JANGAN suka percaya janji muluk. Tengoklah nasib Lisda Surjadi berikut ini. Lisda, seorang ibu rumah tangga warga Pulomas, Jakarta, kini menyesal setengah mati. Empat tahun lalu, pada akhir 1998 ketika ekonomi di puncak krisis, ia kebingungan ke mana harus menginvestasikan uang simpanannya. Lalu, datanglah tawaran dari seorang familinya untuk menanamkan modal di bisnis peternakan burung unta di Australia, yang dikelola sebuah perusahaan bernama The Ostrich Meat & Marketing Co.
Modusnya mirip dengan geger kasus perusahaan agrobisnis PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) yang telah menipu ribuan orang itu. Gencar diiklankan di sebuah harian ternama Ibu Kota, keuntungan dijanjikan bakal datang berlipat dalam tempo singkat: 50 persen lebih tiap tahun. Tambahan lagi, Lisda yakin ini perusahaan bonafide karena penandatanganan kontrak berlangsung di gedung Kedutaan Besar Australia di Jakarta dan ikut disaksikan seorang pejabat diplomatik dari Negeri Kanguru. Ia pun termakan iming-iming. Tanpa pikir panjang lagi, Lisda langsung menanamkan 57 ribu dolar Australia (setara Rp 160 juta) ke perusahaan yang berlokasi di Pinjarra ini, sekitar 80 kilometer di selatan Perth. ”Lima saudara saya juga ikut menanam modal,” katanya.
Apa yang terjadi? Bukannya untung, Lisda malah buntung. Janji keuntungan tahun pertama tak kunjung datang. Ketika datang menagih ke PT Garanti Ostricom Jayatama, agen tunggal Ostrich di Jakarta Pusat, ia tak beroleh jawaban memuaskan. ”Katanya, bisnis itu belum untung. Mungkin tahun ketiga laba baru bisa dibagikan,” kata Lisda menirukan dalih pengelola. Bahkan tak lama kemudian PT Garanti tutup kantor. Berkali-kali ia menyurati Kedutaan Australia dan Ostrich, juga tak berbalas.
Ternyata Lisda tak sendirian. Bulan lalu, 127 investor Ostrich yang telah menanam dana senilai Rp 18 miliar melayangkan surat peringatan ke Kedutaan Australia di Jakarta. Namun, nasib mereka masih juga tak pasti. Juru bicara kedutaan, Kirk Conningham, menyatakan pemerintah Australia lepas tangan. ”Itu tanggung jawab tiap-tiap perusahaan. Kami hanya menyaksikan penandatanganan kontrak karena itu sudah menjadi tradisi tiap kali ada warga atau perusahaan Australia yang membuat kontrak dengan warga atau perusahaan negara lain,” katanya. Mengaku tak semua perusahaan di negaranya bereputasi bagus, Conningham cuma menyarankan pihak yang dirugikan mengajukan gugatan ke pengadilan Australia.
Memang, jalan hukumlah yang kini ditempuh para investor nahas itu. Senin pekan lalu dua di antaranya, Nyoman Soerabratha dan Marcus Pramono, menggugat pailit Ostrich di Pengadilan Niaga Jakarta. Sekaligus, mereka menuntut pengembalian dana plus keuntungan yang dijanjikan, total senilai 90 ribu dolar Australia. Menurut Yuhelson, kuasa hukum mereka, ”Masih ada 100 orang lebih yang akan menyusul mengajukan gugatan.” Pekan ini kasusnya mulai disidangkan.
Dalam perkara ini, masih kata Yuhelson, pihaknya berpijak pada undang-undang perusahaan di Australia, Corporation Act 2001, yang memungkinkan putusan pailit dieksekusi di negara lain. Syaratnya, kedua negara telah mengikat perjanjian. Untunglah, Australia dan Indonesia telah meneken Australia Treaty Series 1993 No. 19, sehingga di atas kertas gugatan di Pengadilan Niaga Jakarta itu bisa punya gigi.
Jadi, duit bisa kembali? Belum jelas. Hingga sekarang, penyelesaian kasus PT QSAR yang terang-terang berlokasi di negeri sendiri saja masihlah gelap. Apalagi ini menyangkut sebuah perusahaan di Australia sana. Ketika dicoba ditelusuri koresponden TEMPO, Dewi Anggraeni, pejabat di Western Australia bahkan menyatakan perusahaan dengan nama itu tak pernah terdaftar di wilayahnya.
Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini