HARI Lebaran di rumah Belit Perangin-angin dirayakan dengan
ratap tangis. Sebab sehari sebelum Belit, 45 tahun, diantar
pulang tanpa nyawa oleh petugas Laksusda Sumatera Utara. Yaitu
setelah disekap di rumah tahanan di Jalan Gandhi, Medan, sejak
awal Agustus.
Musibah yang menimpa keluarga Perangin-angin dari Desa Namutrasi
(Kabupaten Langkat), berawal pada kejadian malam 3 Agustus lalu.
Kepala Desa Tungku Surbakti didatangi serombongan petugas
Laksusda dari Medan dan diajak menangkap Belit. Kepala Desa tak
sempat menanyakan apa dosa salah seorang warganya tersebut.
Belit memang sebelumnya dikenal orang rada tak beres suka
berkelahi dan pernah berurusan dengan polisi karena mencuri
lembu.
Sejak malam itulah Belit dijebloskan ke rumah tahanan di Jalan
Gandhi. Tak seorang anggota keluarga pun diizinkan menjenguk
Belit. Sampai akhirnya mayatnya diantarkan pulang setelah
dibungkus kain kafan.
Petugas yang mengantarkan hanya mengatakan "Dia mati karena
sakit." Itu saja -- tanpa penjelasan apa sakitnya, apalagi surat
keterangan kematian sebagaimana mestinya. Sebagai basa-basi
petugas menghibur: "Sebenarnya bapak ini tidak bersalah, tapi
dalam proses pembebasannya ia sakit lalu mati." Begitu katanya
sambil menyerahkan uang sebagai biaya penguburan, Rp 75 ribu,
kepada Piah boru Sembiring, istri almarhum, yang kemudian
bercerita sambil tak henti-hentinya menangis.
Sakit? Keluarga Perangin-angin tak ada yang percaya. "Ketika
ditangkap badan bapak gemuk, kok mayatnya kurus?" ratap Juli,
anak tertua Belin Piah, yang memeriksa mayat suaminya, katanya
ada menemukan bekas biru memar di pangkal paha.
Dua hari setelah mengantarkan mayat Belit, petugas Laksusda juga
mengantarkan mayat lain ke rumah Ratinah, di Desa Purba Ganda di
Simalungun. Ibu tua di rumah tersebut tentu saja kaget setelah
menyingkap wajah mayat yang telah dikafani: "Ini Misman, anakku,
kok jadi begini kau nak," raungnya sebelum kemudian jatuh
pingsan bersama suami dan menantunya.
Sambil meninggalkan uang Rp 25 ribu, dikatakan sebagai biaya
penguburan, petugas berpesan "Tinggal dikuburkan saja, karena
sudah dikafani dan disembahyangkan." Keluarga Misman tak berani
memeriksa keadaan mayat Misman. Tapi mereka dapat menceritakan:
darah masih mengalir dari bagian bahu dan pinggul. "Darahnya
sampai luber ke tilam," kata Rafsiah, istri Misman, yang
menerima baju suaminya dari tangan petugas dalam keadaan.
berlumur darah.
Misman ditangkap seminggu sebelum kematiannya di Sungai Rampah
(Deli Serdang) hanya karena dicurigai membawa barang curian.
Tapi almarhum di desanya memang berandalan. Sering terlibat
perkelahian dan pencurian.
Tapi, bagaimanapun, cerita tentang petugas Laksusda yang
mengantarkan kedua mayat tahanannya segera menjadi pembicaraan
tak sedap di Medan. Banyak yang menyambutnya sebagai bukti
cerita seram -- penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya yang
berlangsung di rumah tahanan militer di Jalan Gandhi (TEMPO,
Daerah, 23 Agustus). Ditambah lagi dengan bahan cerita baru:
Seminggu setelah kematian Misman, petugas Laksusda: menembak
mati Baik Gafur alias Beyek, 34, di Jalan Sutrisno Medan.
Repotlah Laksusda harus menjernihkan nama baiknya.
Melalui siaran persnya, Humas Laksusda mencoba menjelaskan
kematian Belit maupun Misman. Kata siaran itu, benar-benar
karena sakit. Belit mati karena penyakit asthma yang gawat
sedangkan Misman karena infeksi yang kronis. Itu, menurut
Laksusda, dapat dibuktikan dengan keterangan dokter (visum) dari
Rumah sakit Kodam II/BB. Jadi, "tak benar kematian tersebut
akibat penyiksaan di tempat tahanan ...," bantah Humas Laksusda.
Adapun kematian Beyek, menurut Laksusda, adalah karena
kesalahannya sendiri. Beyek tertangkap basah ketika menodong
seorang wanita. Petugas yang memergokinya katanya, sebenarnya
sudah memberi peringatan dengan menembakkan senjata apinya ke
atas. Tapi Beyek melawan. Terpaksalah petugas menembak dan
kebetulan mengenai dadanya.
Namun begitu, masih banyak yang tak puas dengan keterangan
Laksusda. Sebab orang masih dapat menunjukkan cerita yang
bersumber dari penghuni rumah tahanan di Jalan Gandhi. Yaitu
dari para preman yang ditahan di sana dalam rangka "Operasi
Manunggal Jaya."
Juga dari cerita kematian The A Fui dan Tumin yang tak
dijelaskan Humas Laksusda. Begini singkatnya A Fui, 45, diciduk
Laksusda dengan tuduhan mengedarkan toto gelap. Tapi sampai tim
operasi anti perjudian gelap dibubarkan, A Fui tak keluar-keluar
juga dari tempat tahanannya di Jalan Gandhi.
1 Agustus lalu A Fui dibebaskan dari tahanan tanpa melalui
proses pengadilan. Tapi begitu keluar dari tahanan A Fui harus
langsung masuk rumahsakit. Dan dua hari kemudian ia meninggal.
Begitu juga nasib yang menimpa Tumin, 52, kenek truk, yang juga
ditangkap Laksusda dengan tuduhan mengedarkan toto gelap. Ia
dibebaskan dari Jalan Gandhi setelah mendekam di sana selama 40
hari. Tapi keadaannya sudah tampak runyam: badannya lemah,
kurus, sakit-sakitan dan kepalanya gundul.
Karena terlalu miskin istrinya, Paini, tak mampu membawa Tumin
berobat ke rumahsakit. Tumin hanya diikhtiarkan ke dukun
kampung. Tak lama kemudian Tumin, ayah dari 6 orang anak itu,
meninggal dunia.
Kematian A Fui dan Tumin memang belum tentu akibat perlakuan
buruk petugas Laksusda. Namun seorang pejabat di Laksusda Sum-Ut
tak membantah kemungkindn ada perlakuan keras di rumah
tahanannya. Tapi Adnan Buyung Nasution, Ketua Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta, "hampir-hampir tak percaya" mendengar
cerita seram dari Jalan Gandhi. Di Medan ia mengatakan: "Petugas
yang melakukan pemeriksaan harus dituntut tanpa pandang bulu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini