Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bajingan jujur?

Eddy Haryadi, 17, membunuh suster Susilowati dan Sisilia bekas pengasuhnya sendiri ketika gagal mencuri uang di asrama katolik Probolinggo. Sebelumnya ia dicari polisi dalam kasus pencurian juga. (kirm)

23 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA orang suster Asrama Katolik Santa Jan di Probolinggo, Jawa Timur, DwiSusilowati dan Sisilia, terbunuh di tangan bekas anak asuhnya, Eddy Haryadi. Selain kedua korban, Eddy di persidangan terbukti pula melukai Suster Margaretha, juga pengasuh asrama itu. Berdasarkan itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Probolinggo, Selasa pekan lalu, menghukum Eddy 15 tahun penjara. Baik di pemeriksaan polisi maupun di persidangan, Eddy, 17, mengakui terus terang semua dosanya. "Saya ini memang bajingan. Tapi bajingan yang jujur," ujar pelajar kelas I SMA itu. Semasa kecil, Eddy memang sempat sekolah di St. Jan selama lima tahun. Ayahnya, Soeharyono, yang tinggal di Bondowoso, menginginkan Eddy menjadi Katolik yang saleh. Harapan sang ayah rupanya sia-sia. Eddy ternyata tega membunuh orang yang justru mengasuh dan mendidiknya. Pembunuhan itu terjadi pada 5 November tahun lalu. Dalam perjalanan dari Bondowoso menuju Lamongan, ia singgah di bekas asramanya itu. Waktu itu, seperti dikatakan Eddy, "Saya butuh uang, karena bekal hampir habis." Menurut pengalamannya dulu, pada tanggal seperti itu pihak asrama baru mendapat kiriman uang dari para orangtua murid. Diam-diam Eddy masuk ke kamar Suster Sisilia. Tapi, sebelum ia sempat menggerayangi laci, yang empunya kamar datang dan langsung berteriak. Eddy kaget dan menusuk Sisilia beberapa kali. Ibu asrama, Suster Margaretha, yang datang oleh teriakan itu pun turut kena tusuk. Begitu pula Suster Dwi Susilowati. Suster Sisilia dan Dwi meninggal, sementara Margaretha tertolong. Kepada TEMPO, Eddy mengaku tak akur dengan ayahnya, pemilik sebuah toko. "Saya dibilang anak durhaka dan tak pernah membantu orangtua," ujarnya. Padahal, katanya, ia sering membantu ayahnya membuka toko dan menjaga dagangan. Di rumah ia juga memompa air. Tapi Eddy mengaku sering nakal. Ia suka mengatasnamakan orangtuanya untuk meminjam uang dari bibi atau saudaranya yang lain. Terkadang sampai Rp 100 ribu. Uang itu, kata Eddy, dihabiskannya bersama teman-temannya. "Saya memang banyak teman," tutur Eddy lagi. Pada hari kejadian itu, diam-diam ia meninggalkan rumahnya menuju rumah pamannya di Lamongan. "Waktu itu saya takut sekali," katanya. Sebab, sehari sebelumnya, ia mencoba mencuri di rumah tetangganya. Tapi perbuatan itu gagal karena ketahuan. Adiknya kemudian mengabarkan bahwa ia dicari polisi. Karena takut berurusan dengan polisi, Eddy kabur. "Di perjalanan ia mampir di Probolinggo, dan terjadilah peristiwa tragis itu. "Saya telah melanggar dua perintah Tuhan: membunuh dan mengambil milik orang lain," kata Eddy sambil menyeka air matanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus