Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Barang Hijau Buat Saladin

80% koleksi keramik Cina di Museum Nasional adalah hibah dari De Flines. 11 keramik celadon yang dicuri berasal dari Dinasti Sung sampai Dinasti Yuan. Keahlian kurator Abu Ridho belum tergantikan.

17 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Barang Hijau Buat Saladin
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KAKEK De Flines -- yang sampai akhir hayatnya tetap melajang -- boleh menangis sejadinya. Sebagian koleksi keramiknya yang jadi kebanggaan di Museum Nasional itulah yang digondol maling. Padahal, barang itu di antara daya tarik utama bagi para pengunjung. "Koleksi di museum ini, terutama keramiknya, sangat lengkap. Banyak sekali yang bagus. Saya kagum," begitu ucap Madame Jacqueline Drouart, 38 tahun. Ia istri seorang pengusaha kaya dari Prancis yang sedang melancong ke sini. Selama dua hari di Jakarta, sebelum menuju Borobudur, madam yang jelita ini khusus melihat-lihat ke museum ini. Dalam hal keramik, sebagai negeri yang di masa lalu memiliki hubungan penting dengan Cina, di sini memang bisa ditemui pecah belah Cina Kuno. Misalnya sebuah kendi berhiaskan kepala burun punik dari masa akhir Dinasti Tang (618-907). Sedangkan Egbert Willem van Orsoy de Flines sangat berjasa dalam mengumpulkan keramik-keramik tersebut. Sebelumnya, 1912, dalam usia 26 tahun, ia bekerja di sebuah bank di Semarang. Begitu dituturkan Abu Ridho, 60 tahun, bekas pembantunya. Pada 1927, De Flines mulai mengumpulkan keramik Cina Kuno, yang ditemukan di beberapa kawasan: Halmahera, Cirebon, Lampung, Maluku, Pandeglang, Bangil, Semarang, Blitar, Purwokerto, Banyumas, Kudus, Malang Selatan dan Timur. Tiga tahun kemudian ia pindah ke Ungaran, membuka perkebunan cokelat -- dan memboyong koleksinya. Ketika itu ia mencatat koleksinya yang sudah mencapai 2.000an dalam lima buku. Kemudian ia menghubungi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, minta ruangan untuk menyimpan keramiknya. Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan di Batavia, yang mengelola museum itu, setuju. De Flines, menurut Abu Ridho, selama tiga bulan mengangkut koleksinya itu dengan kereta api. Pada 1932, semua harta bendanya yang sangat bernilai itu sudah dimuseumkan. Dan ia sendiri "tersimpan" dalam sebuah rumah sederhana di belakang Gedung Gajah, dan jadi kurator bagi koleksinya sendiri. Pada 1959 ia pulang ke Negeri Belanda dan meninggal di sana, 1964 -- ketika koleksinya membengkak sekitar 4.500 buah. "Sebelumnya, koleksi keramik museum hanya sekitar 10 buah, sumbangan Dr. Stutterheim," tutur Abu Ridho. Koleksi keramik Cina di Gedung Gajah itu 80% memang hibah De Flines. Sebelas dari yang digarong adalah Celadon -- berwarna hijau pupus seperti warna batu Giok. Ada pula yang berkombinasi dengan cokelat, abu-abu, atau hijau kebiruan. Orang Cina Purba menyebutnya: Barang Hijau. Konon sebutan Celadon berasal dari nama Shaiahuddin al-Ayyubi, khalifah yang beken dalam Perang Salib di abad ke-12. Ketika itu, Saladin, begitu lidah Barat menyebutnya, banyak menerima suvenir keramik Cina berwarna hijau- pupus. Lalu dengan gampang orang menyebut keramik seperti itu: "Celadon". Ada pula yang bilang sebutan itu dari nama primadona sebuah sandiwara yang amat berkesan di kalangan para pedagang Eropa di Abad Pertengahan, ketika orang ramai berdagang keramik Cina. Celadon yang cantik, begitulah kabarnya, mengenakan selendang hijau pupus yang indah. Dan jika sekarang orang mengagumi keindahan keramik Cina hijau pupus, kontan ia seperti teringat pada selendang Celadon. Sebelas Celadon yang lenyap itu berasal dari aman Dinasti Sung abad ke-11 sampai Dinasti Yuan abad ke-15. Bila dijual murah-murahan saja, kata mereka yang paham akan barang antik, paling tidak bisa laku Rp 25 juta sebuah. Adapun sembilan koleksi museum berupa keramik Cina antik berwarna biru putih, yang juga raib, jauh lebih berharga ketimbang Celadon. Karena umurnya lebih tua. Dua di antaranya sebuah mangkuk besar bergambar burung hong, tingginya 13,25 senti, diameternya 32 senti, pesanan Kaisar Cheng Te dari abad ke-16, lengkap dengan stempelnya. Sebuah lagi mangkuk besar, tinggi 17 senti, diameter 38 senti, bergambar para tokoh agama Tao di taman berpagar dengan stempel Kaisar Chia Ching, eks abad ke-16. Yang lebih berharga lagi, sebuah cerek setinggi 30 senti, bergambar anggur, yang disebut pear form, karena bentuknya mirip buah pir. Sebuah cerek lagi setinggi 36 senti bergambar bunga teratai, yang di kalangan para ahli keramik disebut ruleux, karena bentuknya yang serba silindris. Betapa tinggi nilai keramik Cina Purba itu dituturkan Nyonya Sumarah Adyatman, 58 tahun, Ketua Kehormatan Himpunan Keramik Indonesia. Pembuatan keramik Cina warna biru putih itu pesanan raja-raja Persia di abad ke-14. "Warna biru ketika itu dianggap sakral," katanya. Keramik berbentuk cerek khas Persia yang unik kini disimpan pula di Museum Topkapi di Istambul, dan Museum Ardebel di Teheran. Sedang keramik cerek abad ke-15 sangat halus, pembuatannya sulit. Jenis ini sangat langka. Di masa itu cerek lebih sedikit dibuat daripada mangkuk dan piring. Keramik-keramik Cina lebih banyak bergambar bunga. Yang bermotif anggur, seperti yang hilang itu, amat langka. Di kalangan dunia keramik, abad ke-15 juga dikenal sebagai ceramic interregnum -- masa saat ekspor keramik terputus dari Cina. Ketika itu, Kaisar Ming memutuskan, yang boleh mengekspor hanya pihak kerajaan saja. Karena itu, keramik abad ke-15 sangat jarang. "Yang mutunya rendah juga sangat langka," ujar Sumarah. Walau begitu, masih banyak koleksi De Flines di Museum Nasional yang selamat. Di antaranya, yang sangat bernilai, dan zaman Dinasti Han di abad pertama dan kedua Masehi. Yaitu bejana berkaki tiga setinggi 19 senti, berwarna kehijauan. Tutupnya berbentuk puncak gunung berderet. Di zaman Cina Purba, bejana itu untuk "bekal kubur". Koleksi De Flines yang sangat berharga lainnya ialah sebuah piring dari Vietnam, eks abad ke-15. Warnanya ramai: merah, sedikit hijau, dan keemasan. "Keramik kuno yang ada warna keemasannya memang sangat langka," kata Abu Ridho. Di dunia hanya ada tiga: di Belanda, Jepang, dan Indonesia. Koleksi lain yang bisa diandalkan: piring zaman Dinasti Ming dari abad ke-15 bergambar pohon pisang. Abu Ridho sempat menyeleksi warisan De Flines. Ada 1.000 keramik yang dinilainya termasuk kelas tinggi. Menurut Abu Ridho, keramik yang hilang itu sesungguhnya hanya secuil dari seluruh koleksi De Flines. Karena itu, pengamanan sangat perlu diketatkan, mengingat nilai koleksi yang luar biasa itu. Abu Ridho adalah kurator yang tak tergantikan keahliannya sampai kini. Menjadi pegawai Museum Nasional pada usia 23 tahun, pada 1950 ia berkenalan dengan de Flines dan langsung menjadi pembantunya. "Dulu saya cuma membawakan buku, mengangkat-angkat batu atau keramik, dan pekerjaan remeh lainnya," tuturnya. Tak sia-sia. Pelan tapi pasti, De Flines menurunkan ilmunya kepadanya sampai 1959, ketika Pak Belanda itu pulang ke Nederland -- meninggalkan Indonesia yang dia anggap sebagai tanah airnya yang kedua. Lalu Abu bekerja sendirian. Bahkan ia tak tergantikan sampai pensiunnya diperpanjang dua tahun, sejak 1984. Celakanya, selama dua tahun itu ia tak pernah menerima gaji -- cuma menerima SK perpanjangan secara resmi. "Lama-lama saya capek. Lalu mengundurkan diri, karena ingin mengurus keluarga," katanya. Jangan heran bila kini tak lagi ada orang yang benar-benar paham mengelola keramik warisan De Flines. Bagaikan benda antik, kini Abu Ridho "terdampar" di Tanah Kusir. Ia hanya ditunjang pensiun bulanan sebagai pegawai negeri golongan III-D. "Yah kadang-kadang ada radio swasta yang minta dibikinkan artikel, dan saya mendapat duit sedikit," katanya. Abu Ridho tersenyum, pahit. Tapi ia memang sabar dan tabah. Laporan Diah Purnomowati, Yopie Hidayat (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus