Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rumah Jenderal di Jalan Bunga

Ryamizard Ryacudu dan Teddy Lhaksmana diduga menguasai lebih dari satu kaveling di kompleks Cijantung, Jakarta Timur. Rumah negara diperdagangkan ratusan juta rupiah.

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ryamizard Ryacudu diduga menguasai empat kaveling tanah di Perumahan Perwira di Cijantung, Jakarta Timur.

  • Wakil Kepala BIN Teddy Lhaksmana diduga memiliki dua kaveling.

  • Penguasaan banyak kaveling diduga menggunakan transaksi di zaman Belanda.

SEMULA hanya satu lantai, rumah itu kini menjadi dua tingkat. Penghuni barunya, Letnan Jenderal Purnawirawan Teddy Lhaksmana, merombak total bangunan di Jalan Flamboyan, Perumahan Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Cijantung, Jakarta Timur, itu beberapa tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika Tempo mendatangi rumah tersebut pada Kamis, 27 Februari lalu, seorang perempuan berkulit cokelat muncul dari balik gerbang. Ia mengatakan Teddy jarang tinggal di rumah Jalan Flamboyan. “Bapak lebih sering berada di rumah dinas di Kuningan, Jakarta Selatan,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teddy kini menjabat Wakil Kepala Badan Intelijen Negara. Bekas Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya ini sebelumnya menempati rumah di Jalan Cempaka, masih di perumahan yang sama. Rumah ini persis di belakang rumah di Jalan Flamboyan.

Rumah di Jalan Flamboyan sebelumnya ditempati Sudarto, purnawirawan berpangkat brigadir jenderal. Istri almarhum kemudian menjual surat izin penghunian kepada Teddy dengan perantara Sisca, tetangga Teddy di Jalan Cempaka. “Saya yang menjembatani,” kata Sisca.

Teddy mengalihkan penguasaan rumah di Jalan Cempaka kepada menantunya yang bertugas di TNI Angkatan Darat dengan pangkat kapten. Ditanyai soal penguasaan dua rumah tersebut, Teddy enggan berkomentar panjang. Ia menyerahkan penjelasan status rumah itu kepada Kodam Jaya. “Saya tidak ingin terkesan membela diri. Silakan tanya mereka,” ujar Teddy melalui pesan pendek, Jumat, 28 Februari lalu.

Salah seorang bekas penghuni kompleks itu, Ida Sunar Indarti, menuding banyak jenderal dan purnawirawan yang menguasai rumah lebih dari satu kaveling di Perumahan Perwira TNI Angkatan Darat di Cijantung. Menurut Ida, situasi ini berbanding terbalik dengan “pengusiran” anak-anak purnawirawan dari kompleks tersebut. “Mereka beralasan TNI AD membutuhkan banyak rumah untuk prajurit lain yang belum memiliki tempat tinggal,” katanya.

Komando Daerah Militer Jayakarta “menertibkan” Perumahan Perwira TNI Angkatan Darat di Cijantung sejak Januari 2017. Mereka meminta anak-anak kolong yang sudah ditinggalkan kedua orang tuanya meninggalkan rumah yang disebut sebagai milik negara tersebut. Ida Sunar Indarti salah seorang “korban” pengosongan rumah tersebut.

Ida menghuni perumahan di Cijantung sejak kecil. Menurut wanita paruh baya ini, ada purnawirawan jenderal lain yang menguasai rumah dari satu kaveling di Cijantung. Salah satunya diduga mantan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, yang menempati rumah di Jalan Flamboyan. “Dia menguasai empat rumah di sini,” ujar Ida.

Rumah yang disebut Ida berjarak sekitar 70 meter dari rumah Teddy. Saat Tempo mendatangi rumah itu, ada lima unit mobil parkir di dalam dan depan rumah. Semua mobil berpelat Kementerian Pertahanan. Dua di antaranya Alphard seri 333-00 dan Land Cruiser 5726-00.

Ryamizard menjabat Menteri Pertahanan pada 2014-2019. Lebar rumah pensiunan jenderal bintang empat itu mencapai 15 meter. Terdiri atas dua lantai, seluruh pagar rumah terbuat dari papan kayu. Pepohonan menyembul dari balik pagar setinggi hampir 2 meter. Rumah itu sedang ditinggalkan pemiliknya. “Bapak sedang ke luar kota,” ucap Supriyadi, penjaga rumah.

Rumah Ryamizard di Jalan Flamboyan berdiri di atas tanah seluas 400 meter persegi. Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu diduga menguasai tiga rumah yang berada di dekatnya. Dua di antaranya berada di Jalan Cempaka yang bersebelahan dengan Jalan Flamboyan. Rumah keempat berada di ujung Jalan Anggrek.

Informasi soal penguasaan empat rumah negara oleh Ryamizard itu, kata Ida, terungkap saat Kodam Jaya menyebarkan surat sosialisasi pengosongan rumah pada 2016. Surat itu bernomor 8/3110/X/2016. Kodam Jaya berencana mengambil alih rumah yang dikuasai anak para purnawirawan dan warakawuri--sebutan untuk istri tentara.

Meski tak menjadi target pengosongan rumah, nama Ryamizard dan semua penghuni kompleks lain dicantumkan Kodam Jaya ke daftar undangan sosialisasi. Undangan itu mencatat Ryamizard beralamat di Jalan Flamboyan Nomor F-71, satu rumah di Jalan Cempaka, dan satu rumah di Jalan Anggrek.

Rumah keempat juga beralamat di Jalan Cempaka. Dua rumah di Jalan Cempaka tersebut bersebelahan dan persis di belakang rumah Ryamizard di Jalan Flamboyan. “Surat untuk salah satu rumah di Jalan Cempaka itu tertulis nama penghuni Mayor Mahdi,” ujar Ida.

Meski rumah itu tertulis atas nama penghuni Mayor Mahdi, para tetangga tetap menyangka Ryamizard penghuninya. Onny, yang puluhan tahun tinggal di Jalan Cempaka, pernah melihat Ryamizard di rumah tersebut. “Sewaktu melayat ibu saya, Pak Ryamizard terlihat keluar dari rumah itu,” katanya.

Di rumah Jalan Cempaka itu, Tempo melihat mobil berpelat dinas Kementerian Pertahanan terparkir. Menurut Onny, salah satu rumah yang dikuasai Ryamizard di Jalan Cempaka pernah dihuni Brigadir Jenderal Koesmayadi, bekas Wakil Asisten Logistik Kepala Staf TNI Angkatan Darat.

Koesmayadi meninggal pada 2006. Di rumahnya, almarhum kedapatan menyimpan 185 pucuk senjata api ilegal dan puluhan ribu peluru. Koesmayadi disebut sebagai salah satu sahabat Ryamizard. Hingga Sabtu, 29 Februari lalu, Ryamizard tak membalas surat permohonan wawancara yang dititipkan kepada penjaga rumah di Jalan Flamboyan, Supriyadi.

Kepala Rukun Warga 12 Perumahan Perwira TNI Angkatan Darat di Cijantung, Sugianto, enggan menjelaskan penguasaan rumah negara Ryamizard Ryacudu dan Teddy Lhaksmana. Ia menyarankan pertanyaan tersebut diajukan ke Kodam Jaya. Menurut Sugianto, selama ini perwira tinggi tak pernah dilarang menambah jumlah hunian untuk keluarga terdekat mereka. “Saya juga punya menantu tinggal di sini. Tapi kan dia juga tentara. Masak, enggak boleh?” ucapnya.

Kepala Urusan Media Cetak Penerangan Kodam Jaya Kapten Zulhamsah Siregar tidak mengetahui jumlah rumah yang dikuasai Ryamizard dan Teddy di Cijantung. Tapi, kata dia, satu orang hanya berhak menguasai satu unit rumah negara. Hak bisa juga diberikan kepada anak atau menantu prajurit sejauh memenuhi syarat. “Syaratnya berstatus tentara,” ujarnya.

 

•••


PERUMAHAN Perwira di Cijantung berdiri sejak 1959 lewat Surat Keputusan Staf Angkatan Darat Nomor 748/9/1959. Surat keputusan yang ditandatangani Wakil Kepala Staf Mayor Jenderal Gatot Soebroto itu memerintahkan perwira pertama dan menengah yang berdomisili di hotel untuk menempati rumah di Cijantung, Jakarta Timur. “Guna meringankan keuangan negara,” demikian kutipan surat tersebut.

Anak-anak purnawirawan meyakini surat keputusan itu menyebutkan rumah di Cijantung berfungsi sebagai rumah tinggal, bukan milik negara. Itu sebabnya kebanyakan dari mereka menolak uang “kerahiman” sebesar Rp 50-100 juta dari Komando Daerah Militer Jakarta Raya. “Kami sebenarnya bisa mendapatkan uang yang lebih besar jika mau melakukan oper VB (verhuis besluit),” kata Ida Sunar Indarti. Ia enggan melakukannya karena berkukuh memiliki hak atas rumah di Cijantung.

Praktik pengalihan surat izin penghunian alias oper VB diduga masih kerap terjadi di antara penghuni perumahan TNI Angkatan Darat. Sistem pengalihan penguasaan rumah ini berasal hukum zaman Belanda. Hukum Indonesia sebenarnya tidak mengenal oper VB. Maka tiap transaksi oper VB terjadi di bawah tangan.

Rumah mantan Menteri Pertahanan Jenderal (Purn.) Ryamizard Ryacudu di Komplek Perumahan Angkatan Darat, Cijantung, Jakarta Timur, 27 Februari 2020./TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Transaksi ini diperkirakan terjadi di kompleks TNI di Cijantung sejak dulu. Seorang bekas penghuni bercerita, ia terpaksa melakukan oper VB karena alasan ekonomi. Ayahnya seorang purnawirawan yang sudah uzur. Keluarganya tak mau menanggung rugi sepeninggal sang ayah jika dipaksa keluar dari perumahan. Ia lantas mengalihkan penguasaan rumahnya kepada seorang perwira menengah TNI Angkatan Darat seharga Rp 800 juta. “Uang itu saya pakai untuk membangun rumah di luar kompleks,” ujarnya.

Bekas penghuni Jalan Cempaka, Titin Daya, juga mengaku terpaksa melakukan oper VB untuk menghindari masalah. Menurut dia, nominal pengalihan surat izin penghunian tidak memiliki standar. Harga peralihan bisa mencapai lebih dari Rp 500 juta, tergantung luas lahan dan kondisi rumah. “Keluarga kami memilih oper VB jauh sebelum perintah pengosongan,” tuturnya.

Sejumlah purnawirawan jenderal diduga memanfaatkan transaksi ini untuk menguasai banyak kaveling kompleks di Cijantung. Seorang penghuni kompleks menceritakan, seorang jenderal pernah menawar rumah di sebelah kediamannya agar dilakukan oper VB. Permintaan itu ditolak karena si pemilik meyakini rumah yang dihuninya bukan milik pemerintah.

Praktik oper VB tak punya landasan hukum. Kapten Zulhamsah Siregar mengakui hal itu lazim dilakukan penghuni rumah prajurit. Kodam Jaya hanya akan mendata ulang peralihan surat izin penghunian jika kedua belah pihak sudah menyepakati uang kompensasi.

TNI Angkatan Darat, kata Zulhamsah, punya aturan sendiri soal pemanfaatan rumah negara. Sementara di angkatan lain hak hunian berakhir ketika seorang prajurit masuk masa pensiun, TNI Angkatan Darat memberikan toleransi hak hunian hingga akhir hayat prajurit dan warakawuri. Dalam aturan sebelumnya, hak itu masih melekat hingga anak mereka.

Menurut Sugianto, Kepala RW 12, oper VB lebih menguntungkan prajurit ataupun keluarga yang ditinggalkan. Sebab, nilai penggantian hak bisa mencapai Rp 800 juta untuk rumah tipe besar. “Tapi kan saya tidak mungkin ngasih saran kayak gitu sama penghuni rumah. Nanti dikira ngompor-ngomporin,” ujarnya.

RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI, LINDA TRIANITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus