Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pandai Besi, Dengan Semangat Membaja

Suka duka para pandai besi dari bali, yogyakarta, jakarta. mereka umumnya kesulitan bahan baku tapi industri modern tak mematikan usaha mereka.

6 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI jarak ratusan meter, suara melengking-lengking itu sudah terdengar. Besi ditempa besi beralas besi pula. Dan di tengah menggebunya industri modern belakangan ini, suara-suara itu tak pernah mengganggu anak telinga Nyoman Lugra, seorang pandai besi di Banjar Dajan Tanggluk, Desa Kesiman, Denpasar. Kedua tangan Nyoman, sepanjang hari, setiap hari, masih terus memompakan angin ke tungku. Suara pompa itu mendengus-dengus seperti kambing kasmaran, menghembuskan angin: bara-bara yang menyala dan besi pun melunak siap ditempa menurut kehendak Lugra. Nyoman sudah berada di tempat kerjanya sejak fajar mulai menyingsing. Mengenakan celana kolor dan berkacamata putih, ia langsung menyiapkan arang pembakar. Sendirian. Begitu besi yang akan dibentuk siap ditempa, ia pun berlari-lari ke tempat penempaan. Lalu mengikir -- dan seterusnya. Nyoman Lugra, 60 tahun, sudah 25 tahun menjadi pandai besi. Ia mewarisi kerja itu dari ayahnya. "Seingat saya, sejak anak-anak saya bermain-main dengan api dan besi," katanya mengenang. Mula-mula ia membuat sabit bergerigi. Ternyata para petani dan gembala ternak menyukai buatannya. Setiap hari ada saja pesanan datang, sampai Lugra kewalahan. Bahan baku yang diambil dari drum bensin sulit didapat. Akhirnya ia membuat pengumuman, "setiap pemesan harap membawa bahan baku sendiri-sendiri." Lugra juga membuat pacul berbentuk garpu, pisau, belakas, golok, kapak dan sebagainya. "Tapi sekarang saya lebih suka menerima pasuh (reparasi) saja," ujarnya, "karena selain sulit bahan baku, hasilnya lebih lumayan" Misalnya saja sebuah golok yang dijual dengan harga Rp 600 bahan bakunya, yang terdiri dari per mobil, sudah mencapai Rp 300 Biaya pembakarannya kira-kira Rp 100. "Jadi saya hanya dapat Rp 200 saja. Padahal kalau terima pasuh, hanya ngetok-ngetok, hasilnya sudah lumayan." katanya sambil tersenyum. Sampai Tua Rata-rata setiap hari Lugra mereparasi 20 buah golok. Anak-anaknya sering ikut dikerahkan kalau banyak pasuhan. Tak jelas berapa hasilnya, namun orang tua ini sanggup membiayai seorang istri dengan 3 orang anak. Rumahnya yang mula-mula berdinding gedek perlahan-lahan jadi tembok bata dan termasuk rumah kelas II di banjarnya, apalagi kini juga sudah ditongkrongi lambang status di desa: sebuah pesawat teve. Tapi kecelakaan adalah risiko yang sudah dipahami tiap pandai besi. Suatu kali tangannya cidera kena palu. Selama setengah bulan ia tak bisa kerja. Sementara pasuhan golok mengalir terus disertai omelan dari pemiliknya yang tak sabar. Syukur anak-anaknya dapat mengambil alih tugas, sehingga pekerjaannya yang kemudian sudah menjadi andalan orang kampung masih tetap bisa dilanjutkan. "Saya ingin bekerja sebagai pandai besi dengan semangat membaja sampai tua," kata Lugra dengan bersemangat. Di Desa Kajar, Kelurahan Karang Tengah, Wonosari, Yogyakarta sepanjang hari juga terdengar suara benturan besi para tukang besi tradisional. Di situ bermukim sekitar 50 buah industri alat-alat pertanian yang tergabung dalam sebuah koperasi yang bernama "Besi Kajar" -- yang terdiri dari beberapa perusahaan. Benda-benda yang dihasilkan antara lain kapak, petel, gatul, pacul, tatah, arit dan sebagainya. Mereka bekerja tidak atas pesanan. "Ada tidaknya pesanan kami kerja terus," kata Sodinomo, 70 tahun, salah seorang pandai besi di situ. Di setiap unit koperasi biasa terlihat seorang wanita duduk pada tempat ketinggian dengan tangan naik turun memegangi tangkai, memompa angin menyalakan api. Sementara api mengamuk di tungku, tiga orang empu siap dengan martilnya, yang disebut panjak, memukul bahan baku yang panas itu untuk dibentuk menurut kehendak. Besi yang membara itu diletakkan di atas paron (ganjal besi) lantas secara bergiliran mereka menggebuknya. Tok-tok-tok-tok ... Sodinomo jadi tukang besi sejak 1960. Bukan keahlian warisan nenek moyangnya. Lima tahun sebelumnya ia menjadi tukang pukul pada salah satu unit pandai besi. Setelah mahir ia baru jadi empu sendiri. Kemudian ia membuka usaha sendiri dan jadi juragan. Kini ia membawahi 6 orang buruh. Salah seorang di antaranya bernama Suhadi, anaknya sendiri, yang juga sudah jadi empu. Dan nama anak lelaki itulah yang jadi merk usahanya. Lengkapnya "Suhadi Kajar". Umumnya setiap buruh bergaji Rp 1.000 sehari. Panjak dapat Rp 500, tukang pompa api alias ububan dapat Rp 300, tukang kikir Rp 500. Jadi setiap hari kapitalis kecil Sodinomo ini harus mengeluarkan Rp 3.000 untuk karyawannya plus biaya makan Rp 1.000. Dari biaya tersebut setiap hari dapat dihasilkan: 30 buah wadung, 35 petel, 40 gatul, 20 pacul, 70 tatah dan 40 buah arit. Masing-masing dijual dengan harga Rp 400, Rp 200, Rp 300, Rp 900 dan Rp 3.000 buat tatah per kodi, sedang arit Rp 200. Empat hari sekali, setiap Legi, hasil tempaan tersebut dibawa ke seluruh pedagang pengumpul (agen) di Pracimantoro dan Jatisrono, di wilayah Kabupaten Wonogiri (Ja-Teng). "Yang jelas waktu barang-barang tersebut disetor uang langsung diterima," kata Sodinomo. Keuntungan bersihnya kalau dihitung-hitung hanya Rp 250 per hari. "Cukup untuk makan, tapi tidak bisa beli radio," ujar empu itu. Keluarganya memang tidak tampak sebagai kapitalis kecil yang makmur. Rumahnya pun masih berlantai tanah, gelap, tak ada jendela serta hanya punya beberapa buah kursi bambu untuk tamu. Loterei Buntut Karena itu untuk mengganjal kebutuhan-kebutuhan lain, Sodinomo juga merangkap jadi petani di atas satu hektar tanah tegalan. Sementara itu ketujuh anaknya sudah menancapkan hidup mereka masing-masing pada profesi tetap. Dua bergaul dengan besi, sisanya jadi petani. Besi yang diolah di Desa Kajar berasal dari rel kereta api. Dibeli lewat koperasi dengan harga Rp 200 per kg. Bahan bakar yang digunakan adalah arang yang harganya Rp 2o0 per pikul. Dengan semua itu Sodinomo yang tah pernah makan sekolah berjuang melawan produk dari industri besi modern, termasuk produk dari luar negeri dengan nyali yang besar. Hasil-hasilnya secara kualitas berani ia adu. Masrun, 19 tahun, pemuda lulusan SD adalah seorang buruh pemukul di Desa Pinatan, tetangga Desa Kajar. Ia bekerja dari pukul 7 pagi sampai pukul 4 sore. Gaji yang diterimanya sehari Rp 500 untuk ukuran pemuda Gunung Kidul yang belum punya tanggungan termasuk lumayan. "Tapi habis juga uang itu, soalnva saya suka membeli loterei buntut," ujarnya. Setiap penarikan ia masang Rp 500. "Kalau kena lumayan, saya bisa beli sepeda," ujarnya. Masrun bercita-cita kelak jadi empu. Tapi melihat keadaan desa tetangganya, Kajar, ia merasa cita-cita itu sulit dicapai. Kenapa? "Di desa saya kebanyakan empu itu sendiri atau keluarganya yang punya perusahaan. Keluarga saya tak punya perusahaan, hingga saya sulit maju," katanya mengadu. Keluarganya adalah pedagang, kecil-kecilan. Paling banter kadangkala salah seorang keluarganya menemukan besi bekas rel, lalu dijual kepada majikan Masrun. "Saya tak tahu dari mana besi itu didapat, entah rel mana yang dicopot," katanya sambil senyum. Dokter Atau Kiai Di dekat Surabaya nasib pandai besi lebih baik. "Di sini sekarang tidak hanya bisa membuat alat-alat pertanian, tapi sudah bisa memenuhi pesanan peralatan sepeda dan sepeda motor," kata Mohamad Moein 45 tahun, di Desa Pandaian, selatan Surabaya. Kawasan tersebut sejak zaman Belanda sudah tersohor sebagai sarang pandai besi yang dulu mempoduksi pacul dan sepatu kuda. Bahkan sempat dipaksa Belanda membuat topi baja. "Di zaman Jepang lebih kejam lagi, kami disuruh membuat samurai. Saya kira sebagian besar samurai yang digunakan Jepang berasal dari sini," kata Moein. Moein sekarang lebih banyak membuat sadel sepeda motor atas pesanan. Pemesan itu kemudian memasang merknya. Buruhnya 25 orang yang menghasilkan 150 buah sadel sehari. Para pandai besi di Pandaian ini memang telah mengikuti segala gerak-gerik kebutuhan kota. "Dulu sebelum juragan-juragan Cina mempergunakan alat-alat modern untuk membuat bodi kolt dan mobil lainnya, banyak pesanan yang mengalir kemari," kata Moein. Waktu itulah banyak pandai besi yang jadi juragan dan membangun rumah. Tapi sejak 5 tahun terakhir ini, pesanan menyusut, karena kebangkitan alat-alat pres modern oleh pengusaha bermodal besar. Namun demikian, pesanan masih tetap ada. "Bahkan masih banyak yang belum terlayani," kata Satta, pengusaha besi yang sudah 3 turunan bergaul dengan besi. "Alhamdulillah jadi pandai besi dulu dan sekarang memang jauh lebih baik sekarang," sambut Moein. Tapi ia sendiri tak menghendaki anak cucunya meneruskan pergaulan dengan besi. "Saya ingin anak cucu saya jadi insinyur, dokter atau kiai," kata Moein terang-terangan. Kalau liburan datang dan anak-anaknya bermain di dapur lempat besi itu ditempa, ia selalu berteriak, "hee sana kamu, nanti kamu ketularan jadi pandai besi!" Sebagai Hadiah Desa Bait, Kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar, juga penuh dengan pandai besi. Di pondok-pondok yang beratap daun rumbia dan berlantai tanah tanpa dinding, tampak penduduk berkelompok-kelompok memanggang besi, mengikir parang atau membuat hulu pisau. Desa yang dihuni oleh 3.000 nyawa itu separuhnya adalah pandai besi. Utoh Sulaiman, 50 tahun, sejak zaman Jepang sudah bergumul dengan besi. Penghasilannya sekarang Rp 1.000 sehari. Itu tak dapat menopang hidupnya secara penuh. Untuk menutup lubang-lubang dapurnya ia mengerjakan sepetak sawah, kadangkala jadi buruh di ladang orang lain. Praktis ayah dari 7 orang anak ini bekerja sampai tengah hari saja di pemanggangan besi. Yang menolongnya adalah kemajuan industri modern tak sempat membunuh sumbernya yang utama. "Karena mana sanggup industri modern bikin parang macam kami buat," katanya dengan yakin dan bangga. Rekannya, Mohamad Ali, 50 tahun, dikenal sebagai pembuat rencong. Ia sudah mendapat gelar utoh, artinya sudah ahli dalam profesinya. Ia membuat rencong atas pesanan dengan harga tinggi. Sebuah rencong pernah dibuatnya dengan harga Rp 200 ribu, dalam waktu 34 hari. Tapi pesanan semacam itu jarang. "Biasanya orang yang memesan menggunakannya sebagai hadiah kepada pejabat," kata Ali. Di samping itu sulit mendapat bahan baku, karena rencong terbuat dari besi putih dan kuningan. Di Jakarta pandai besi sudah sulit dicari sekarang. "Di Jakarta jarang yang berani capek dan tekun jadi pandai besi," kata Saleh, pandai besi yang sudah berpengalaman 20 tahun, di Warung Buncit Jakarta selatan. Disambut oleh Tohir alias Tjien Bi, Cina Islam yang sudah bekerja sejak tahun 1962 di bengkel dokar: "Boro-boro pesanan, dandan delman saja jarang sekarang. Boleh dikata sebulan sekali belum tentu datang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus