KANTOR Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gedung tua di Jalan
Gajahmada 17, hari-hari ini dari luar tampak biasa saja. Tapi,
ada terjadi sesuatu di sana. Sehingga seorang hakim, tak bisa
menutupi apa yang berkecamuk dalam hatinya. Ia menulis surat
kepada Menteri Kehakiman RI: "Pak, belum apa-apa kami kok sudah
dituduh?" Hakim lain dengan wajah gelisah bertanya kepada
Inspektur Jenderal (Irjen) Departemen yang mengurus hakim-hakim
itu: "Siapa lagi menyusul ditindak? "
Menteri Mudiono tak bisa menghibur kegelisahan itu, "Bagi saya
berlaku pepatah lama," katanya, "mana ada asap kalau tak ada
api?"
Irjen Kamil Kamka malah tak sedikit pun memberi harapan kepada
hakim yang datang kepadanya "Ambil cermin dan berkacalah --
mengapa mesti takut kalau tak bersalah?"
Maka dengan bersungguh-sungguh Mudjono menyatakan hendak
membersihkan pengadilan dari hakim-hakim korup. "Walaupun untuk
itu semua hakim harus diberhentikan!" sentaknya.
Pemberhentian sementara terhadap 4 hakim belakangan ini,
sebenarnya merupakan nomor besar dari beberapa langkah
pembersihan dan penertiban terdahulu. Disebut begitu, karena
yang terkena, J.Z. Loudoe, Hanky Izmu Azhar dan Heru Gunawan,
adalah 3 hakim senior pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
yang selama ini tampak kokoh kedudukannya.
Dan yang seorang lagi, H.M. Soemadijono, sudah lama duduk di
kursi ketua pada pengadilan yang sama, sebelum dilantik sebagai
hakim tinggi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta awal tahun ini.
Sebelum terbukti di pengadilan orang-orang itu belum boleh
dibilang berdosa. Tapi toh kesalahan hakim-hakim itu langsung
diumumkan bersama Pangkopkamtib Laksamana Sudomo Kepala Operasi
Tertib (Opstib) Pusat Mayjen E.Y. Kanter dan Menteri Kehakiman
Mudjono. Ada yang menganggap tindakan itu mendahului proses
yang benar. Meskipun demikian, pengungkapan itu juga banyak
ditanggapi sebagai pembuktian apa yang selama ini banyak
diduga-duga orang: perdagangan gelap vonis-vonis di dunia
peradilan.
Praktek tersebut, menurut Opstib berupa "penyalahgunaan jabatan
di lingkungan pejabat peradilan -- khususnya di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat". Contohnya terdapat kebiasaan pada para
hakim untuk memberi sejumlah uang kepada ketuanya. Uang itu
adalah imbalan terhadap pembagian perkara yang mereka terima.
Besar-kecilnya upeti, kata Opstib, tergantung nilai atau omset
perkara yang diterima. Lalai memberi upeti bisa berakibat
kantung sang hakim jadi kering: bakal tak kebagian perkara
basah.
Tuduhan itu tak sampai di situ cuma: Agar bisa memberi ke atas,
hakim-hakim itu dikatakan memeras orang-orang yang mencari
keadilan. Caranya: dengan menekan kanan-kiri, menunda sidang
memperlambat keputusan, memerintahkan penahanan atau
penglepasan, menjatuhkan atau mengangkat sitaan jaminan. Semua
itu bertujuan, tak lain, cari uang.
Dikatakan pula ada hakim yang biasa minta agar ketua
memperbolehkannya menangani suatu perkara -- yang dianggapnya
bisa mendatangkan uang. Sebaliknya menurut Opstib pula, pencari
keadilan yang lihai sering dapat membujuk agar perkaranya
dipegang hakim tertentu yang sudah dipilihnya.
Semua permainan ini dikatakan diatur oleh calo-calo perkara.
Orang-orang ini berkeliaran keluar masuk ruang sidang, kantor
hakim dan kantor panitera. Pengacara atau advokat pun diketahui
banyak yang berpraktek begitu.
Terdengar pula cerita tentang perkara perdata ditenderkan.
Artinya, pihak yang berani membayar lebih tinggilah yang akan
menang. Opstib mengemukakan praktek lain: perkara perdata yang
mestinya diperiksa majelis hakim, ternyata hanya ditangani
ketuanya sendiri. Anggota majelis hanya tinggal meneken vonisnya
saja -- lalu terima "bagian".
Buktinya? Di tangan Opstib. Berangkat dari kasus Hakim Heru
Gunawan, yang dijebak belum lama ini (TEMPO, 17 Januari), opstib
mengumpulkan berbagai keterangan dari 56 orang yang dianggap
bertanggung jawab urusan ketidak beresan dunia peradilan.
Setidaknya yang disangka tahu soal itu. Merasa bukan hanya dia
seorang yang tak beres, Heru alias Oey Djhing Lip menyeret nama
beberapa koleganya -- termasuk bekas ketuanya, Soemadijono.
Dan ternyata tak hanya Heru Gunawan yang bersikap begitu.
Belakangan ini beberapa hakim saling tunjuk.
Ada misalnya yang menuduh majelis hakim Perkara Pluit menerima
suap Rp 2 milyar. Untuk itu, kata yang menudull, putusan
terhadap tcrAaka Endang Wijaya jauh-jauh hari telah diatur
bebas dari tuduhan subversi dan dihukum 7 tahun penjara.
Sebagai langkah pertama, lanjutnya, Endang Wijaya dilepaskan
dari tahanan -- sampai akhirnya Laksusda DKI Jaya harus
mencomotnya kembali.
Untuk mempertanggungjawabkan Perkara Pluit itulah, menurut si
penuduh, bekas majelis hakim yang terdiri dari Soemadijono,
Loudoe dan Hanky dirumahkan.
Benarkah? Hanky tak terperanjat dituduh begitu. Tetap tinggal di
rumahnya di Cipinang Jaya, Jakarta Timur, "meski tak dilarang
bepergian" katanya, Hanky mengatakan: "Dari semula perkara itu
penuh isu: seolah-olah dari permulaan keputusan sudah diatur --
sudah ada dalam amplop."
Akan halnya dilepaskannya Endang Wijaya dari tahanan, seperti
pernah ditetapkannya, Hanky tak berkomentar. Namun sumber TEMPO
yang lain menyatakan, hal itu sebenarnya telah disetujui
berbagai instansi penegak hukum. Dan lagi permintaan keringanan
bagi terdakwa, katanya, datang dari "seorang pejabat terkemuka".
Hakim lain yang tak disebut-sebut Opstib, Anton Abdurahman,
tiba-tiba juga kena tuding koleganya. Dia dituduh "suka
mempermainkan" orang yang mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan
RI (SBKRI).
Optsib memang dapat membuktikan kerjasama pejabat pengadilan
dengan para calo dalam mempermainkan calon warganegara: biaya
pengurusan yang mestinya cuma Rp 200 ribu, bisa jadi Rp 1,7
juta. Tapi benarkah Anton ikut "main"? "Kalau tidak dari situ,"
kata seorang hakim yang menuduh Anton "dari mana ia bisa pakai
Mercy Tiger?"
Sudah tentu sebuah Mercy Tiger tak mudah jadi bukti. Anton
sendiri marah -- dan membantah keras. Sebagai hakim yang
mengurus SBKRI -- bersama Hakim Suwandono -- ia mengatakan
bahkan tak pernah bertemu muka dengan pemohonnya. Berkasnya pun,
tambah-nya, tak pernah dilihatnya. Sebab, kata Anton, proses
pengurusan SBKRI diatur bekas ketuanya, Soemadijono: hakim
seperti dia hanya ditugasi meneken saja. Pernah, katanya ia
menunda memberikan tanda tangannya, "tapi saya segera ditegur
dan dimarahi ketua."
Adapun mobil mewahnya, Mercy Tiger, sungguh mati bukan diperoleh
dengan cara 'memungli' siapa pun. Barang itu, kata Anton, dibeli
dari uang penjaulan toko milik pribadi: "Rp 18 juta".
Yang mencoba bertenang diri dan tidak menyeret-nyeret orang lain
-- meski ikut rombongan yang diperiksa Opstib -- adalah beberapa
advokat. Pengacara Kho Gin Tjan, seperti ceritanya kepada
TEMPO, memang ditanya Opstib sekitar perkara-perkara yang
dimenangkannya. Di situ ia membantah pernah membayar hakim untuk
perkara apa pun.
Pernahkah ia dimintai uang oleh salah seorang hakim? "Itu untuk
perayaan 17 Agutus," jawabnya tertawa. Kepada beberapa panitera,
begitu diakuinya, ia memang ada memberikan persen. Cuma sekitar
Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu. "Soalnya," kata Kho Gin Tjan,
"kalau mereka tak diberi, bisa susah, . . . mereka bisa
'ngamuk!" Artinya, urusan bisa dipersulit.
Sama dengan Kho Gin Tjan adalah Budhi Sutrisno. Ketika ia
ditanya Opstib tentang uang yang sudah dikeluarkan dalam
mengurus Perkara Pluit, seperti diceritakan kepada TEMPO, Budhi
menjawab: "Banyak sekali. Tapi semuanya untuk membayar kewajiban
Endang Wijaya kepada bank dan pemerintah." Menyimpulkan
pemeriksaan Opstib terhadap dirinya, Budhi berkata "Pokoknya
hakim-hakim yang diskors itu bukan karena Kasus Pluit."
Yang belum bisa membantah agaknya para panitera. Semua kepala
panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memang diperiksa
Opstib. Salah seorang, dari mereka menandatangani pengakuan:
pernah memberi upeti Rp 10 juta kepada sang ketua. Padahal,
katanya, dari orang yang berperkara mereka hanya bisa mengutip
paling banter Rp 20 ribu. Lalu mengapa teken surat pengakuan
"Ya, teken saja, daripada tak boleh pulang," kata seorang
panitera.
Sampai awal pekan ini, memang belum pasti benar adakah tuduhan
-- dan juga pengakuan -- memang bisa dipercaya. Tapi sementara
sejumlah hakim dan petugas pengadilan gelisah, dag-dig-dug kalau
keserempet, banyak sambutan gembira disanjungkan kepada Menteri
Mudjono dan Opstib. "Tindakan ini positif," kata seorang
pengacara, "setidaknya menggertak mereka yang ingin ikut-ikut
main."
Tapi ia menambahkan juga: "Ada baiknya suasana kecemasan ini
segera berakhir. "Kasihan orang yang jujur, tapi mungkin kena
seret."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini