INDONESIA bukanlah negeri jelek. Tapi mengenai keadilan, S.
Tasrif, advokat kawakan, hanya punya kalimat: "Telah menjadi
tragedi Indonesia."
Kepadanya tak usah ditanyakan bukti-bukti, kalau yang dimaksud,
dalam kata-kata Tasrif, bukti "juridis berbentuk kuitansi. "Bagi
Tasrif, seperti banyak pengacara Indonesia lain, kongkalikong di
sekitar dunia peradilan sudah menjadi "rahasia umum".
Pemerintah nampaknya tak ingin ini terus. Melalui pelbagai
jebakannya Opstib (Operasi Tertib) memberi bukti "rahasia umum"
tersebut. Ada sebuah dokumen, disebut sebagai catatan Opstib
tahun lalu (seperti yang dapat diperoleh dari kalangan anggota
DPR). Di dalamnya beberapa perkara eks penyelundupan yang
disebut Perkara 902 dikemukakan sebagai bukti. Antara lain:
33 dari 77 orang yang disangka penyelundup kelas berat,
ternyata tidak pernah disentuh pengadilan. Hal itu bisa terjadi,
begitulah diduga keras, karena para tersangka menyuap atau
di"pungli" penegak hukum. Sisanya ada yang divonis pengadilan
dengan hukuman tertentu, atau dibebaskan, atau diadili tanpa
hadirnya si tersangka. Ada pula (1 orang) diajukan ke pengadilan
-- tanpa disertai barang bukti.
Beberapa yang tak diadili dalam dokumen itu ada disebutkan. Rupo
K Naraindas, misalnya, selepas dari tahanan di Nusakambangan
(Februari 1977) dua bulan kemudian boleh bebas. Ia diduga telah
membayar sejumlah uang kepada yang mengurusnya.
Sejumlah besar tekstil, yang disegel di sebuah gudang di Jalan
Gunungsahari (Jakarta) sebagai bukti penyelundupannya, hanya
dalam tempo empat hari bisa lolos. Dan Naraindas, warganegara
India itu, kini entah bermukim dimana.
Tersangka lain, Wen Chang, juga tak diketahui alamatnya lagi.
Mungkin di Singapura. Dituduh menyelundupkan barang elektronik,
Wen Chang ditahan di Surabaya, setelah selama lebih setahun
disekap di Nusakambangan. Bagaimana ia bisa lepas dari tahanan
pulau tersebut? Dokumen itu menyebut: ia telah menghadiahi
pejabat yang mengurusnya dengan sebuah Mercy biru.
Ada tersangka lain, Khee Tjiong, yang pernah ditahan selama dua
tahun di Nusakambangan. Sebenarnya ia sudah menjadi urusan
hakim. Dengan alasan sakit, ia diperbolehkan tinggal di Rumah
Sakit Sumberwaras (Jakarta), sebelum akhirnya pengadilan
terbujuk memberinya izin pergi ke Medan. Sekarang? Ia terbang ke
luar negeri. Yang tertinggal di Medan hanya sejumlah besar (9
gudang) barang bukti yang tak jelas nasibnya.
Masih puluhan nama tersangka lain, baik melalui pengadilan
maupun tidak, yang dikatakan memperoleh kebebasan dengan cara
sejenis. Ada seseorang, begitu kata dokumen itu, yang memhayar
pungli sampai Rp 2 milyar. Yang lain membayar Rp 1 milyar (1
orang), Rp 30 juta (1 orang) dan Rp 5 juta (1 orang). Beberapa
lagi tak diketahui berapa tinggi harga kebebasannya.
Ada lagi disebut orang yang "dibayar" dengan barang bukti.
Bergudang-gudang barang bukti -- setelah kaburnya tersangka
seperti Khee Tjiong atau Naraindas -- dikatakan ikut menguap.
Hal itu terjadi juga pada 50 kg emas dari seorang tersangka yang
tak termasuk 33 orang tersebut di atas. Ceritanya, menurut
versi ini: seorang dari Bandung beberapa waktu lalu ditahan,
karena dituduh menyelundupkan emas. Ternyata, setelah setahun
ditahan, ia dilepaskan. Entah kenapa. Hanya saja, kata dokumen
itu pula, 50 kg emas yang sedianya jadi barang bukti tak
ketahuan perannya.
Sampai sejauh mana dokumen tersebut berbicara dari suara Opstib,
yang berwenang sampai awal pekan ini belum menegaskannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini