TANPA curiga Dhulaikah menidurkan bayinya dibuaian (ayunan) yang sengaja dibuatnya di dekat ladangnya. Setelah itu ia sibuk memancangkan tiang-tiang panjatan kacang panjang di ladang itu. Ketika itulah, Ramlah, 19 tahun, diam-diam mendekati buaian bayi tersebut. Tanpa halangan Ramlah menuangkan cairan racun dari dalam kantung plastik ke mulut si bayi. Bayi itu, Bahtiar, yang baru berusia dua bulan, menurut Ramlah, tak menolak suguhannya. Toh Ramlah gemetar juga sehingga sebagian cairan itu tumpah ke baju si kecil. Tak lama kemudian bayi itu semaput dan menjerit keras-keras. Dhulaikah, 17 tahun, kontan meraung-raung begitu melihat bayinya menggelepar-gelepar dengan mulut penuh busa. Ia segera menanyai Ramlah, yang masih berdiri di situ. Ramlah, yang masih saudara sepupunya -- ayah mereka kakak-adik -- segera memeluk Dhulaikah. Mereka bertangis-tangisan. "Suamiku yang menyuruh membunuh anakmu," kata Ramlah. Tapi ucapannya tak berlanjut. Tiba-tiba, Ramlah melepas pelukannya dari tubuh Dhulaikah. Soalnya, ketika itu suaminya, Ridwan, muncul mengacungkan parangnya. Dhulaikah pun segera melarikan anaknya ke Rumah Sakit Lhokseumawe, Aceh Utara. Tapi keesokan harinya, Sabtu dua pekan lalu, bayi itu meninggal. Sementara itu, Ramlah bersembunyi ke hutan. Selama dua hari dia tidur di atas pohon. Tapi karena tak tahan lapar, Ramlah, wanita mungil setinggi 152 cm itu, menyerah ke rumah keuchik (Kepala Desa) Ulee Blang, Kecamatan Nisam. Keuchik kemudian menyerahkan Ramlah ke pos polisi setempat. Di pemeriksaan Ramlah mengakui perbuatannya. "Tapi saya tak tahu apakah kantung plastik itu berisi racun," kata Ramlah, yang cuma sekolah sampai kelas III SD itu. Menurut Ramlah, racun itu diserahkan suaminya, malam sebelumnya. "Masukkan ini ke mulut si Bahtiar itu. Kalau tidak, kugorok lehermu," kata Ramlah menirukan ancaman Ridwan, 50 tahun. Menurut Ramlah, semua itu akibat dendam suaminya. Sebab, menurut beberapa penduduk di desa itu, putri Ridwan, Nursaadah, 1,5 tahun, tewas 12 Oktober 1989 karena direbus Dhulaikah. Entah mengapa cerita itu jadi diyakini Ridwan. Padahal, Ramlah tahu betul Nursaadah meninggal gara-gara kelasakan anak itu. Ketika itu, di rumah Yusuf, ayah Dhulaikah, berlangsung peuseujeuk menyambut tujuh bulan kehamilan Dhulaikah. Ketika orang-orang lagi sibuk memasak, Nursaadah menumpahkan air kukusan nasi dari atas meja ke sekujur tubuhnya. Ramlah, yang sedang mengukur kelapa di sebelah meja itu, tak bisa berbuat apa-apa atas kecelakaan itu. Akibatnya, tubuh Nursaadah melepuh. Seminggu kemudian, anak itu meninggal. Sejak itu Ridwan membujuk bininya agar membunuh anak Dhulaikah. Tapi Ramlah tak setuju atas gagasan gila suaminya. Bahkan ia menceritakan niat jahat suaminya kepada Dhulaikah. Bahrum, 20 tahun, suami Dhulaikah, segera mengingatkan istrinya agar waspada begitu tahu rencana Ridwan itu. "Kalau begitu, kau harus hati-hati kepada Ramlah dan suaminya," kata Bahrum kepada Dhulaikah. Toh niat Ridwan terlaksana juga. Tapi di pemeriksaan polisi, Ridwan membantah menyuruh bininya membunuh Bahtiar. Ia pun dilepas kembali setelah ditahan selama dua hari. "Dia itu pesong (kurang waras)," kata polisi di kecamatan itu. Ridwan, ketununan Cina bekas gelandangan, semula dipelihara masyarakat desa itu. Apalagi kemudian ia masuk Islam. Penduduk bahkan mengawinkannya dengan Ramlah yang sudah yatim piatu. "Itu kewajiban kami kepada Ridwan yang mualaf," kata imam di desa itu, Jailani. Sedang Ramlah, setelah empat hari mendekam di tahanan polisi, dilepas kembali atas jaminan saudaranya. Malah Bahrum dan istrinya yang dipindahkan keluarganya ke desa lain. "Untuk menghindarkan kejadian lain akibat dendam kesumat itu," kata Yusuf. MS & Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini