HAJI Fauzi makin "resmi" dianggap gila. Dia, yang pernah menggemparkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena diduga berpura-pura gila dalam pemeriksaan perkara pembunuhan Yulia Yasin, peragawati, kembai dibebaskan Pengadilan Tinggi Jakarta. Majelis Hakim Tinggi yang diketuai L. Rukmini menolak permohonan banding jaksa. Sebab, menurut Majelis, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merupakan pembebasan "bebas murni". "Dan jaksa tidak berhasil membuktikan bahwa keputusan itu bukan bebas murni," ujar Rukmini. Keputusan Pcngadilan Tinggi itu, 30 Mei lalu, baru diterima pihak kejaksaan dua pekan lalu. "Saya langsung menyatakan kasasi atas putusan itu," ujar Jaksa Bangun, penuntut dalam perkara itu, yang sampai pekan lalu sibuk menyiapkan memori kasasinya. Bangun merencanakan, awal pekan ini memori kasasinya sampai ke Mahkamah Agung. Kisah peradilan Fauzi terhitung aneh. Fauzi dituduh otak pembuhuhan Yulia Yasin. Sebab, menurut kesaksian, Fauzi, sahabat suami Yulia, dan kawan-kawannya datang beberapa menit sebelum nyonya rumah terbunuh, di Gudang Peluru, Jakarta, 29 Juni 1981. Menurut Tuminah, pembantu, ia mendengar jeritan Yulia, ketika menyiapkan minuman bagi tamu-tamu itu. Setelah itu, Tuminah tidak melihat Fauzi dan kawan-kawannya lagi, sementara Yulia terkapar berlumur darah. Sampai di sidang pengadilan latar belakang pembunuhan itu tidak terungkapkan. Fauzi, 56, di setiap sidang selalu bertingkah aneh: tidur, berbaring di lantai, tidak bisa berbahasa Indonesia - omongannya bahasa Madura - dan tidak mau menjawab pertanyaan hakim. Visum yang dikeluarkan dua tim dokter dari RSPAD dan RS Jiwa Jakarta memperkuat kesimpulan bahwa Fauzi tidak waras. Perkara pembunuhan Yulia itu semakin ruwet. Sebab, dua teman Fauzi yang samasama diadili, Marzuki dan Bardi, mencabut kembali pengakuan yang pernah mereka berikan kepada polisi. Sebelumnya kedua orang itu mengaku membacok Yuiia, karena disuruh Fauzi. Mereka mengaku pula dibawa Fauzi dari Madura dengan janji akan diberi pekerjaan di Jakarta. Dalam perjalanan Surabaya-Jakarta, kata mereka, barulah diberitahu pekerjaan macam apa yang akan mereka kerjakan. "Sebagai orang Madura, masa kalian tidak malu ada orang sendiri dikhianati istrinya," bujuk Fauzi, seperti dituturkan Bardi kepada TEMPO, dalam bahasa Madura. Belakangan, seperti juga Fauzi, Marzuki dan Bardi dibebaskan Hakim Ferdinandus. Jaksa Bangun pun, semula, menuntut agar Fauzi dibebaskan, walau ia yakin bahwa Fauzi bersalah. Sebab, sebuah prinsip hukum tidak mungkin dilanggar: pertanggungjawaban hukum tidak mungkin diminta dari orang yang tidak waras. Tapi, menjelang vonis, perkara Fauzi menjadi runyam. Tiga wartawan Jakarta, yang mencoba membuntuti Fauzi pulang sidang, menemukan keganjilan. Fauzi, kata mereka, ternyata kelihatan normal-normal saja: bisa mengejar bis kota dan menawar bajaj. Akibatnya, hakim terpaksa meminta pemeriksaan ulang terhadap Fauzi. Hasilnya, tim dokter RSCM, yang diketuai Wahyadi Darmabrata, memperkuat kesimpulan rekan-rekannya terdahulu. Perkara ternyata makin berabe Jaksa Bangun, belakangan, berbalik menuntut agar Fauzi dihukum 13 tahun penjara. Alasannya ketiga tim dokter tidak memastikan sejak kapan Fauzi gila. Sebab itu, Bangun yakin bahwa ketika pembunuhan terjadi, Fauzi dalam keadaan normal. Putusan Majelis Hakim, kemudian, lebih menarik lagi: Fauzi bebas - bukan karena gila, seperti dinyatakan para dokter, tapi karena tidak ada yang menyaksikan ia membunuh Yulia. Hakim Ferdinandus tidak menyangkal bahwa ada hubungan antara pembunuhan Yulia dan kedatangan Fauzi pada malam berdarah itu. Juga kaburnya Fauzi setelah pembunuhan terjadi. Namun karena ada visum yang menyatakan Fauzi tilak normal, menurut Hakim, "Tentu ada orang yang mengajaknya." SIAPA orang yang mengajaknya ? Sampai kini belum terjawab. Yang terjawab secara pasti ialah bahwa keputusan hakim tingkat pertama, menurut Majelis Hakim Tinggi, adalah bebas murni dan tidak bisa dibanding. Sebab, menurut Majelis, putusan bebas dari Ferdinandus adalah semata-mata berdasarkan tidak terpenuhinya unsurunsur tindak pidana. "Majelis baru sampai pada pemeriksaan hukum acaranya saja, belum pada pokok perkara," ujar seorang anggota Majelis, Parman Soeparman. Kendati begitu, pengacara Fauzi, Yan Apul, masih kecewa dengan keputusan itu. Sebab, menurut KUHAP, kata Yan, hakim tidak perlu lagi memeriksa banding dari vonis yang bebas murni. Yan juga tidak bisa menerima alasan Majelis Hakim Tinggi bahwa, ketika Jaksa banding, KUHAP masih dalam transisi. "KUHAP jelas sudah berlaku, dan hakim harus memberlakukan undang-undang yang menguntungkan tersangka," kata Yan, yang mengaku tidak tahu lagi di mana Fauzi berada. Fauzi, sejak putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tahun lalu, kembali ke Surabaya. Menurut seorang sumber di Surabaya ia sudah kembali ke kondisi sedia kala, sehat walafiat, dan sudah berdagang besi tua lagi. Bahkan, tambahnya, Fauzi kini sudah bisa berbahasa Indonesia kembali. "Kan ada Pemberantasan Buta Huruf," ujar sumber itu, bergurau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini