Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sanksi Etik Menunggu Polisi yang Diduga Memeras Penonton Konser DWP

Polisi diduga memeras warga Malaysia dengan modus razia narkoba di arena Djakarta Warehouse Project.

26 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perhelatan musik Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, 13 Desember 2024, TEMPO/Defara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Puluhan pengunjung DWP asal Malaysia mengaku menjadi korban pemerasan oleh polisi.

  • Modus polisi menggelar razia narkoba dan tes urine sebelum meminta uang kepada penonton.

  • Sebanyak 18 polisi yang diduga terlibat pemerasan penonton konser DWP sedang diperiksa.

PULUHAN pengunjung Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 dari Malaysia mengaku menjadi korban pemerasan. Pemerasan terjadi ketika polisi menggelar razia narkoba dengan meminta para penonton konser itu menjalani tes urine. Para penonton yang terjaring razia mengaku diancam akan ditahan bila tidak menyerahkan sejumlah uang meski hasil tes negatif penggunaan obat terlarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dugaan pemerasan itu terjadi di arena DWP yang digelar di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, pada 13-15 Desember 2024. “Sejauh ini baru dua orang yang melapor,” kata Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI Inspektur Jenderal Abdul Karim pada Selasa, 24 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dugaan pemerasan ini mencuat setelah sejumlah korban mengunggah cerita di media sosial tentang pemerasan yang mereka alami tersebut. Berdasarkan hasil penyelidikan, kata Abdul, jumlah korban tercatat sebanyak 45 warga Malaysia. Mereka datang ke Jakarta khusus untuk menonton pertunjukan DWP. Jumlah itu diperkirakan bertambah setelah Polri membuka desk pengaduan di Kedutaan Besar RI di Malaysia.

Abdul mengatakan sebanyak 18 polisi saat ini tengah diperiksa. Mereka berasal dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, Kepolisian Resor Jakarta Pusat, dan Kepolisian Sektor Kemayoran. Penyidik juga telah menyita barang bukti uang senilai Rp 2,5 miliar.

Bersamaan dengan pemeriksaan itu, di dunia maya beredar 12 nama polisi yang diduga sebagai pelaku pemerasan. Mereka adalah Ajun Komisaris Besar Malvino Edward, Komisaris Polisi Jamalinus, Komisaris Polisi Dzul Fadian, Ajun Komisaris Yudhy Triananta Syaeful, Inspektur Satu Sehatma Manik, Inspektur Satu Syaharuddin, Ajun Inspektur Satu Armadi Juli Marasi Gultom, Brigadir Dwi Wicaksono, Brigadir Fahruddin Rizki Sucipto, Brigadir Kepala Wahyu Triharyanto, Brigadir Kepala Ready Pratama, dan Brigadir Satu Dodi.

Abdul tidak memberi jawaban tegas ketika dimintai konfirmasi ihwal nama-nama tersebut. "Ya, beberapa nama memang ada di situ," ujarnya. Dia mengatakan polisi yang diduga terlibat sudah ditangani oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. "Pekan depan direncanakan sudah dilaksanakan sidang kode etik."

Anggota Kompolnas, Muhammad Choirul Anam (kedua dari kiri), dan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Abdul Karim (kanan) berbicara kepada awak media perihal kasus dugaan pemerasan terhadap warga Malaysia oleh oknum polisi dalam gelaran Djakarta Warehouse Project di gedung Mabes Polri, Jakarta, 24 Desember 2024. ANTARA/Nadia Putri Rahmani

Mantan Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Besar (Purnawirawan) Slamet Pribadi, prihatin atas pemerasan yang terjadi di arena DWP 2024. "Menyalahgunakan kekuasaan dalam penegakan hukum harus dihukum berat, baik pelanggaran kode etik maupun pelanggaran hukum pidana," ucapnya pada Rabu, 25 Desember 2024.

Apalagi narkotik termasuk kejahatan luar biasa. Karena itu, kata Slamet, penanganan tindak pidana ini tidak boleh biasa-biasa saja. Kebijakan hukum dan implementasi penanganannya juga harus linier.

Menurut Slamet, polisi memang memiliki wewenang menggelar razia narkotik di lokasi-lokasi tertentu. Adapun prosedur yang digunakan dalam razia narkotik tidak berbeda dengan razia yang biasa dijalankan oleh kepolisian untuk mengantisipasi tindak kejahatan. "Sama seperti penindakan penegak hukum lain," kata Slamet.

Salah satunya menyiapkan petugas terlatih dan peralatan yang diperlukan. Sebelum razia digelar, kata Slamet, pimpinan wajib menjelaskan prosedur operasi standar (SOP) kepada anggota yang dilibatkan dalam razia. Misalnya, tindakan apa yang harus diambil bila nanti ditemukan barang bukti dan pelakunya. Semua tindakan harus diperhitungkan dan tidak boleh menyalahi aturan. "Termasuk didampingi tim tes urine dan tim asesmen narkotik kalau itu operasi penindakan kejahatan narkotik," tuturnya.

Untuk menggelar razia di tempat umum yang menjadi pusat keramaian, kata Slamet, perlu diperhitungkan reaksi orang-orang di tempat itu. "Jangan sampai ada gejolak, efek samping negatif, atau perlawanan masyarakat yang membahayakan keselamatan petugas dalam menjalankan penegakan hukum."

Pengajar hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, mengatakan pemerasan di DWP ini makin merusak citra polisi. Apalagi kasus ini menyeret warga negara asing yang merupakan tetangga Indonesia.

Chudry mengatakan pengambilan sampling tes urine tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Paling tidak, tindakan itu diawali oleh dua asumsi. Pertama, ada peristiwa khusus yang terjadi sebelumnya. Kedua, dilakukan di lokasi-lokasi tertentu yang memang rawan peredaran narkoba, seperti klub malam atau tempat karaoke.

Apabila tidak ada kedua unsur itu, Chudry menyebutkan sampling tes urine hanya mengada-ada. Misalnya, tiba-tiba menggelar razia narkotik di mal padahal tidak ada peristiwa khusus yang mengawali. Razia di mal menjadi masuk akal bila memang polisi memiliki target tertentu. “Perlu diingat, razia semacam ini belum masuk ke penyelidikan ataupun penyidikan,” ujarnya.

Pelaksanaan tes urine, kata Chudry, diatur dalam Undang-Undang Narkotika dan peraturan Kapolri. Prosedurnya pun tidak boleh di tempat umum. "Jadi harus ada tempat khusus."

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Sekjen PBHI) Gina Sabrina menyatakan pemerasan yang melibatkan polisi ini merupakan bagian dari praktik korupsi yang terjadi di institusi kepolisian. Karena itu, bila memang terbukti terjadi pemerasan, pelaku harus dikenai sanksi etik dan pidana.

Perhelatan musik Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 di JiExpo Kemayoran, Jakarta, 13 Desember 2024. TEMPO/Defara

Gina berpendapat tes urine hanya bisa dilakukan dalam konteks penyidikan. Adapun unsur pertama adalah adanya dugaan tindak pidana, kemudian ditemukan penguasaan narkotik. Ketika dua unsur itu tidak terpenuhi, tes urine tak boleh dilakukan. "Tes urine yang dilakukan di konser DWP itu bertentangan dengan UU Narkotika karena tidak dalam konteks penyidikan," katanya.

Pasal 75 huruf L Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang menyatakan penyidik BNN berwenang melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam deoksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lain untuk penyidikan.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, sependapat dengan Gina. Menurut dia, penggeledahan untuk kasus narkotik hanya dalam konteks penyelidikan dan penyidikan. “Jadi harus ada bukti permulaan,” ucapnya. "Misalnya polisi mau menargetkan DWP. Nah, itu harus dalam konteks polisi tahu ada pembelian di sana."

Sedangkan tes urine yang dilakukan dalam upaya pencegahan, kata Maidina, tidak bisa dipaksakan. Orang bisa saja menolak menjalani tes urine bila tidak ada indikasi apa pun dalam penggunaan narkotik. "Enggak bisa dipaksa."

Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Mukti Juharsa enggan menjelaskan tentang prosedur pelaksanaan tes urine. "Tanya ke Humas, ya," ujarnya lewat aplikasi WhatsApp. Begitu juga dengan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo. Hingga artikel ini ditulis, dia tidak menjawab panggilan telepon dan pesan yang dikirim ke nomor teleponnya.

Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus