengembaliannya mencapai tiga atau bahkan enam kali lipat dari return on investment. Itu sebabnya penting memberikan edukasi kepada bank atau penyandang dana untuk memahami beragam hasil investasi.
Setelah krisis finansial global, bagaimana peluang wirausaha sosial?
Krisis finansial global begitu kuat menghantam sehingga sektor publik harus ikut menanggung kerugian yang diderita bank. Sedangkan sektor swasta tidak mudah lagi mendapatkan dana. Satu-satunya sektor yang tidak terkena imbas krisis finansial global adalah wirausaha sosial. Dan kita tidak mungkin membangun kembali ekonomi seperti sebelumnya, karena sistem lama itu justru menciptakan problem sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo