SUATU kejutan tentang nasib kapal Tampomas II datang dari
Wakil Presiden Adam Malik. Sekembali dari KTT Islam di Taif,
Arab Saudi awal pekan lalu, Wapres berkata, "Asuransi tak akan
membayar Tampomas II". Antara lain karena "kapal tersebut memuat
mobil berisi bensin," katanya.
Tampomas II, selain mengangkut orang, menurut keterangan resmi
memang mengangkut 197 mobil, 390 sepeda motor dan skuter, serta
sebuah mesin giling. Sejak ia dibeli oleh PT Pelni sampai
tenggelam di dasar laut, Tampomas II diasuransikan pada PT
Asuransi Jasa Indonesia (AJI), milik pemerintah.
Menurut Amir Imam Poero, Kepala Pembinaan Operasional PT AJI,
Tampomas II dipertanggungkan seharga US$ 8,3 juta -- semahal
harga pembelian, termasuk biaya konersinya. Kepada TEMPO, Amir
juga menerangkan bahwa pertanggungan kapal itu "dengan syarat
total loss (kerugian penuh) atau all risks (semua risiko)."
Seperti lazimnya, risiko oleh AJI itu diasuransikan kembali
(reasuransi) ke berbagai perusahaan asuransi di Eropa dan Asia,
di bawah pimpinan perusahaan asuransi terkenal Lloyd's of
London. Namun begitu, seperti diakui oleh Amir Imam Poero, belum
berarti ganti rugi penuh itu langsung dibayarkan. "Masih
diperlukan penelitian secara teknis oleh suatu pensurvei yang
independen," katanya.
Tak begitu jelas soal-soal apa saja yang kelak akan diteliti
oleh pensurvei itu -- yang sampai sekarang belum lagi ditunjuk
oleh pihak AJI. Tapi ada berbagai kemungkinan yang nampaknya
perlu dipertanyakan. Salah satu menyangkut kecepatan kapal itu
sendiri.
Menurut daftar jawaban yang dipersiapkan oleh tim PT Pelni untuk
pegangan Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin dalam dengar
pendapat dengan DPR, disebutkan kecepatan kapal yang dulu
bernama MV Great Emerald itu adalah 20 knot. Angka ini sedikit
di bawah buku pegangan (manual), yang menyebutkan kecepatan
maksimum kapal mencapai 22,67 knot. Tapi memang kecepatan
Tampomas II menurun. Ketika berlayar dari Taiwan menuju Tanjung
Priok 19 Mei 1980, sebuah sumber Pelni yang mengetahui,
mengatakan, "kecepatan maksimum kapal ternyata 19,8 knot". Pada
pelayaran perdana awal Juni tahun lalu, kecepatannya menurun
menjadi 18 knot. Bahkan menurut catatan sumber ini, beberapa
bulan sebelum kapal itu tenggelam, kecepatannya demikian menurun
hingga mencapai 15 knot.
Betulkah? Kalau pun tak persis, mesin bikinan Jepang itu
nampaknya memang cepat lemah. "Yah, kapal itu terus-terusan
digenjot, hanya istirahat selama 4 jam setiap kali singgah di
pelabuhan," kata seorang pejabat perhubungan. Usia kapal itu
sendiri belum tua benar, baru sembilan tahun. Sekretaris Ditjen
Perla J.E. Habibie, yang banyak terlibat dalam proses pembelian
Great Emerald, mengakui "pengoperasian kapal tersebut agak
dipaksakan."
Pejabat Perla itu juga merasa kaget ketika mendengar berita
Tampomas II bisa tenggelam. "Sungguh mati saya lemas ketika
mendengar itu dari Semarang," katanya kepada TEMPO.
Yang kaget memang bukan Habibie saja. Takayuki Deguchi, Asisten
Manajer dari perusahaaan Arimura Sangyo Co. Ltd. di Tokyo --
yang tadinya pernah memiliki kapal itu -- mengatakan kepada
pembantu TEMPO di Tokyo, I Ketut Surajaya: "Kami kaget juga
mendengar kapal itu terbakar, karena menurut perkiraan kami,
kapal itu masih bisa digunakan paling sedikit 15 tahun."
Penggenjotan yang melemahkan itu memang ada sebabnya. Dari Teluk
Bayur ada datang laporan, betapa larisnya Tampomas II. "Kami
kewalahan menampung arus penumpang yang ingm berlayar dengan
Tampomas II," kata Risman, Kepala Cabang Pelni Teluk Bayur
kepada koresponden TEMPO Muchlis Sulin.
Kelarisan bisa menyebabkan juga kecerobohan. Ini terlihat juga
pada KM Tampomas I, kapal laris yang lain. Seperti dilaporkan
pembantu TEMPO Nian Poloan dari Medan, yang mengutip Suwandi,
Kepala Pelni cabang Medan, Tampomas I berkapasitas 1.799
penumpang termasuk awak kapal yang 110 orang. Tapi Syahbandar
dibolehkan memberi dispensasi mengangkut 1.854 orang -- sesuai
jumlah pelampung yang tersedia. Tak terlalu berlebihan -- kalau
saja Tampomas I tak membawa 2.000 penumpang. Bahkan di sekitar
Lebaran mengangkut sampai 3.000 orang.
Praktek semacam itu memang berbahaya. Untung Tampoms I kini
lebih berhati-hati, setelah "adiknya" tenggelam dengan korban
begitu banyak: bisa lebih 500 orang yang hilang dan mati jika
benar ada 300 penumpang gelap.
Tapi mengapa banyak penumpang yang ternyata mati, jauh sebelum
kapal itu tenggelam? Mereka, termasuk seorang ibu yang hangus
mendekap anaknya, ada yang mati karena kakinya lengket, lalu
terbakar, di atas geladak yang amat panas.
Geladak Tampomas II memang sudah diubah menjadi tempat
penumpang. Itu, antara lain merupakan perubahan (konversi) yang
dilakukan dengan biaya seluruhnya US$ 1,9 juta. Tapi menurut
sebuah sumber Pelni, kondisi pada geladak itu sebenarnya belum
memuaskan. "Geladak penumpang tidak dibungkus kayu yang dilapisi
bitumastic, " katanya. Bitumastic terbuat dari bahan kimia,
campuran semen dengan aspal, yang mempunyai kebolehan untuk
menahan panas api bila timbul kebakaran.
Kekurangan lain yang lebih pokok ialah alat pendeteksi asap
(smoke detector) di Tampomas II. Wishardi Hamzah, Masinis III
Tampomas II menerangkan kepada wartawan TEMPO Saur Hutabarat,
kapal yang malang itu "sayang tak ada pendeteksi asap," katanya.
Tapi sebuah sumber di Pelni, seperti dikutip koran sinar
Harapan, mengatakan bahwa mestinya kapal semodern Tampomas II
memiliki alat itu, yang letaknya di geladak pengendali.
Mengingat kapal itu dulunya melulu digunakan untuk mengangkut
barang, terutama mobil, sebuah sumber TEMPO juga berpendapat
alat pendeteksi asap itu pasti ada dalam Tampomas II. Jadi
rupanya pendeteksi asap itu tidak jalan, atau rusak.
Yang tidak jalan juga sejumlah alat pemadam api otomatis
(sprinkle) yang berisi zat kimia dan menempel di langit-langit
itu.
Mengapa? Mungkin karena kurang kenalnya sebagian awak kapal itu
dengan Tampomas II. Kabarnya sewaktu kapal tersebut sudah dibeli
Indonesia, hanya enam awak Indonesia yang dikirim ke Jepang.
Tak heran bila para awak Jepang kabarnya sampai berjumlah 15
orang, praktis diminta untuk menangani kapal tersebut, selama
perjalanan ke Indonesia.
Maklum, sebagian besar tulisan di dalam kapal itu, baik pada
peralatan kapal maupun dalam buku pegangan dan lain-lain, masih
dalam bahasa Jepang.
Tapi Pelni bukannya tak berbuat apa-apa. Harsoyo Tomo, Dir-Ut
Tomo & Son, yang mensurvei Kapal Tampomas II dulu sebelum
dibeli, pekan lalu kebetulan sedang berada di Shin Hama
Shipyard, Shikoku, Jepang. Di sana ia sedang mensurvei KM
Merdeka yang akan dibeli Indonesia. Ketika dihubungi wartawan
TEMPO di Jepang, Harsoyo Tomo berpendapat survei sudah cukup
dilakukan terhadap Tampomas II.
Menurut Tomo, PT PANN dan Pelni, sebagai pembeli, telah mengirim
ahli maupun tim survei ke Jepang. "Enam bulan sebelum dibeli,
telah dilakukan suatu survei," katanya. Ia mengaku selalu
bekerjasama dengan tim itu. "Bahkan sebelum dibeli oleh
Indonesia, kapal tersebut telah dites dalam perjalanan jauh:
Jepang - Hongkong - Filipina. Jadi sudah disurvei beberapa
kali."
Tak heran bila Amir Imam Poero dari PT AJI mengatakan: "Semua
kapal Pelni yang dipertanggungkan kepada AJI memenuhi
persyaratan". Meskipun dari semua kapal Pelni, hanya Tampomas II
yang masih jadi tanggungan AJI -- yang akan habis masa
pertanggungannya Mei 1981 sebentar lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini