Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Embargo menimpa sang primadona

Ekspor sejumlah celana panjang pria dan anak-anak kena embargo di AS. Komoditi yang diekspor 30 pengusaha Indonesia itu, ditahan pabean AS. Alasannya, kuota sudah habis. Pembagian kuota jadi polemik.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu, seorang eksportir pakaian jadi menerima berita bagus. Ada pembeli dari AS, yang memesan sejumlah garmen. "Pesanan harap dikirim secepatnya dengan pesawat terbang. Ongkos angkut (freight) sampai US$ 1,5 per potong kami tanggung," begitu bunyi order yang sampai di meja pengusaha itu, di Jakarta. Sayang sekali, pesanan belum bisa direalisasi. Ketika ia hendak mengurus visa ekspor, pihak Kantor Wilayah Departemen Perdagangan (Kanwil Depdag) sedang tutup. Ia kelabakan. Ternyata, Sabtu pekan lalu itu, produsen serta eksportir tekstil dan pakaian jadi dipanggil Departemen Perdagangan. Selepas pertemuan dengan Menteri Muda Perdagangan Soedradjad Djiwandono, yang dalam kesempatan itu didampingi Dirjen Perdagangan Luar Negeri Paian Nainggolan, gairah dagang mereka surut tiba-tiba. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ian Daskian, Musa Sahehe dari Daya Manunggal Group, juga memilih diam. Padahal, biasanya mereka mudah diwawancarai. Dewi Motik, yang selalu murah informasi, kali ini langsung nyelonong pergi. Hari itu Departemen Perdagangan mempermaklumkan bahwa instansi itu tak akan mengeluarkan visa ekspor untuk beberapa kategori pakaian jadi sampai 22 Maret 1990. Artinya, kegiatan ekspor ke AS untuk beberapa produk tekstil terhambat. Yang terkena "hukuman" cukup banyak, di antaranya plain cloth (kategori 315), dresses (kategori 336/636), skirt (kategori 342/642), celana katun (kategori 347/348), dressing gown (kategori 351/631), woven fabric (kategori 611), jaket pria & anak-anak (kategori 634), knit shirt & blouses (kategori 638/639), man & boys shirts non-knit, celana panjang wanita (847). Semua produk tersebut justru sedang laris di Amerika. Bukankah orang-orang di Negeri Paman Sam itu bersiap-siap menyongsong musim panas? Nah, inilah saatnya eksportir menggebrak. Gemerincing dolar pun sudah terngiang-ngiang di telinga mereka. Larangan yang juga dikenal dengan istilah embargo itu merupakan pukulan telak buat ekspor garmen, yang di samping kayu lapis merupakan primadona ekspor nonmigas Indonesia. Kini para eksportir khawatir akan kehilangan kepercayaan dari importir AS, yang berarti juga kehilangan pangsa pasar. Lalu, bagaimana modal kerja (cash flow) yang sudah telanjur dipakai untuk memenuhi pesanan AS? Siapa yang harus membayar biaya gudang untuk barang yang yang "disandera" pihak pabean AS? Para bankir kabarnya sudah ketar-ketir. Sabtu lalu beberapa pengusaha mengaku telah ditelepon oleh banknya, menanyakan apakah ada produk mereka terkena larangan ekspor. Jika, misalnya, bank-bank itu sempat menyetop aliran kreditnya, bukan tidak mungkin ada industri tekstil atau pakaian yang kolaps. Departemen Perdagangan menghentikan pemberian visa ekspor, dalam upaya mencegah terjadinya embargo yang sudah menimpa sejumlah celana panjang pria dan anak-anak yang diekspor oleh 30 pengusaha Indonesia. Komoditi yang termasuk kategori 647 itu ditahan pabean AS. Alasannya, kuota kategori 647 untuk tahun berjalan (1 Juli 1989 sampai 30 Juni 1990) sudah habis. "Kami akan berusaha merundingkan masalah kuota itu dengan Pemerintah AS," kata Soedradjad. Kebetulan pada Kamis pekan ini Leonard Sorini, chief negotiator dari USTR (Departemen Perdagangan AS), akan singgah ke Jakarta dalam perjalanannya keliling ASEAN. Dirjen Paian Nainggolan menganggap masalah overshipment alias kelebihan pengiriman garmen sebagai hal yang lumrah. "RRC, misalnya, Januari lalu pernah mengalami hal serupa," katanya. Dan untuk kelebihan semacam itu, ada dua cara penyelesaian. Pertama, kelebihan kuota diperhitungkan sebagai pinjaman untuk kuota tahun berikutnya. Tapi, "jika kita terus-terusan meminta utang kuota, lama-lama pihak Amerika tentu bosan," kata seorang pengusaha. Cara lain adalah swing kuota. Melalui swing, kelebihan kuota dari satu kategori dituangkan pada kuota kategori lain yang tak terisi. Namun, cara itu pun kali ini sulit dilakukan. Mengapa? "Pada tahun ini hampir semua jenis kategori sudah hampir terisi penuh," kata Wien Dewanta, eksportir tekstil dari PT Fit-U di Bandung. Tapi mengapa AS, yang sudah bersikap keras itu, juga menolak untuk berunding? "Sikap keras AS ini mungkin saja ada hubungan dengan tertundanya tender proyek telepon STDI," begitu dugaan seorang staf ahli dari API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), Irwandi. Dalam analisa Irwandi, AS mungkin hendak mencari pendukung untuk mengegolkan usaha mereka mempertahankan MFA. Yang dimaksudkannya adalah perjanjian perdagangan tekstil dengan sistem Multifiber Arrangement. Mungkin baru nanti, pihak AS mau diajak berunding. Sebab, bukan tidak mungkin kesalahan ada di pihak mereka. Soalnya, pada 1987, pihak AS mulai menerapkan sistem yang disebut harmonised category. Dalam perjanjian bilateral antara pemerintah Indonesia dan AS, disebutkan bahwa sistem itu mengakibatkan berubahnya penghitungan dari ukuran yard ke meter persegi. Di samping itu, ada perubahan penghitungan kategori. Penghitungan kategori 648 (celana panjang, slack, dan celana pendek wanita dan anak perempuan) telah dikurangi sekitar 18,5%, kemudian dimasukkan ke dalam kategori 647. "Saya membaca di surat kabar, Pak Nainggolan mengatakan bahwa Departemen Perdagangan telah mengeluarkan visa sampai 118% untuk kategori 647. Kemungkinan besar ini akibat salah pengertian terhadap isi perjanjian itu," kata sebuah sumber yang layak dipercaya. Dan jika pihak Indonesia meminta yang 18,5% dikembalikan ke kategori 648, konon AS bersedia memenuhinya. Namun AS akan tetap memakai patokan penghitungan sesuai dengan jumlah kuota yang telah disepakati. Untuk tahun berjalan (1989-1990) misalnya, kuota kategori 647 adalah 597.533 lusin, sedangkan kuota kategori 648 adalah 1.483.571 lusin. Tapi, sangat besar kemungkinan, kesalahan hitung terjadi di pihak Indonesia. Apakah itu di pihak Departemen Perdagangan atau di kalangan eksportir sendiri. "Bisa saja eksportir tak mempunyai kuota, tapi mengirim barangnya. Tapi ini cuma dugaan saya," kata Musa Sahehe sambil tertawa. Kalangan industriwan tekstil umumnya berpendapat, kelemahan terbesar berada di kantor pusat Departemen Perdagangan. Masalahnya, instansi itu tidak mempunyai administrasi kuota yang rapi. Kelemahan ini, kabarnya, juga telah dikeluhkan Pemerintah Kanada dan salah satu negara Skandinavia. Akibatnya, pejabat urusan visa ekspor akan terus-menerus mengeluarkan SKA (surat keterangan asal barang), sementara kuota sudah habis. "Jadi, visa yang keluar tak ubahnya cek kosong," ujar seorang pengusaha. Ia berpendapat, kini diperlukan semacam lembaga seperti Sucofindo, yang bertugas mengaudit kuota dan realisasinya. Wien Dewanta, S.H., berpendapat serupa. "Jika pembagian kuota benar-benar dilakukan secara transparan, seperti pernah dijanjikan Pak Nainggolan, semua itu tak perlu terjadi," katanya. Dan Menteri Soedradjad Djiwandono juga telah menjanjikan keterbukaan itu. Jadi, sebaiknya kita menunggu. Max Wangkar, Ardian T. Gesuri, Bambang Aji, Yudhi Soerjoatmodjo (Jakarta), Ahmad Taufik (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus