Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jalan Terjal Pergi ke Timur

Operator masih menghitung plus-minus pemanfaatan infrastruktur Palapa Ring Timur. Dibayangi jumlah pengguna yang terbatas. 

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah operator telekomunikasi masih menghitung rencana bisnis di Papua dan Papua Barat.

  • Pangsa pasar menjadi persoalan utama.

  • Baru perusahaan besar yang memanfaatkan layanan dari penyewa jaringan Palapa Ring.

DUA pekan terakhir, Wakil Presiden Direktur PT Hutchison Tri Indonesia Danny Buldansyah punya tugas khusus. Ia harus memastikan rencana ekspansi bisnis Tri Indonesia ke wilayah Indonesia timur berjalan matang.

Dalam rapat PT Palapa Timur Telematika, dua pekan lalu, Danny meminta seluruh data tower yang bisa dipakai lewat skema sewa dari otoritas pengelola proyek “Tol Langit” itu. “Kalau mereka sudah punya tower, kami lebih enak bangun base transceiver station (BTS)-nya,” kata Danny saat ditemui di kantornya di Menara Mulia, Jakarta, Selasa, 25 Februari lalu.

Rencana ekspansi jaringan ini sebetulnya telah dirancang Tri Indonesia tahun lalu. Sepanjang 2020 ini, Tri akan membangun 8.000 BTS baru di sejumlah wilayah. Sekitar 100 unit di antaranya akan dialokasikan untuk kawasan Indonesia timur. Tri kini gencar menggelar riset teknologi dan pasar agar ekspansi ini tepat secara hitungan bisnis dan pemanfaatan.

Menjajal pemanfaatan Palapa Ring sebetulnya bukan hal baru bagi Tri. Perusahaan telah mengembangkan jaringan Internet-nya dengan kabel serat optik di wilayah barat dan tengah. Di Indonesia tengah, sambungan Internet Tri telah sampai ke Kendari dan Makassar. Untuk menyambungnya hingga ke Papua, Tri mesti bernegosiasi dengan sejumlah operator lama yang telah menjadi pelanggan tulang punggung Palapa Ring Timur, yakni PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT Mora Telekomunikasi Indonesia (Moratelindo). “Sebelum sampai ke timur, kami akan perkuat dulu akses di barat, seperti di Medan,” ujar Danny.

Tri Indonesia hanya satu dari sejumlah operator telekomunikasi yang membidik area bisnis baru sejak Palapa Ring diresmikan Presiden Joko Widodo pada 14 Oktober 2019. Jaringan kabel serat optik yang dibangun menggunakan dana universal service obligation—hasil pembayaran operator kepada pemerintah sebesar 1,25 persen dari pendapatan—ini diharapkan bisa memangkas biaya penyediaan layanan Internet berkecepatan tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Presiden Direktur PT Hutchison Tri Indonesia Danny Buldansyah/ANTARA/ Ahmad Subaidi


Operator bisa memanfaatkannya dengan skema sewa yang tarifnya ditetapkan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti). Tarif Palapa Ring Timur dibanderol di kisaran Rp 10-552 juta per bulan untuk kapasitas 1-10 gigabita per detik. Angka ini yang termahal dibanding Palapa Ring Barat dan Palapa Ring Tengah. Maklum, proyek paket timur memang menyedot biaya terbesar dari nilai investasi Palapa Ring yang mencapai Rp 7,7 triliun. Itu sebabnya, sebelum memanfaatkan proyek itu, operator mesti memperhitungkan matang-matang rencana bisnisnya.

Hutchison Tri Indonesia pun tak mau sembarangan menyewa jaringan di Indonesia bagian timur tanpa lebih dulu mempelajari pangsa pasar, baik calon penyedia maupun pengguna layanannya. Sebab, perusahaan justru akan merugi apabila banyak operator yang berminat menggelar akses Internet di tengah potensi jumlah pelanggan yang terbatas seperti di Papua dan Papua Barat.

Rencananya, perusahaan di bawah lisensi Hutchison Group itu menjajal layanan Internet mereka di Papua mulai 2021. “Pasti tahun depan kami ke sana, tapi tetap selektif,” ujar Danny. “Jangan sampai kami masuk ke daerah yang penduduknya sedikit, daya beli rendah, dan sudah banyak operator di sana.”

Sembari menyiapkan rencana itu, Tri masih menggodok model bisnis untuk menggarap pasar Internet Papua lewat Palapa Ring. Menurut Danny, skema yang paling ekonomis adalah memanfaatkan Internet langsung di network operations center Palapa Ring atau memakai BTS existing yang bisa disambungkan ke layanan 4G. Sebab, ongkos membangun menara BTS baru di wilayah Indonesia timur dua-tiga kali lipat biaya pembangunan di Jawa. “Bisa habis sampai Rp 6 miliar,” tutur Danny.

Adapun jika menarik kabel serat optik tanpa menyewa ke Telkom atau Moratelindo, Danny melanjutkan, bakal dibutuhkan dana Rp 120 miliar per 1.000 kilometer. Biaya ini belum mencakup ongkos pemeliharaan dan operasional harian.

Bagi PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (Sampoerna Telecom), yang lebih dulu menjajaki kerja sama layanan Internet dengan Pemerintah Kabupaten Tambrauw, tarif Palapa Ring terbilang murah. Namun, senada dengan Danny, operator bakal merogoh kocek lain jika harus menarik lagi kabel serat optik, baik di darat, bawah laut, maupun radio microwave untuk dapat memberikan layanan di beberapa wilayah. “Pasti akan ada biaya tambahan,” kata Direktur Utama Sampoerna Telecom Larry Ridwan.

Menurut Direktur Kepatuhan PT Palapa Timur Telematik Benyamin Sura, operator lain biasanya membeli kapasitas jaringan Internet secara eceran minimum 1 gigabita dari Telkom dan Moratelindo. Pelanggan backbone Palapa Ring akan membayar tarif sewa kepada Bakti melalui Palapa Timur Telematika sebagai konsorsium penyelenggara. “Operator kecil biasanya bayar per paket dari titik satu ke titik lain,” ujar Benyamin. “Kami tidak tahu biayanya.”

Direktur Utama Moratelindo Galumbang Menak mengaku beruntung bisa mendapatkan pelanggan yang mau keluar duit lebih banyak untuk menyambungkan akses Internet dari Palapa Ring Timur, seperti PT Batutua Tembaga Raya. Perusahaan tambang itu sudi mengeluarkan duit hingga Rp 65 miliar untuk membiayai penarikan kabel dari titik interkoneksi Palapa Ring Timur di Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, menuju area pertambangan yang berjarak 100 kilometer. “Tapi, sayangnya, dengan situasi begini, hanya perusahaan-perusahaan besar yang mampu mendapat akses,” ucap Galumbang di kantornya di Jakarta, Rabu, 19 Februari lalu. “Kalau operator narik kabel sendiri, mahal.”

Telkom tak mau ambil pusing dengan rencana masuknya operator lain melalui infrastruktur Palapa Ring. Perseroan hanya akan membagikan kapasitas kabel serat optik kepada operator lain setelah kebutuhan bisnis Internet anak usahanya, Telkomsel, terpenuhi. Selain menjamin backbone seluruh BTS Telkomsel, Telkom harus menggenjot pengembangan IndiHome, yang akhir tahun ini ditargetkan menjangkau 8,3 juta pelanggan. “Saat ini sudah di atas 7 juta,” kata Vice President Corporate Communications Telkom Arif Prabowo.

Belakangan ini Telkom memang tengah disorot. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menyentil performa perseroan yang dianggapnya hanya mendompleng prestasi Telkomsel. Menurut Erick, Telkom telah memiliki aset infrastruktur yang sangat besar dan dapat digunakan sebagai modal untuk pengembangan usaha digital. “Kenapa itu tidak menjadi bisnis? Big data, cloud, itu bisa menjadi bisnis, jangan diambil lagi oleh asing,” tutur Erick di Menara Mandiri, Rabu, 12 Februari lalu.

PUTRI ADITYOWATI, KHAIRUL ANAM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus