Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Begini Awal Mula Korupsi Pengelolaan Timah di Bangka Belitung yang Seret Harvey Moeis Dkk

Persidangan perdana Harvey Moeis membuka tabir praktik lancung pengelolaan timah di Kepulauan Bangka Belitung.

15 Agustus 2024 | 06.00 WIB

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah Harvey Moeis menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2024. Dalam dakwaannya, Jaksa menyebut Harvey Moeis dan para tersangka lain diperkaya oleh Suranto Wibowo senilai Rp 420 miliar dalam perkara korupsi timah tersebut. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah Harvey Moeis menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2024. Dalam dakwaannya, Jaksa menyebut Harvey Moeis dan para tersangka lain diperkaya oleh Suranto Wibowo senilai Rp 420 miliar dalam perkara korupsi timah tersebut. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Persidangan perdana Harvey Moeis yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2024, membuka tabir praktik lancung pengelolaan timah di Kepulauan Bangka Belitung. Jaksa Penuntut Umum atau JPU dalam dakwaannya menjelaskan PT Timah Tbk sejak 2015 sudah tidak lagi melakukan penambangan di wilayah penambangan darat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Alasannya karena menjamurnya penambang ilegal yang memasuki kawasan izin usaha pertambangan (IUP) berbekal izin usaha jasa pertambangan (IUJP) yang dikeluarkan pemerintah provinsi setempat. Alhasil, tak ada pilihan lain bagi PT Timah selain menghalalkan praktik lancung tersebut dengan menampung hasil penambang ilegal yang beroperasi di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Meskipun mengetahui bahwa penambangan ilegal tidak diperbolehkan, namun PT Timah Tbk menyepakati untuk membeli timah hasil penambangan ilegal tersebut,” kata jaksa membacakan surat dakwaan di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Rabu, 14 Agustus 2024.
 
Jaksa mengatakan agar praktik tersebut seolah-oleh legal, PT Timah Tbk membuat program kerja sama Mitra Jasa Penambangan. Adapun setiap tahunnya, jumlah perusahaan yang ikut program tersebut berbeda-beda, pada 2015 sebanyak 69 perusahaan,  2016 sebanyak 59 perusahaan,  2017 sebanyak 56 perusahaan. Pada 2018 sebanyak 51 perusahaan, 2019 sebanyak 46 perusahaan, 2020 sebanyak 31 perusahaan, 2021 sebanyak 23 perusahaan, dan 2022 sebanyak 40 perusahaan.
 
Untuk membeli bijih timah melalui program kerja sama itu, PT Timah Tbk mendasarkan pembayaran pada akumulasi biaya jasa Tambang, Biaya Jasa Manajemen Proporsional Produksi dan Jasa Manajemen Over Produksi dikurangi perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun itu hanya berjalan satu tahun sejak 2015.
 
Pada 2016 hingga 2022, pembayaran oleh PT Timah Tbk didasarkan pada jumlah bijih timah yang dihasilkan penambang disesuaikan dengan harga pasar timah pada saat transaksi dilakukan, “Yang dicatatkan seolah-olah sebagai pembayaran Imbal Biaya Usaha Jasa,” kata jaksa.
 
Namun, meski sudah diatur sedemikian rupa, masih ada saja celah melakukan prakti lancung lainnya. Beberapa perusahaan mitra jasa pertambangan tidak menjual hasil konsentrat bijih timah yang berkadar High Grade kepada PT Timah Tbk. Hasil terbaik penambangan bijih timah dijual ke kolektor-kolektor yang selanjutnya kolektor-kolektor tersebut menjual bijih timah ke smelter swasta di daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 
 
“Selain itu terdapat banyak penambangan ilegal di dalam wilayah IUP PT Timah Tbk yang hasilnya dijual ke smelter swasta, meliputi PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa dan PT Menara Cipta Mulia yang mengakibatkan tidak tercapainya target produksi di PT Timah Tbk,” kata Jaksa.
 
Menurut jaksa, program kemitraan jasa pertambangan sejak 2015 sampai dengan 2022 merupakan rekayasa PT Timah Tbk untuk melegalisasi penambangan maupun pembelian bijih timah dari pertambangan illegal di wilayah IUP PT Timah Tbk. Sehingga mengakibatkan terjadi pengeluaran PT Timah Tbk yang tidak seharusnya sebesar Rp10.387.091.224.913 atau Rp 10,38 triliun.
 
Harvey Moeis merupakan satu dari 23 tersangka kasus korupsi di wilayah IUP PT Timah Tbk yang disidik Kejagung. Dalam kasus ini, Harvey Moeis berperan sebagai perwakilan PT Refined Bangka Tin sebagai peratara jual beli bijih timah dari penambang ilegal ke PT Timah. Harvey Moeis disebut-sebut memiliki kedekatan dengan pejabat di PT Timah Tbk.
 
Harvey Moeis didakwa telah memperkaya diri sendiri dan orang lain dari hasil korupsi sebesar Rp 420 miliar, dalam pengelolaan IUP PT Timah Tbk tahun 2015-2022 hingga merugikan negara mencapai Rp 300 triliun. Untuk tindak pidana korupsinya, Harvey Moeis didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara untuk TPPU, Harvey didakwa dengan Pasal 4 Undang-Undang tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957. Memulai karier jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menulis untuk desk hukum dan kriminal

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus