Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sayang anak, bunuh tetangga

Hanya gara-gara layangan, Sudjana orang tua Djadjang ikut campur dalam pertikaian anaknya dengan Enda. Djadjang dipukul Enda. Sudjana, warga desa Mekarsari, Garut, Marah, Enda dicekiknya.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIASA, anak-anak berantem dengan teman sepermainannya. Yang tak biasa, bila orangtua ikut campur tangan membela anaknya. Lebih tak masuk akal lagi tindakan Sudjana, 45 tahun, yang tega mematahkan leher anak tetangganya, Enda, 13 tahun, hanya karena bocah itu berkelahi dengan anaknya. Untuk menghilangkan jejak, penduduk Desa Mekarsari, Garut, Jawa Barat, itu menggantung tubuh korban di pohon jambu, agar timbul kesan Enda bunuh diri. "Saya juga tak percaya Enda bunuh diri. Masa, anak bungsu kami yang sekecil itu bunuh diri," kata ayah korban, Eman, 60 tahun. Polisi Garut juga meragukan bocah kelas III SD itu bunuh diri. Sebab, posisi korban tidak seperti bisanya orang bunuh diri, dan tak pula menjulurkan lidah. "Posisinya dalam keadaan terduduk, dan dari mulutnya keluar darah segar. Dan yang lebih mencurigakan, tambang plastik yang dipakai menggantung itu dalam keadaan kendur," kata Kapolres Garut Letnan Kolonel A.S. Emay. Hari itu juga, 25 Februari lalu, polisi berhasil mengungkap kematian Enda. Dan pekan ini, rencananya, rekonstruksi pembunuhan itu dilakukan. Pembunuhnya, Sudjana, tetangga yang hanya berbatas satu rumah dengan rumah korban. "Saya menyesal, waktu itu hati saya lagi gelap," kata Sudjana, yang kini meringkuk di sel tahanan Polres Garut, menyesali emosinya yang tak terkontrol hanya gara-gara anak. Minggu siang itu, sepulang berkerja, buruh tani berkulit hitam dan bertubuh kekar itu mendapat laporan dari anak kesayangannya, Djadjang, 9 tahun. Si anak mengadu, ia baru saja berantem dengan Enda gara-gara layangan. "Saya dipukul dan didorong hingga jatuh," cerita Djadjang kepada ayahnya. Tanpa pikir panjang, Sudjana segera mencari Enda, yang biasanya menggembalakan kambing di sawah dekat rumahnya. Kebetulan bocah itu sedang bermain layangan di sawah tersebut. Begitu bertemu anak itu, Sudjana segera melayangkan tamparannya ke pipi kiri dan kanan anak itu. Masih belum puas, ia mencengkeram kepala bocah itu. Sekali tangan kekarnya bergerak, leher bocah itu berbunyi: Kreek! Akibatnya, sungguh di luar dugaan, Enda langsung tak berkutik -- mungkin tewas seketika. Sudjana pun bingung. Kebetulan ia menemukan tambang plastik pengikat kambing di kantung celana korban. Untuk menghilangkan jejak, korban dibopong Sudjana ke pohon jambu -- 15 meter dari rumah korban. Buru-buru ia membuat simpul pengikat yang kemudian dililitkan ke leher korban. Lalu korban digantungnya di pohon jambu itu. Setelah itu, Sudjana buru-buru meninggalkan korbannya. Ia menyangka perbuatannya itu tak akan ketahuan. Sejam kemudian, warga kampung yang berpenduduk 80 kepala keluarga itu gempar menemukan Enda mati tergantung di pohon. Di hadapan keluarga korban, Sudjana juga ikut berbelasungkawa, seolah-olah tidak terlibat kasus pembunuhan itu. Polisi, yang sudah mengetahui ada kejanggalan dalam kematian korban, segera menyidik. Beberapa bocah sepermainan Enda ditanyai. Semua bungkam atau mengatakan tak tahu-menahu, kecuali Omay, 7 tahun. Omay berbisik kepada orangtuanya, Bobon. "Pak, saya takut bilang. Tapi saya tahu orang yang membunuh Enda." Murid kelas I SD itu menyebut Sudjana pembunuhnya. Anak itu mengaku melihat semua kejadian. Tapi ia bersembunyi di balik semak-semak sembari melihat perbuatan sadistis itu -- termasuk bagaimana Sudjana menampar dan menggantung korban. "Saya waktu itu takut," katanya. Hari itu juga Sudjana diciduk polisi. Semula ia membantah membunuh Enda. "Bagaimana saya membunuh anak itu? Hari itu saya baru pulang dari Pangalengan (kecamatan di selatan Kota Bandung)," katanya. Tapi setelah diinterogasi lebih intensif, tersangka akhirnya mengakui perbuatannya. Semua itu, katanya, gara-gara ia terlalu menyayangi anaknya. "Djadjang memang anak laki-laki yang paling saya sayangi. Makanya, saya marah mendengar ia didorong Enda sampai jatuh," kata Sudjana kepada TEMPO. Dan kemarahan itu kini harus dibayar mahal: meringkuk di sel polisi. WY dan Hasan Syukur (Biro Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus