Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan,
maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan
baginya.
(Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
DIKATAKAN bernasib baik, tersangka Wee Ah Goh agaknya memang
begitu. Ia, terdakwa penyelundup 14 batang emas, tak
disangka-sangka dibebaskan dari segala tuntutan hukum oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Utara Timur pertengahan Agustus lalu.
Sebenarnya ia memang terbukti berbuat (kejahatan pelanggaran)
seperti tuduhan jaksa: Membawa masuk 14 lempeng emaske Indonesia
dari Singapura dengan caragelap. Ia tidak memberikan keterangan,
dalam daftar isian yang sudah disediakan. untuk memberitahukan
barang bawaannya. Maksudnya memang hendak mengelabui petugas
pabean lapangan terbang Halim PK dengan tujuan menghindari
kewajiban membayar bea masuk dan pajak lainnya.
Tapi ketika berada dalam tahanan selama 20 bulan, sambil
menunggu perkaranya dibereskan pengadilan, di luar terjadi
perubahan ketentuan yang menguntungkan bagi perkaranya. Menteri
Keuangan, 24 Mei lalu, memutuskan: bea masuk dan PPn impor bagi
emas menjadi nol%. Berdasarkan SK Menteri Keuangan itulah, yang
dianggap telah.merubah undang-undanD yang dilanggar Wee Ah Goh,
Hakim lismar Siregar SH membuat keputusan yang menguntungkan
terdakwa. Bebas.
Pesawat Garuda GA 989, Desember 1975, mendarat di Halim PK jam
19.15 dari Singapura. Wee Ah Coh, 28, tinggal di Chuan Guan Str
(Singapura) turun dari pesawat bersama penumpang lain. Ia
mengaku hanya sebagai pelayan toko. Turun dari pesawat, menuju
tempat pemeriksaan pabean, ia menjinjing 2 koper berwarna
coklat. Koper yang tak terkunci itu, oleh petugas anti
penyelundupan dibuka dan diperiksa secara teliti. Ternyata di
dalamnya terdapat 14 lempeng emas bercap Matthey London 9999. Di
antaranya 8 batang (litemukan dalam koper di antara tumpukan
pakaian. Lainnya terbungkus kain, rapi, dalam koper satunya
lagi.
Barang bawaan Ah Goh ini jelas selundupan. Sebab pembawanya tak
mencantumkannya dalam formulir pemberitahuan barang yang sudah
disediakan. Jika barang itu lolos dari mata petugas, berarti
negara akan dirugikan pemasukan pajak dan bea masuknya sekitar
Rp 20 juta lebih.
Dalam pemeriksaan di pengadilan, Ah Goh yang bisa berbahasa Cina
-- karena itu di sampingnya duduk seorang penterjemah di bawah
sumpah -- mengakui segala perbuatannya. Ia, katanya, hanya orang
suruhan saja. Yang menyuruhnya membawa emas adalah seorang yang
bernama Mr Lee (nama yang biasa dipakai oleh penyelundup barang
maupun imigran gelap baik dari Singapura maupuIl dari Hongkong).
Siapa yang bakal menerima emas itu di Indonesia Ah Goh juga
menyatakan tak kenai orangnya. Ia hanya diperintahkan oleh Mr
Lee untuk menemui tukang tadahnya di sebuah hotel. Dan untuk
pekerjaannya itu Ah Goh menerima upah 700 dolar.
Ia berdiri di pengadilan tanpa pembela. Kepada hakim, dalam
pembelaannya, hanya minta hukuman yang seenteng-entengnya. Dan
hakimpun memenuhi permintaannya. Ia dibebaskan, walaupun
kejahatannya terbukti, karena diselamatkan oleh SK Menkeu. Tapi
semua emas bawaannya dinyatakan disita untuk negara. Alasan
Bismar, antara lain, toh barang itu tak diakui sebagai milik Ah
Goh sendiri. Dan Mr Lee sendiri juga tak dikenal siapa dan di
mana alamatnya. Menurut Bismar berdasarkan undang-undang tindak
pidana ekonomi -- dalam kasus semacam itu - tindakan ini
dibenarkan. Tambahan lagi, menurut penilaian hakim, "tidak
ternyata ada itikad baik dari Mr Lee."
Barang Berbahaya
Bagi Bismar, yang sudah kerap kali membuat keputusan menarik,
diakuinya "memang baru sekali ini menghadapi kasus yang
demikian." Lalu tepatkah keputusannya terhadap Ah Goh? Itu masih
harus menunggu keputusan resmi dari Pengadilan Tinggi maupun
Mahkamah Agung. Apa lagi jaksa penuntut umum, Sudibyo Saleh SH
yang menuntut hukuman 4 tahun penjara potong tahanan dan tambah
denda Rp 20 juta serta barang bukti harus dirampas untuk negara,
menyatakan naik banding. Secara umumpun, seperti biasanya, dari
para Hakim Tinggi bahkan :lakim Agung, sulit diharapkan
penjelasan spontan mengenai persoalan hukum. Semuanya harus
serba resmi dan menunggu sampai perkara memperoleh keputusan.
Namun dari kalangan tak resmi sudah ada komentar bagi keputusan
Bismar. Pertama-tama, memang harus dipertanyakan lebih dulu:
"Adakah orang yang bebas dari hukuman pokok, yang berarti jelas
sudah dinyatakan perbuatannya itu tak dapat dihukum, dapat
dikenai hukuman tambahan saja?" Begitu seperti yang
dipertanyakan oleh M. Assegaf pembela dari Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta.
Lalu adakah SK Menteri dapat merubah undang-undang? Seperti
diketahui "perubahan undang-undang, apalagi yang menyangkut
penerapan pasal KUHP, harus melalui Presiden dan DPR." Lalu
penyitaan barang, bukan sebagai hukuman tambahan karena hukuman
pokoknya tak dikenakan mungkin ditetapkan oleh hakim. Tapi hanya
mengenai barang-barang yang berbahaya jika dikembalikan kepada
pemiliknya. "Misalnya saja barang bukti itu berupa senjata api,"
kata Sudiryo SH dari Bagian Pidana Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini