RINTIHAN ibu yang melahirkannya, Jumanta, 60 tahun, tak mengurangi kebengisan Arman. Dengan garang, parangnya diayunkannya ke tubuh wanita renta itu. Ibu tiga anak itu langsung roboh sambil mengerang kesakitan. Darah muncrat dari dahinya. Arman bukannya kasihan, malah langsung menerkam dan menempelkan parang yang digenggamnya itu ke leher ibunya. "Bles ..." Masya Allah, leher orang tua itu nyaris putus. Tubuh Jumanta langsung diam. Tewas. Jeritan Jumanta Rabu pagi dua pekan lalu itu mengundang warga Desa Sungai Tata, Kota Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Begitu mereka tiba di halaman rumah panggung itu, kaki mereka terhenti. Persis di atas tangga depan pintu, Arman berdiri dengan kaki terkangkang. Parang panjang yang berlumuran darah tergenggam erat di tangan kanannya. Matanya menatap liar ke tetangga yang mengerumuni rumahnya. Sambil mengacung-acungkan parang berdarah, lelaki 37 tahun itu mengancam setiap orang yang berusaha mendekat. Ancaman lelaki yang hanya tamat SD itu membuat warga melangkah surut. Lalu penduduk segera melapor ke Polsek Petak. Ketika polisi berdatangan, Arman sudah mulai lunak dan tanpa banyak kesulitan petugas meringkusnya. "Waktu itu saya mulai sadar bahwa saya telah membunuh ibu saya," kata Arman dari balik terali besi Polres Kapuas kepada TEMPO. Latar belakang pembunuhan itu, kata Arman, tak lain dari kebenciannya kepada wanita, terutama yang cerewet -- kendati yang terbunuh ibunya sendiri. Sejak bercerai dengan istri keduanya, lelaki yang sehari-hari petani itu menjadi pendiam dan enggan bicara dengan wanita. Akhir-akhir ini, kata beberapa tetangganya, ia lebih sering mengurung diri di rumah. Paling jauh ia pergi ke rumah orangtuanya yang hanya terpaut tiga rumah. Itu pun sekadar makan atau minum kopi. Arman mengaku kadang-kadang masih tertarik jika melihat wanita cantik. "Tapi kalau si wanita itu terlalu banyak bicara, saya tiba-tiba sangat membencinya. Malah ingin memukulnya," katanya tenang. Gara-gara cerewet itulah istri pertamanya, Maryamah, sering dipukulinya. Akibatnya, gadis sekampungnya itu minta cerai, setelah memberinya seorang anak perempuan yang kini berusia 12 tahun. Istri keduanya, Salamah, juga bernasib serupa, gara-gara suka nyerocos. Belum sempat punya anak, wanita itu sudah angkat kaki. Setelah menduda, Arman sering makan dan minum di rumah ibunya, seperti ketika peristiwa terjadi. Pada hari itu, seperti biasanya, lelaki yang hanya tamat SD itu minta disediakan makan. Selesai makan, rencananya, ia akan pergi bersama ibunya ke sawah. Duda satu anak itu, tanpa banyak bicara, makan dengan lahap. Saat itulah, ibunya menunjuk lumbung padi. "Kalau padi di lumbung itu sudah habis, kamu jangan lagi minta makan di sini," kata Jumanta. Ocehan ibunya itu membuat darah Arman mendidih. Ia, katanya, tiba-tiba sangat benci kepada ibunya. Ocehan ibunya mengingatkan Arman pada perilaku istri-istrinya dulu. Arman lalu mencabut parang panjang yang terselip di tembok dan mengayunkannya ke tubuh Jumanta. Semula semua orang menduga Arman kurang waras, karena tega membunuh ibunya sendiri. Tapi polisi yakin, Arman tak gila. Apalagi di depan polisi ia bisa menjawab semua pertanyaan petugas dengan gamblang. "Tak perlu dia dibawa ke ahli jiwa. Untuk apa, ia sama sekali tak menunjukkan gangguan jiwa. Ia benar- benar waras. Dia menjawab semua pertanyaan dengan lancar," kata Wakapolres Kapuas Mayor M. Situmorang. Akhir pekan lalu, polisi menyerahkan perkara Arman ke kejaksaan. "Apalagi yang harus ditunggu. Ia sudah mengakui semua perbuatannya. Saksi-saksi juga sudah ada," kata Situmorang. Dari balik terali, anak durhaka itu sekarang hanya bisa menyesali nasibnya. "Semuanya sudah terjadi. Saya tak sadar bahwa yang saya tebas ibu saya sendiri. Saya pasrah," katanya pelan, sambil menundukkan mukanya. Gatot Triyanto dan Almin Hatta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini