Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bagaimana Memblokir Warisan Pejabat

Warisan bekas bendaharawan sekwilda DKI Jakarta drs. Arfanie, Alm di BDN dipindahkan ke bendaharawan sekwilda. Ahli waris keberatan dan menuntut di pengadilan. (hk)

18 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENGKETA warisan Almarhum bekas bendaharawan Sekwilda DKI Jakarta Drs. Arfanie, sebesar hampir Rp 1 milyar, kembali dilanjutkan di pengadilan. Pekan lalu, setelah BNI 1946 cabang Gambir dihukum karena memblokir rekening Almarhum sebesar Rp 18 juta, giliran BDN digugat karena berbuat serupa. Bahkan ahli waris menganggap BDN lebih keterlaluan: memindahkan rekening Almarhum sebesar Rp 949 juta ke rekening bendaharawan Sekwilda DKI. Enam bulan setelah Arfanie meninggal dunia, Juli 1981, istrinya mendapat surat dari BDN yang mengabarkan bahwa rekening suaminya di bank itu telah dipindahkan ke rekening bendaharawan Sekwilda. Sebab itu melalui Pengacara Simon L. Tobing dan Maruli Simorangkir, Nyonya Saleha Arfanie menuntut BDN dan Pemda DKI ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Nyonya Saleha meminta pengadilan menyatakan bahwa tindakan bank dan DKI itu melanggar hukum, dan memerintahkan BDN mencairkan kembali rekening suaminya. "Apa pun alasannya, bank tidak bisa memindahkan uang nasabah. Pemblokiran pun hanya bisa dilakukan kejaksaan, atau hakim, atas izin menteri keuangan. Kalau tidak, perbuatan itu sama dengan kejahatan," ujar Maruli Simorangkir. Pihak BDN tentu saja tidak ingin dicap sebagai penjahat. Melalui kuasanya, Soka Dharma dan H. Denny Ariadi, BDN menyatakan bahwa tindakan bank itu mempunyai dasar yang kuat, yaitu surat dan jaminan dari Pemda DKI yang ditandatangani gubernur DKI, waktu itu, Tjokropranolo. Dalam surat bertanggal 21 Januari 1982 itu disebutkan, uang yang berada di rekening Arfanie itu merupakan uang Pemda. Sebab itu, BDN diminta memindahbukukan kembali uang itu ke rekening bendaharawan Sekwilda. Selain itu, Gubernur menjamin BDN bebas dari segala tuntutan dari pihak mana pun. Sebab itu jika ahli waris keberatan, pihak BDN mempersilakan mereka menuntut pemerintah. Pihak DKI juga merasa tindakannya benar. Sebab, berdasarkan pemeriksaan, 18 Mei 1983, ternyata uang itu milik Pemda yang dipindahkan Almarhum ke rekening pribadinya. "Mana mungkin orang punya simpanan sampai satu milyar? Dan, ternyata, setelah kami cek di BI, cek yang dipakai Arfanie untuk mengisi rekeningnya itu adalah cek bendaharawan," ujar Anwar Ilmar, sekwilda waktu itu, yang kini menjadi wakil gubernur DKI. Persoalan utama dalam kasus ini: Brhakkah BDN memindahkan uang itu ke rekening bendaharawan Sekwilda DKI? "Seandainya pun tahu uang itu hasil korupsi, bank tidak berhak memindahkan rekening nasabahnya. Ini sudah diatur undang-undang perbankan," ujar Simon Tobing dan Maruli. Kepala Direktorat Kas Negara, Departemen Keuangan, Drs. D.J. Marpaung, membenarkan pendapat Simon dan Maruli. "Saya juga heran, kok bank mau saja melakukan pemblokiran, padahal sudah jels tidak dibenarkan," kata Marpaung. Tanpa perjntah instansi yang berhak menurut undang-undang, kata seorang pejabat BI, bank harus tetap merahasiakan rekening nasabahnya walaupun bank tahu bahwa uang itu hasil rampokan. Ketentuan seperti itu, menurut Marpaung dan pejabat BI itu, sangat dipatuhi bank-bank asing. "Contohnya bank di Swiss,,yang menarik banyak nasabah, karena orang merasa aman menyimpan di bankbank negara itu," ujar Marpaung. Contoh yang lebih dekat, ditunjukkan sumber BI itu, adalah keketatan Bank Sumitomo di Singapura memegang rahasia bank dalam kasus rekening Almarhum Haji Tahir, pejabat Pertamina, di bank itu. Simpanan Haji Tahir dan istrinya, Kartika Ratna, di bank itu sebesar US$ 35 juta terpaksa diblokir setelah disetujui Pengadilan Tinggi Singapura. Pemerintah Indonesia pun baru tahu bahwa Tahir mempunyai simpanan di bank itu setelah sesama ahli waris, Kartika dan anak-anak Tahir dari istri pertama- bersengketa mengenai uang deposito itu. Pengacara Pertamina, Albert Hasibuan, membenarkan bahwa ada persamaan dan perbedaan antara kasus Arfanie dan Tahir. "Persamaannya, kedua pejabat yang mempunyal uang di bank-bank itu sama-sama meninggal dunia, sehingga tidak bisa dituntut pidana. Tapi, bedanya, dalam kasus warisan Tahir, kita tidak mendapat informasi apa pun dari bank tentang rekenin itu. Pemblokiran dilakukan bank setelah diputuskan pengadilan dan dengan persetujuan semua pihak yang bersengketa," ujar Albert. Namun, anggota DPR itu membenarkan bahwa pemerintah seperti dalam kasus Tahir, menghadapi diiema dalam kasus Arfanie itu. "Karena uang itu dalam jumlah besar, besar kemungkinan uang itu hasil korupsi," ujar Albert. Tapi untuk mengambil kembali uang itu, katanya, seharusnya Demerintah tetap bertindak berdasarkan hukum yang ada. Untuk pembuktian semacam itu, tambah Albert, pemerintah tentu sulit,.karena terdakwa sudah meninggal. "Perkara itu gugur demi hukum," ujar Albert, Satu-satunya cara yang masih mungkin dilakukan Pemda DKI, katanya lagi, adalah. dengan menggugat di pengadilan. "Tapi uMuk itu perlu bukti kuat - dugaan saja tidak cukup," ujar Albert Hasibuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus