NASIB film Saija dan Adinda kini masih terkatung-katung. Badan
Sensor Film bertahan pada putusannya untuk melarang film
tersebut diedarkan di wilayah hukum Indonesia.
Hiswara Darmaputra, pemilik film itu untuk peredaran di
Indonesia, tentu saja tidak tinggal diam setelah menanamkan
sejumlah besar uang pada film tersebut. Sulit ditemui oleh
wartawan, Hiswara ternyata sempat menulis sejumlah surat ke
alamat pemerintah dan mass media. Lewat surat-surat itu tentu
saja Hiswara membela filmnya. Bukan cuma itu Hiswara yang kenal
banyak orang penting di republik ini kabarnya sibuk pula
menghubungi tokoh-tokoh tersebut.
Dalam rangka kampanye untuk melawan BSF itulah nampaknya maka di
Singapura awal Agustus yang lalu Hiswara mengatur sebuah acara
pemutaran film Saija dan Adinda. Sempat diajak nonton oleh
Hiswara antara lain Menlu Adam Malik yang waktu itu dalam
perjalanan pulang dari KTT ASEAN di Kuala Lumpur. Adam Malik
kelihatannya terkesan oleh film itu, ini terbukti oleh seruannya
kepada generasi muda Indonesia agar menyempatkan diri menonton
film tersebut. Seruan yang disampaikannya lewat ceramahnya di
Menteng Raya 31 tanggal 10 Agustus yang lalu, terlontar ketika
Adam bercerita mengenai penindasan kaum penjajah terhadap bangsa
Indonesia. "Kalau melihat film itu baru bisa merasakan
penindasan dan kemiskinan akibat penjajahan yang menimbulkan
perlawanan," begitu Adam antara lain berkata.
Satu-satunya Jalan . . .
Tapi Adam tidak cuma berkampanye untuk film punya Hiswara itu.
Lewat ceramah yang sama, Adam Malik juga bertindak sebagai
kritikus film. Yang dikecam Adam adalah penggambaran bupati
sebagai pemeras. Kata Adam: "Jangan begitulah, karena saya dulu
juga kenal dengan anak bupati. Dan mereka tidak menindas."
Ketika berbicara mengenai adanya asisten residen yang membela
rakyat, Adam berkata: "Itu hanya satu di antara yang
beribu-ribu."
Tanpa menyebut kritik Adam Malik, Eiswara dalam suratnya kepada
TEMPO menyebut seruan Adam kepada generasi muda itu sebagai satu
pendapat lain di tengah banyaknya"perbedaan-perbedaan pendapat
mengenai film ini." Bahkan kepada TEMPO Hiswara ada menawarkan
nama-nama sejumlah orang "terkemuka dan terhormat" yang "cukup
mempunyai tanggung jawab untuk bisa memberikan penilaian ilmiah
terhadap film Saija dan Adinda," yang pendapatnya tentang film
ini agak berbeda dengan pendapat Mohamad Said (BSF) dan Soemarmo
(BSF).
Meski demikian, hingga kini belum terbetik berita mengenai
teguran atau tekanan terhadap pihak sensor yang telah berani
melarang peredaran film buatan Indonesia-Belanda itu. Soemarmo
malahan menyebut Kedutaan Besar Belanda sebagai pihak yang telah
melakukan pendekatan kepada BSF dengan harapan agar keputusan
penolakan itu bisa diubah. Soemarmo menolak. Katanya:
"Satu-satunya jalan ialah merevisi film itu."
Revisi yang diinginkan BSF itu barangkali saja bisa diterima
oleh Hiswara sebagai pemilik film tersebut di Indonesia. Tapi
soalnya bukan cuma membutuhkan uang yang banyak, juga kesediaan
Fons Rademakers sebagai sutradara ikut menentukan bisa tidaknya
film itu direvisi. Sebuah keterangan dari kalangan yang dekat
dengan Hiswara menyebutkan tidak mungkinnya revisi itu dilakukan
lantaran alasan keuangan. Tapi lebih dari alasan keuangan adalah
penolakan Fons untuk mengerjakan kembali filmnya itu. (lihat
wawancara).
Barangkali karena tidak mungkin melakukan revisi itulah maka
Hiswara mencoba menyelamatkan filmnya dengan cara melawan
argumentasi pelarangan BSF itu. Salah satu cara pembelaan itu
adalah menyebut skenario dan elited rush copy film itu sebagai
telah diperiksa dan disetujui oleh pemerintah. Tapi kepala Bina
Produksi Direktorat Film Deppen, drs Mulyarso, memberikan
keterangan lain. Mengakui bahwa skenario Saija dan Adinda memang
telah diperika oleh pihaknya, Mulyarso juga berkala: "Dalam
persetujuan atas skenario itu, diberikan pula catatan mengenai
mana yang harus diubah dan mana yang harus diperbaiki. Namun
Mulyarso tak menunjukkan catatan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini