Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Meskipun Tak Semuanya Pedagang ...

Beberapa hakim ditindak, terlibat dalam mafia peradilan. panitera dan pengacara diperiksa opstib. keputusan hakim diperdagangkan. lembaga peradilan mendapat kritikan pedas.

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTOR Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gedung tua di Jalan Gajahmada 17, hari-hari ini dari luar tampak biasa saja. Tapi, ada terjadi sesuatu di sana. Sehingga seorang hakim, tak bisa menutupi apa yang berkecamuk dalam hatinya. Ia menulis surat kepada Menteri Kehakiman RI: "Pak, belum apa-apa kami kok sudah dituduh?" Hakim lain dengan wajah gelisah bertanya kepada Inspektur Jenderal (Irjen) Departemen yang mengurus hakim-hakim itu: "Siapa lagi menyusul ditindak? " Menteri Mudiono tak bisa menghibur kegelisahan itu, "Bagi saya berlaku pepatah lama," katanya, "mana ada asap kalau tak ada api?" Irjen Kamil Kamka malah tak sedikit pun memberi harapan kepada hakim yang datang kepadanya "Ambil cermin dan berkacalah -- mengapa mesti takut kalau tak bersalah?" Maka dengan bersungguh-sungguh Mudjono menyatakan hendak membersihkan pengadilan dari hakim-hakim korup. "Walaupun untuk itu semua hakim harus diberhentikan!" sentaknya. Pemberhentian sementara terhadap 4 hakim belakangan ini, sebenarnya merupakan nomor besar dari beberapa langkah pembersihan dan penertiban terdahulu. Disebut begitu, karena yang terkena, J.Z. Loudoe, Hanky Izmu Azhar dan Heru Gunawan, adalah 3 hakim senior pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang selama ini tampak kokoh kedudukannya. Dan yang seorang lagi, H.M. Soemadijono, sudah lama duduk di kursi ketua pada pengadilan yang sama, sebelum dilantik sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta awal tahun ini. Sebelum terbukti di pengadilan orang-orang itu belum boleh dibilang berdosa. Tapi toh kesalahan hakim-hakim itu langsung diumumkan bersama Pangkopkamtib Laksamana Sudomo Kepala Operasi Tertib (Opstib) Pusat Mayjen E.Y. Kanter dan Menteri Kehakiman Mudjono. Ada yang menganggap tindakan itu mendahului proses yang benar. Meskipun demikian, pengungkapan itu juga banyak ditanggapi sebagai pembuktian apa yang selama ini banyak diduga-duga orang: perdagangan gelap vonis-vonis di dunia peradilan. Praktek tersebut, menurut Opstib berupa "penyalahgunaan jabatan di lingkungan pejabat peradilan -- khususnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat". Contohnya terdapat kebiasaan pada para hakim untuk memberi sejumlah uang kepada ketuanya. Uang itu adalah imbalan terhadap pembagian perkara yang mereka terima. Besar-kecilnya upeti, kata Opstib, tergantung nilai atau omset perkara yang diterima. Lalai memberi upeti bisa berakibat kantung sang hakim jadi kering: bakal tak kebagian perkara basah. Tuduhan itu tak sampai di situ cuma: Agar bisa memberi ke atas, hakim-hakim itu dikatakan memeras orang-orang yang mencari keadilan. Caranya: dengan menekan kanan-kiri, menunda sidang memperlambat keputusan, memerintahkan penahanan atau penglepasan, menjatuhkan atau mengangkat sitaan jaminan. Semua itu bertujuan, tak lain, cari uang. Dikatakan pula ada hakim yang biasa minta agar ketua memperbolehkannya menangani suatu perkara -- yang dianggapnya bisa mendatangkan uang. Sebaliknya menurut Opstib pula, pencari keadilan yang lihai sering dapat membujuk agar perkaranya dipegang hakim tertentu yang sudah dipilihnya. Semua permainan ini dikatakan diatur oleh calo-calo perkara. Orang-orang ini berkeliaran keluar masuk ruang sidang, kantor hakim dan kantor panitera. Pengacara atau advokat pun diketahui banyak yang berpraktek begitu. Terdengar pula cerita tentang perkara perdata ditenderkan. Artinya, pihak yang berani membayar lebih tinggilah yang akan menang. Opstib mengemukakan praktek lain: perkara perdata yang mestinya diperiksa majelis hakim, ternyata hanya ditangani ketuanya sendiri. Anggota majelis hanya tinggal meneken vonisnya saja -- lalu terima "bagian". Buktinya? Di tangan Opstib. Berangkat dari kasus Hakim Heru Gunawan, yang dijebak belum lama ini (TEMPO, 17 Januari), opstib mengumpulkan berbagai keterangan dari 56 orang yang dianggap bertanggung jawab urusan ketidak beresan dunia peradilan. Setidaknya yang disangka tahu soal itu. Merasa bukan hanya dia seorang yang tak beres, Heru alias Oey Djhing Lip menyeret nama beberapa koleganya -- termasuk bekas ketuanya, Soemadijono. Dan ternyata tak hanya Heru Gunawan yang bersikap begitu. Belakangan ini beberapa hakim saling tunjuk. Ada misalnya yang menuduh majelis hakim Perkara Pluit menerima suap Rp 2 milyar. Untuk itu, kata yang menudull, putusan terhadap tcrAaka Endang Wijaya jauh-jauh hari telah diatur bebas dari tuduhan subversi dan dihukum 7 tahun penjara. Sebagai langkah pertama, lanjutnya, Endang Wijaya dilepaskan dari tahanan -- sampai akhirnya Laksusda DKI Jaya harus mencomotnya kembali. Untuk mempertanggungjawabkan Perkara Pluit itulah, menurut si penuduh, bekas majelis hakim yang terdiri dari Soemadijono, Loudoe dan Hanky dirumahkan. Benarkah? Hanky tak terperanjat dituduh begitu. Tetap tinggal di rumahnya di Cipinang Jaya, Jakarta Timur, "meski tak dilarang bepergian" katanya, Hanky mengatakan: "Dari semula perkara itu penuh isu: seolah-olah dari permulaan keputusan sudah diatur -- sudah ada dalam amplop." Akan halnya dilepaskannya Endang Wijaya dari tahanan, seperti pernah ditetapkannya, Hanky tak berkomentar. Namun sumber TEMPO yang lain menyatakan, hal itu sebenarnya telah disetujui berbagai instansi penegak hukum. Dan lagi permintaan keringanan bagi terdakwa, katanya, datang dari "seorang pejabat terkemuka". Hakim lain yang tak disebut-sebut Opstib, Anton Abdurahman, tiba-tiba juga kena tuding koleganya. Dia dituduh "suka mempermainkan" orang yang mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI). Optsib memang dapat membuktikan kerjasama pejabat pengadilan dengan para calo dalam mempermainkan calon warganegara: biaya pengurusan yang mestinya cuma Rp 200 ribu, bisa jadi Rp 1,7 juta. Tapi benarkah Anton ikut "main"? "Kalau tidak dari situ," kata seorang hakim yang menuduh Anton "dari mana ia bisa pakai Mercy Tiger?" Sudah tentu sebuah Mercy Tiger tak mudah jadi bukti. Anton sendiri marah -- dan membantah keras. Sebagai hakim yang mengurus SBKRI -- bersama Hakim Suwandono -- ia mengatakan bahkan tak pernah bertemu muka dengan pemohonnya. Berkasnya pun, tambah-nya, tak pernah dilihatnya. Sebab, kata Anton, proses pengurusan SBKRI diatur bekas ketuanya, Soemadijono: hakim seperti dia hanya ditugasi meneken saja. Pernah, katanya ia menunda memberikan tanda tangannya, "tapi saya segera ditegur dan dimarahi ketua." Adapun mobil mewahnya, Mercy Tiger, sungguh mati bukan diperoleh dengan cara 'memungli' siapa pun. Barang itu, kata Anton, dibeli dari uang penjaulan toko milik pribadi: "Rp 18 juta". Yang mencoba bertenang diri dan tidak menyeret-nyeret orang lain -- meski ikut rombongan yang diperiksa Opstib -- adalah beberapa advokat. Pengacara Kho Gin Tjan, seperti ceritanya kepada TEMPO, memang ditanya Opstib sekitar perkara-perkara yang dimenangkannya. Di situ ia membantah pernah membayar hakim untuk perkara apa pun. Pernahkah ia dimintai uang oleh salah seorang hakim? "Itu untuk perayaan 17 Agutus," jawabnya tertawa. Kepada beberapa panitera, begitu diakuinya, ia memang ada memberikan persen. Cuma sekitar Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu. "Soalnya," kata Kho Gin Tjan, "kalau mereka tak diberi, bisa susah, . . . mereka bisa 'ngamuk!" Artinya, urusan bisa dipersulit. Sama dengan Kho Gin Tjan adalah Budhi Sutrisno. Ketika ia ditanya Opstib tentang uang yang sudah dikeluarkan dalam mengurus Perkara Pluit, seperti diceritakan kepada TEMPO, Budhi menjawab: "Banyak sekali. Tapi semuanya untuk membayar kewajiban Endang Wijaya kepada bank dan pemerintah." Menyimpulkan pemeriksaan Opstib terhadap dirinya, Budhi berkata "Pokoknya hakim-hakim yang diskors itu bukan karena Kasus Pluit." Yang belum bisa membantah agaknya para panitera. Semua kepala panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memang diperiksa Opstib. Salah seorang, dari mereka menandatangani pengakuan: pernah memberi upeti Rp 10 juta kepada sang ketua. Padahal, katanya, dari orang yang berperkara mereka hanya bisa mengutip paling banter Rp 20 ribu. Lalu mengapa teken surat pengakuan "Ya, teken saja, daripada tak boleh pulang," kata seorang panitera. Sampai awal pekan ini, memang belum pasti benar adakah tuduhan -- dan juga pengakuan -- memang bisa dipercaya. Tapi sementara sejumlah hakim dan petugas pengadilan gelisah, dag-dig-dug kalau keserempet, banyak sambutan gembira disanjungkan kepada Menteri Mudjono dan Opstib. "Tindakan ini positif," kata seorang pengacara, "setidaknya menggertak mereka yang ingin ikut-ikut main." Tapi ia menambahkan juga: "Ada baiknya suasana kecemasan ini segera berakhir. "Kasihan orang yang jujur, tapi mungkin kena seret."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus