Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Benteng Yang Hampir Rubuh

Praktek-praktek mafia peradilan di lingkungan hakim. pengaduan tentang hakim yang tidak bersih terus mengalir dari berbagai daerah. departemen kehakiman membersihkan hakim-hakim yang tercela.

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

9 DARI 10 hakim tidak bersih. Itulah yang diduga Kamil Kamka -- ketika ia masih duduk di kursi Komisi I/DPR, sebelum menjabat Inspektur Jenderal Departmen Kehakiman RI. Kini dugaannya diperkuat. Lihat saja, katanya, sepanjang Januari kemarin saja pengaduan tentang tingkah hakim yang "tidak bersih" mengalir dari berbagai penjuru tanah air. Seorang hakim di Pakanbaru diketahuinya main unah. Di Bandung ada hakim memeras tersangka Rp 250 ribu. Di kota lain ada pula hakim yang merendahkan martabatnya dengan bertindak sebagai lintah darat. Yang paling celaka, katanya, kebiasaan memenangkan atau mengalahkan seseorang hanya karena mengincar duitnya saja. Caranya: seorang penggugat dikalahkan, karena sang hakim mengharapkan imbalan dari yang menang, si tergugat. Di pengadilan banding nanti giliran penggugat yang akan dimenangkan. Dan di lembaga pengadilan selanjutnya? Keluh-kesah para pencari keadilan lebih panjang lagi . . . Di bawah Mudjono, sejak tiga tahun lalu, Depkeh memang banyak membersihkan pengadilan dari hakim-hakim yang dinilai tak beres. Ada 22 dari 57 hakim yang diberhentikan dengan SK Presiden. Selebihnya ada yang dimutasikan, dilarang masuk kantor, atau sekedar ditegur secara tertulis. Dan tindakan yang terakhir, terhadap empat orang hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhir bulan lalu, disertai keterangan Opstib yang gamblang: praktek tercela mereka menjurus kepada "penyalahgunaan jabatan di lingkungan pengadilan . . . " Peranan calo, dan pengacara yang bertindak sebagai calo, mau tak mau mengesankan suatu jalinan kerjasama yang teratur. Itulah agaknya mafia-peradilan, seperti yang dituduhkan Peradin (organisasi advokat) tahun lalu. Begitu rupa soalnya hingga Ketua DPP Peradin S. Tasrif mengatakan sejak beberapa tahun ini ia ogah berperkara ke pengadilan. Ia sangat yakin akan adanya praktek buruk seperti diungkapkan Opstib itu. Sejak 3 - 4 tahun belakangan ini, Tasrif -- juga pengacara sepuh seperti Mr. Lukman Wiriadinata dan Abidin -- selalu menolak perkara. Kliennya dari luarnegeri boleh saja kecewa karenanya. Tapi apa boleh buat. "Saya memang sudah frustrasi," kata Tasrif, pengacara berumur 58 tahun itu kalah di pengadilan memang biasa. Tapi, kalau terus-terusan kalah -- hanya karena tak mau ikut-ikutan membeli putusan hakim -- "ya malu juga," kata Tasrif pula. Peradin tak menyangkal peranan advokat dalam kerjasama busuk mafia peradilan tidak kecil. Bahkan Peradin juga yang pertama mengaitkan adanya "mafia" ini dengan kasus Pengacara Soenarto Soerodibroto -- yang konon mengakui kerjasamanya dengan hakim dan jaksa dalam mengatur perkara Kepala Dolog Kal-Tim. Cuma, setelah itu, seperti kata pimpinan Peradin yang lain, Adnan Buyung Nasution, "secara formal Dewan Kehormatan Peradin tak pernah menerima laporan tentang kelakuan anggota yang ada hubungannya dengan kegiatan mafia peradilan." Buyung mengharapkan, pemeriksaan Opstib terhadap keempat hakim Jakarta akan sampai juga mengungkapkan keterlibatan advokat. BAGAIMANA dengan keterlibatan jaksa Penjelasan Opstib tentang penyelewengan para hakim dan pengacara tidak menyebut-nyebut peranan jaksa. Tapi Kejaksaan Agung sendiri juga tidak sepi. Terutama Januari lalu, menurut Humas Kejaksaan Agung Tomasouw banyak jaksa kena tindak Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan Umum: 7 dari 15 jaksa dipecat. Seorang di antaranya dari Kejaksaan Tinggi Maluku, kata Tomasouw, selain dipecat juga diadili. Selebihnya kena tindakan disiplin. Tapi Tomasouw menolak bila semua itu dihubungkan dengan kegiatan anti "mafia-peradilan". Sebab, katanya, kesalahan para jaksa yang ditindak hanya berkisar soal disiplin (ada yang bolos kantor sampai 44 hari), menelantarkan anakistri atau mengambil istri muda. Sedangkan yang sampai diadili? Maaf, Tomasouw "belum tahu persis" duduk soalnya. Nomor pertama "mafia-peradilan" memang pada hakim. Biarlah, kata Menteri Mudjono, benteng terakhir bagi pencari keadilan harus rapi lebih dulu. "Lha kalau bentengnya sudah rubuh-mau bagaimana lagi?" kata Mudjono. Di pihak lain, Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. H. Oemar Seno Adji menyerahkan segala macam tindakan administratif kepada Mudjono. "Itu merupakan hak eksekutif," katanya. Yang terang, katanya, "sekarang giliran hakim yang kena".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus