AHAD pagi, 11 November 2001. Sesosok mayat ditemukan terkulai tak bernyawa di sebuah jok mobil Kijang di kawasan Koya Tengah, Kabupaten Jayapura, Papua. Dan sesaat kemudian, dunia pun tersentak. Tubuh yang telah menghitam dan penuh luka itu milik Theys Hiyo Eluay—masih ingat, kan? Ketua Umum Presidium Dewan Papua ini sehari sebelumnya baru saja menghadiri pesta perayaan Hari Pahlawan di Markas Satuan Tugas Tribuana Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Hamadi, Jayapura. Belakangan, meski sempat dibantah mati-matian, akhirnya dipastikan nyawa Theys memang dicabut anggota korps elite itu.
Kini, hampir setahun kemudian, penyidikan kasus itu dinyatakan rampung. Selasa pekan lalu, Komandan Pusat Polisi Militer Mayjen Sulaiman A.B. menjelaskan, berkas perkara penculikan dan pembunuhan Paitua (sapaan buat Theys, yang berarti Bapak) telah dilimpahkan penyidik ke oditur militer. Dituangkan dalam dua berkas, ada tujuh tersangka yang bakal diajukan ke meja hijau. Dua di antaranya, berpangkat perwira menengah, merupakan tersangka utama. Yang lainnya seorang perwira pertama, dua sersan, dan dua tamtama. Semuanya berbaret merah. Karena peristiwa itu terjadi di wilayah timur, persidangan akan digelar di Mahkamah Militer Tinggi Surabaya.
Siapa gerangan tersangka istimewa itu? Tentang namanya, Jenderal Sulaiman mengaku belum tahu. Tapi, menurut penelusuran TEMPO, mereka antara lain Letkol Hartomo, mantan Komandan Satgas Tribuana (kini berganti nama menjadi Cenderawasih), dan wakilnya, Mayor Doni Hutabarat, serta Kapten Rionaldo. Hal ini dikonfirmasikan Ruhut Sitompul, pengacara mereka. "Menurut informasi yang saya terima, Hartomo dan Doni memang ditetapkan sebagai tersangka," katanya.
Tapi kabut tebal sejatinya masih menyelimuti jasad kepala suku Sentani ini. Jenderal Sulaiman mengakui hasil penyidikan tak sebagus yang diharapkan. Keberadaan Aristoteles Masoka, sopir Theys sekaligus saksi kunci dari kasus ini, tak bisa ditemukan. Motif di balik pembunuhan Theys bahkan tak terungkap. "Dari hasil penyelidikan, tak ditemukan adanya instruksi dari atas," katanya kepada TEMPO. Sedangkan kemungkinan adanya perintah di luar rantai komando ataupun kemungkinan para tersangka bertindak di luar komando juga ditampik. Jadi? Paling-paling anggota pasukan elite yang sangat terlatih itu didakwa "lalai dan keliru menafsirkan perintah."
Motif dan rantai komando memang merupakan dua pertanyaan terbesar dari kasus yang menarik perhatian dunia ini. Banyak pihak curiga Theys dibunuh melalui sebuah operasi intelijen untuk memotong gerakan separatis yang tak henti diusungnya. Soalnya, beberapa hari sebelum dibunuh, Theys baru bertemu dengan kepala adat Papua untuk mempersiapkan pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2001. Selain itu, ia tengah bersiap-siap berangkat ke New York, Amerika Serikat, untuk memenuhi undangan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Apalagi pengakuan Hartomo sendiri aneh bin ajaib. Bayangkan, perwira cemerlang lulusan akademi militer 1986 itu mengaku begini: pada hari yang nahas itu ia cuma memerintahkan agar anak buahnya menanyakan komitmen Theys pada Republik. Eh, ketika diinterogasi, mendadak jantung Theys berhenti sendiri.
Hasil autopsi menunjukkan Theys bukan meninggal karena tak tahan kaget. Sebagaimana pernah dijelaskan Direktur Rumah Sakit Jayapura, Dokter Clemens Manyakori, Theys disimpulkan mati gara-gara penyumbatan saluran pernapasan. Memang bukan lantaran dicekik atau sebangsanya. Tapi rasanya juga kelewat aneh kalau dibilang Theys tewas lantaran diberondong pertanyaan anak buah Hartomo.
Karena itulah Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua Thaha Alhamid telah sejak pagi-pagi menyuarakan nada pesimistis. Menurut dia, perkara ini telah sengaja dipelintir menjadi kasus kriminal biasa dan karena itu cukup digelar di pengadilan militer, bukan menyangkut tindak kejahatan negara yang mesti diadili di pengadilan hak asasi manusia. Padahal, kata Thaha lagi, hasil investigasi sejumlah organisasi nonpemerintah telah membuktikan bahwa di balik para tersangka jelas ada otaknya. Karena itulah ia tak mau berharap banyak dari mahkamah militer ini. "Bagaimana mungkin pelaku diadili sesama pelaku?" katanya seraya tertawa.
Karaniya Dharmasaputra, Cunding Levi (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini