Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Lima rumah yang digusur Pengadilan Negeri Cikarang bukan termasuk lahan yang bersengketa.
Para korban bisa mempertimbangkan gugatan perdata.
Kasus pertanahan menjadi alarm bagi pemerintah menganut stelsel positif.
ADA-ada saja sengketa tanah di Indonesia. Di Cikarang, Jawa Barat, Badan Pertanahan Nasional memastikan pengadilan keliru mengeksekusi penggusuran lima rumah warga Cluster Setia Mekar Residence 2 di Tambun Selatan, Bekasi. Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid yang langsung mengkonfirmasi kekeliruan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nusron Wahid mengatakan lima rumah itu tidak bersengketa. Pengadilan Negeri (PN) Cikarang meratakan lima rumah itu pada 30 Januari 2025. “Setelah kami cek, lima lokasi tanah ini ternyata di luar peta obyek yang disengketakan,” kata Nusron saat meninjau Cluster Setia Mekar Residence 2 pada Jumat, 7 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Nusron, bangunan di Jalan Bekasi Timur Permai, RT 1/RW 11, Kampung Bulu, Desa Setia Mekar, ini tidak masuk peta yang disengketakan oleh penggugat Mimi Jamilah pada 1996 dalam sertifikat hak milik (SHM) bernomor 706. Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi, dan korporasi Bank Perumahan Rakyat merupakan pemilik bangunan yang kini tak lagi berwujud itu.
Nusron menjelaskan, eksekusi bangunan di atas lahan seluas 3,6 hektare milik Mimi Jamilah oleh Pengadilan Negeri Cikarang tidak sesuai dengan prosedur. Sebab, terdapat tiga proses yang tidak dipenuhi oleh penggugat maupun pengadilan sebelum dan saat menggusur.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid (tengah) meninjau salah satu lahan sengketa yang sudah digusur di kawasan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 7 Februari 2025. ANTARA/Dhemas Reviyanto
Ketiga proses yang dimaksudkan adalah proses eksekusi lahan baru bisa dilakukan setelah sertifikat warga tergugat dibatalkan oleh BPN. Sedangkan dalam putusan belum ada perintah kepada Kementerian ATR/BPN untuk membatalkan sertifikatnya. Kedua, setelah sertifikat tergugat dibatalkan, pengadilan wajib bersurat kepada BPN untuk dilakukan pengukuran lebih dulu terhadap lahan yang akan dieksekusi. Pengukuran lahan ini bertujuan agar lahan yang dieksekusi sesuai dengan obyek sengketa.
Proses eksekusi yang tidak sesuai dengan prosedur ini juga membuat Nusron menyatakan SHM yang dimiliki warga di Desa Setia Mekar, Tambun, Kabupaten Bekasi, tetap sah. Meski demikian, penggugat dalam hal ini telah memenangi gugatan sampai di tingkat Mahkamah Agung.
Perkara sengketa lahan yang terjadi di Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, bermula pada 1976. Pada saat itu, seseorang bernama Djudju Saribanon Dolly menjual tanah miliknya seluas 3,6 hektare kepada Abdul Hamid.
Tanah tersebut telah ber-SHM dengan nomor 325. Abdul Hamid adalah orang tua penggugat dalam kasus ini, yakni Mimi Jamilah. Menteri Nusron menyebutkan hal yang menjadi masalah adalah, setelah melakukan jual-beli, Abdul Hamid—sudah meninggal—tidak segera melakukan balik nama pada sertifikat.
Pada 1982, Djudju Saribanon Dolly diduga melakukan kecurangan dengan menjual kembali tanah seluas 3,6 hektare yang sebelumnya telah dibeli Abdul Hamid itu. Tanah itu dijual kepada orang lain, Kayat. Oleh Kayat, SHM bernomor 325 itu kemudian dipecah menjadi empat sertifikat dengan nomor 704, 705, 706, dan 707. Kayat menjual tanah di dua dari empat sertifikat itu kepada Tunggul dengan nomor 704 dan 705.
Tunggul pun menjual tanah di sertifikat dengan nomor 705 kepada Abdul Bari. Sertifikat dengan nomor 705 itu kemudian dibuat perumahan oleh Bari dengan nama Cluster Setia Mekar Residence 2.
Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, menganggap sertifikat yang dimiliki Kayat tidak sah. Pada 1996, Mimi pun menggugat Kayat, Djudju Saribanon Dolly, dan Abdul Bari ke pengadilan dengan dasar akta jual-beli (AJB) milik orang tuanya pada 1976. Bukan hanya ke Pengadilan Negeri Bekasi, Mimi juga menggugat ke Mahkamah Agung (MA) dan menang.
Setelah dinyatakan menang di tingkat Mahkamah Agung, Mimi Jamilah mengajukan permohonan eksekusi lahan ke Pengadilan Negeri Cikarang. Proses eksekusi lahan kemudian dilakukan dengan merujuk pada putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS tertanggal 25 Maret 1997.
Saat Pengadilan Cikarang melaksanakan eksekusi, sejumlah warga yang memiliki bangunan di atas lahan seluas 3,6 hektare di Desa Setia Mekar, Tambun, Kabupaten Bekasi, itu menolak. Sebab, mereka pun memegang SHM atas tanah yang mereka miliki.
Menyoroti kasus di atas, akademikus hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dyah Ayu Widowati, menilai pertanggungjawaban dapat dimintakan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019.
Dalam Perma itu, a quo didefinisikan sengketa perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) adalah sengketa yang di dalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah dan/atau batal tindakan pejabat pemerintahan.
Sengketa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beserta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Subyek dari sengketa onrechtmatige overheidsdaad adalah pejabat pemerintahan,” kata Dyah Ayu melalui pesan singkat pada Ahad, 9 Februari 2025.
Dia menjelaskan, menurut Perma Nomor 2 Tahun 2019 pada Pasal 2 ayat 1, perkara perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan merupakan kewenangan dari peradilan tata usaha negara. Pengadilan tata usaha negara (PTUN) berwenang mengadili sengketa tindakan pemerintahan setelah menempuh upaya administratif.
Intinya, kata akademikus hukum UGM ini, pertanggungjawaban dapat diminta melalui PTUN lebih dulu, yang harus diajukan paling lambat 90 hari sejak tindakan (eksekusi) dilakukan, sebagaimana yang diatur dalam Perma Pasal 4 ayat 1.
Menurut dia, munculnya kasus-kasus pertanahan belakangan ini semestinya menjadi alarm bagi pemerintah untuk dapat berani membuat aturan mengenai pendaftaran tanah yang menganut stelsel positif. Sebab, dengan adanya aturan mengenai sertifikat tanah elektronik, tentunya bisa menjadi jalan bagi pemerintah menjamin produk yang dikeluarkan, dalam hal ini sertifikat tanah.
Selanjutnya, dengan adanya stelsel positif, pemerintah wajib aktif menelusuri data yang diajukan dalam pendaftaran tanah sehingga dapat lebih berhati-hati dan menjamin validitas yang menjadi dasar terbitnya sertifikat itu.
Dosen hukum perdata dari Universitas Indonesia, Togi Marolop Pradana Pangaribuan, berpandangan, bila memang PN Cikarang yang menerima delegasi dari PN Bekasi tidak melakukan prosedur pengecekan ke BPN atau konstantering dan melakukan eksekusi yang salah hingga merugikan orang lain, bisa dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Togi mengungkapkan, bentuk pertanggungjawabannya bisa upaya hukum luar biasa terhadap putusan PN Bekasi yang sudah inkracht. Sedangkan untuk eksekusinya bisa didalilkan bahwa PN Cikarang melalui juru sitanya telah melakukan perbuatan melawan hukum sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata karena mengakibatkan kerugian. Karena itu, para korban bisa mempertimbangkan gugatan perdata.
Togi menjelaskan, gugatan semestinya diajukan ke PN Cikarang yang melakukan eksekusi karena dilakukan dengan melawan hukum. “Bisa PN Cikarang qq Mahkamah Agung karena pelaksana kekuasaan kehakiman Mahkamah Agung dan dalam hal khususnya PN Cikarang,” tuturnya.
Menurut dosen hukum perdata Universitas Indonesia Abdul Salam, untuk menilai siapa bertanggung jawab dalam kisruh ini, harus melihat aturan yang ada. Merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 1976, ditegaskan bahwa hakim tak bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas putusan yang dibuatnya.
Artinya, kata dia, pada asasnya, putusan hakim yang telah dibacakan, menjalankan tugas dan kewenangannya, tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban hukum, tapi bukan berarti kebal dari hukum itu sendiri.
Abdul mengatakan ada kalanya hakim pada saat memutus dan dalam putusannya salah dalam penerapan hukum, sengaja atau lalai, sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban. Permintaan itu misalnya melalui Komisi Yudisial atau bahkan ketika dalam putusan tersebut terdapat gratifikasi. Maka, hal ini dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum, bukan terhadap putusannya, melainkan terhadap perilakunya.
Menurut Abdul ada beberapa jalur hukum yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan konflik tanah, seperti melaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dengan salah satu kewenangan menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama Mahkamah Agung.
KY juga berwenang menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH. Dengan demikian, dalam hal hakim-hakim di PN dimintakan pertanggungjawaban apabila ditemukan pelanggaran termasuk maladministrasi. Lalu melaporkan ke MA bahwa PN telah lalai atau salah hingga menimbulkan kerugian.
Akademikus hukum perdata dari Universitas Indonesia, Hening Hapsari Setyorini, mengatakan eksekusi bisa dilaksanakan bila yang dihukum dalam suatu putusan hakim tidak mau melaksanakan dengan sukarela. Syarat pertama suatu putusan bisa dieksekusi yakni sudah berkekuatan hukum tetap. Proses eksekusi hanya bisa dilaksanakan jika pihak yang kalah—dikalahkan oleh putusan pengadilan—tidak mau menjalankan putusan tersebut dengan sukarela.
Dia menjelaskan, sebelum eksekusi dilakukan, ada proses yang harus dijalankan, mulai dari dikeluarkannya peringatan kepada pihak yang kalah dalam perkara. Apabila dalam waktu delapan hari pihak tersebut mengabaikan peringatan dari pengadilan negeri—enggan menjalankan putusan hakim—akan dilakukan eksekusi.
Hening menjelaskan bahwa putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau BHT tetap bisa dilaksanakan eksekusi meskipun ada upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa (misalnya peninjauan kembali) sifatnya tidak menangguhkan eksekusi—yang menangguhkan eksekusi hanya upaya hukum biasa.
Upaya hukum biasa adalah permohonan banding, kasasi, dan perlawanan (verzet). Upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap sita eksekutor. Upaya yang bisa ditempuh oleh pihak yang dirugikan, kata dia, adalah melakukan bantahan atau mengajukan gugatan terhadap pihak yang menang. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo