Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUBANG-LUBANG lebar bekas galian tambang ilegal menjadi pemandangan baru di sekitar Bukit Menangis di Desa Santan Ulu, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Salah satu bukit terlihat gundul. Tumpukan batu bara setinggi tubuh manusia dewasa terlihat di lahan terbuka pinggir Jalan Raya Samarinda-Bontang Kilometer 25, tak jauh dari deretan lubang itu.
Petugas Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Santan, Jumain, mengatakan pertambangan ilegal di wilayah tersebut sangat masif selama dua tahun terakhir. Warga sekitar biasa menyebut tambang ilegal tersebut “tambang koridoran”. “Setiap bertanya kepada pekerja, ini tambang siapa, semuanya menjawab Pak Ismail Bolong,” kata Jumain, Kamis, 10 November lalu.
Nama Ismail Bolong masyhur di kalangan masyarakat sekitar sebagai polisi yang memodali tambang koridoran di Marangkayu. Sosok Ismail mulai dikenal luas saat video pengakuannya tentang aktivitas tambang batu bara beredar di media sosial pada awal November lalu.
Dalam rekaman itu, ia mengaku menjadi beking tambang ilegal di Kalimantan Timur. Ia juga mengklaim menyetor uang kepada pejabat polisi di tingkat kepolisian resor, Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, hingga Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Agus Andrianto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ismail Bolong/Istimewa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ismail mengajukan permohonan pengunduran diri dari Polri pada Februari lalu. Sebelumnya ia bertugas sebagai anggota intel Polresta Samarinda. Ia resmi berhenti menjadi personel Korps Bhayangkara pada Juli lalu dengan pangkat ajun inspektur satu.
Beberapa hari kemudian, video baru Ismail muncul. Dengan suara tergagap, ia meralat pernyataan sebelumnya tentang setoran kepada Agus Andrianto. Ia mengklaim video sebelumnya dibuat dalam keadaan mabuk dan ditekan oleh Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri kala itu, Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan.
Hendra sudah dipecat dari Polri pada akhir Oktober lalu. Ia dituduh membantu Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan kala itu, Ferdy Sambo, mengaburkan jejak pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Sejak awal 2022, Biro Pengamanan Internal menginvestigasi suap yang mengalir ke para anggota dan petinggi Polri. Pengacara Hendra, Henry Yosodiningrat, membantah jika kliennya disebut menekan Ismail dalam pemeriksaan. “Video IB diambil setelah yang bersangkutan selesai memberikan keterangan dalam berita acara interogasi yang ditandatanganinya dan dilakukan secara sadar tanpa paksaan,” ujar Henry.
Ismail Bolong diduga sudah dua tahun lebih menjadi beking penambang batu bara ilegal setidaknya di kawasan Kutai Kartanegara dan sekitar Samarinda. Petugas KPHP Santan, Jumain, pernah berhadapan langsung dengan Ismail pada Jumat siang, 18 Februari 2020.
Ketika itu, Jumain sedang berpatroli bersama empat anak buahnya dan didampingi seorang personel kepolisian dan prajurit Tentara Nasional Indonesia. Ketika memasuki kawasan Santan, mereka menemukan aktivitas hauling atau pengangkutan hasil tambang.
Ia menghitung ada sekitar 30 truk bermuatan batu bara yang keluar dari Santan menuju dermaga jetty, tempat kapal tongkang berlabuh. Ia menghentikan mereka dan menanyakan ihwal izin penambangan. Rombongan KPHP lantas bersitegang dengan mandor penambang. “Saya ingin tahu siapa orang di belakang aktivitas itu,” ucap Jumain.
Setelah 30 menit berlalu, seorang pria berkaus dan celana hitam mendatangi Jumain dkk. Dia adalah Ismail Bolong. Untuk berjaga-jaga, Jumain meminta anak buahnya merekam video.
Dalam video tersebut Ismail mencerocos dan sesekali membentak Jumain beserta timnya. Ismail mengklaim kegiatan penambangan itu dilakukan demi masyarakat dan hajat hidup orang banyak. Jumain lebih banyak diam. “Kalau mereka anarkistis, kami bisa mati konyol di situ,” tuturnya.
Melihat suasana makin tak kondusif, Jumain dan rombongan memutuskan angkat kaki. Dugaannya tepat. Saat menuju arah pulang, dia melihat tiga preman sedang mengarah ke lokasi tambang.
Meski mengantongi surat tugas untuk berpatroli menertibkan aktivitas ilegal di wilayah Santan, Jumain mengaku tak bisa melawan Ismail Bolong dan para pemodal tambang koridor, apalagi preman. “Mereka ada di beberapa titik, melibatkan warga sekitar. Perlawanan dengan warga ini yang berat,” katanya.
Dalam video testimoni tersebut, Ismail turut menyebut kawasan Santan Ulu, Marangkayu. Ia juga menuangkan keterangan tersebut saat diperiksa Biro Pengamanan Internal. Dari dokumen yang diperoleh Tempo, Ismail mengaku mengkoordinasi delapan titik tambang batu bara ilegal di wilayah itu.
Gunungan batu bara tambang ilegal di kawasan Bukit Menangis, Desa Santan Ulu, Kecamatan Marang Kayu, Kutai Kartanegara, yang merupakan kawasan operasi Aiptu Ismail Bolong, 13 November 2022/TEMPO/Linda Trianita
Ia merekrut warga sekitar untuk mengelola tambang. Dua warga Desa Santan Ulu yang enggan identitasnya diungkap mengatakan, semenjak video Ismail viral dua pekan belakangan, truk pengangkut batu bara ilegal tak lagi terlihat mondar-mandir di jalanan desa.
Biasanya, ucap mereka, ada sekitar 30 truk yang masuk desa dalam sehari. Truk-truk jumbo yang membawa batu bara itu merusak jalan utama desa. Warga desa menggelar demonstrasi pada Juni lalu. Mereka marah karena jalan desa rusak parah dan berlumpur saat hujan turun sehingga anak-anak tak bisa bersekolah. Pendapatan masyarakat juga terganggu karena tak bisa mengangkut sayuran dari ladang ke kota.
Dokumen pemeriksaan mengungkap Ismail Bolong menjual semua batu bara ilegal melalui Dermaga Makarama dan BMS di Kecamatan Muara Badak yang waktu tempuhnya 90-120 menit dari Desa Santan Ulu. Ismail mengklaim Dermaga Makarama adalah milik pensiunan prajurit TNI berpangkat jenderal bintang dua.
Tempo menelusuri rute tambang ilegal di Kecamatan Marangkayu hingga pelabuhan khusus Muara Badak pada Ahad, 13 November lalu. Pelabuhan terlihat sepi. Tumpukan batu bara terlihat di beberapa titik sekitar bibir muara. Tak ada kapal tongkang yang terlihat bersandar.
Ketua Rukun Tetangga 8, Tanjung Limau, Muara Badak, Al-Quran atau biasa disapa Kure, mengatakan Ismail Bolong biasa mengangkut bara melalui dua dari tiga pelabuhan khusus di wilayahnya. “Kami tahunya dermaga yang paling ujung (BMS) milik Pak Ismail,” ujarnya.
Ia merasa dermaga tersebut lumayan sepi dalam dua pekan hingga sebulan terakhir. Kure juga mulai jarang melihat Ismail. Padahal Ismail memiliki rumah panggung, kebun sayur, dan penangkaran sarang walet, serta mengelola pantai di sana. “Satu tahun lalu ketemunya pas Idul Adha. Dia menyuruh saya membagi 20 sapi sampai ke Marangkayu,” ucapnya.
•••
ENAM truk berkelir merah, putih, dan kuning satu per satu keluar dari jalanan berlapis tanah di Jalan Poros Balikpapan-Samarinda Kilometer 48, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Setiap bak truk ditutupi terpal biru. Dari pantauan kamera drone, truk-truk itu mengangkut batu bara yang dikeruk dari kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto.
Di lokasi tambang ilegal di dalam hutan terlihat batu bara yang sudah menumpuk. Satu unit ekskavator terlihat terus menggali lubang. Warga sekitar yang meminta dipanggil sebagai Ella mengatakan tambang ilegal itu sempat berhenti beroperasi, tapi aktif lagi dua hari belakangan. “Kami tahunya itu milik Pak Haji, tidak tahu nama lengkapnya siapa,” kata warga Desa Bukit Merdeka tersebut pada Selasa, 15 November lalu.
Dokumen yang diperoleh Tempo menyebutkan para pemilik tambang ilegal di Kilometer 48 di antaranya Haji Abdul Hakim, Haji Sahli, dan Frits. Beking penambang di wilayah ini tak cuma polisi, tapi juga personel Tentara Nasional Indonesia.
Hal itu terungkap melalui penyidikan Kepolisian Daerah Kalimantan Timur dalam kasus tambang ilegal di Kilometer 48 dengan tersangka Aminudin pada November 2021. Polda Kalimantan Timur memasang police line di dermaga pelabuhan khusus di daerah Jongkang, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara.
Pemilik tambang diduga bernama Sutrisno. Polisi juga menutup akses tambang ilegal di seberang tambang milik Sutrisno. Namun tidak ada tindak lanjut atas penanganan kasus itu. Penyebabnya diklaim adalah intervensi seorang pejabat TNI berpangkat bintang dua yang bertugas di DKI Jakarta. Polisi juga menerima panggilan telepon dari perwira menengah TNI yang bertugas di Kutai Kartanegara.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto di Mabes Polri, Jakarta, 24 Februari 2021/TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Sang penelepon menyebut Sutrisno tergabung dalam kelompok Wira Sena. Kelompok ini menaungi orang-orang yang menambang batu bara di bawah komando jenderal bintang dua tersebut. Walhasil, polisi mencopot police line itu.
Saat dimintai konfirmasi, Sutrisno mengaku sudah satu setengah tahun tidak menambang lagi. “Saya sekarang berbisnis sawit,” ujarnya. Dia juga mengklaim tak mengenal jenderal bintang dua ataupun perwira menengah TNI tersebut. Dia pun mengklaim tidak tahu ihwal proyek Wira Sena. “Enggak, ora, kadang informasinya tidak pas, diluruskan mana yang benar,” ucapnya.
Selain di Kilometer 48 Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto, Polda Kalimantan Timur pernah menangkap sekitar 10 truk yang mengangkut batu bara ilegal di rute transportasi PT Kandilo Coal Indonesia di Kabupaten Paser. Tak lama berselang, pejabat Polda Kalimantan Timur mendapat panggilan telepon dari prajurit TNI berpangkat kolonel yang juga bertugas di Jakarta. Ia marah dan meminta 10 truk tersebut dilepaskan.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Hamim Tohari mengatakan akan menyelidiki keterlibatan prajurit TNI dalam praktik tambang ilegal. “Bila hasil penyelidikan menemukan bahwa informasi tersebut benar, tentu saja akan dilakukan tindakan-tindakan untuk menertibkan para oknum TNI AD tersebut,” tuturnya.
•••
ISMAIL Bolong dan kelompoknya juga mengelola tambang ilegal di Kecamatan Sebulu, Tenggarong Seberang, Loa Kulu, dan kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kutai Kartanegara. Mantan aktivis Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Jatam Kaltim), Pradarma Rupang, mengatakan timnya sudah membuat laporan ke polisi dan penegak hukum lain sejak 2018 terkait dengan penambangan ilegal itu. “Tak pernah ada tindak lanjut hingga sekarang,” ujar Rupang pada Selasa, 15 November lalu.
Di Kecamatan Tenggarong Seberang, misalnya, Rupang melaporkan aktivitas di sekitar 20 titik tambang ilegal ke Polda Kalimantan Timur, gubernur, serta Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. Ia turut melampirkan bukti-bukti penambangan ilegal itu yang berupa titik koordinat lokasi eksploitasi, foto truk pengangkutan, dan lainnya. Hasilnya tetap nihil.
Ia juga pernah melaporkan aktivitas tambang ilegal di Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Rupang beserta tim lagi-lagi tak mendapat respons. Berdasarkan data yang dikumpulkan Jatam Kaltim, setidaknya ada 151 titik tambang ilegal yang tersebar di Kutai Kartanegara, Samarinda, Kutai Timur, Paser, dan wilayah lain. “Yang paling banyak memang di Kutai Kartanegara,” katanya.
Dokumen pemeriksaan tambang ilegal Polri menyebutkan penambangan ilegal di Kecamatan Sebulu berada di Desa Sebulu Modern, Desa Beloro, dan Desa Sebulu Ulu. Tapi Kepolisian Sektor Sebulu tak pernah menindak para penambang karena diduga menerima setoran dari penambang ilegal, seperti Haji Abdul Hakim, Haji Sahli, Haji Sani, Frits, Haji Isyur, dan Widia.
Aktivitas di pelabuhan penampungan batu bara di Marangkayu, 13 November 2022/Dokumentasi Tempo
Polsek Sebulu juga diduga menerima uang koordinasi yang dikumpulkan petinggi Tentara Nasional Indonesia setempat sebanyak tujuh kali dalam kurun 21 Maret 2021-4 Januari 2022. Totalnya mencapai Rp 28 juta. Uang itu disebut digunakan untuk pembangunan asrama Polsek Sebulu dan pengungkapan kasus narkotik. Selain itu, mereka mendapat jatah Rp 11 juta untuk setiap kapal yang memuat 7.500 metrik ton dari pelabuhan.
Dulu para penambang ilegal memiliki beking masing-masing, baik di tingkat polres maupun Polda Kalimantan Timur. Pola ini berubah sejak Inspektur Jenderal Herry Rudolf Nahak menjadi Kepala Polda Kalimantan Timur pada Agustus 2020.
Ia “menertibkan” modus tersebut dan memerintahkan pengamanan tambang ilegal di bawah Direktorat Kriminal Khusus dan Direktorat Polisi Air. Rupanya pola ini turut mengubah aliran “setoran”.
Para penambang ilegal mengumpulkan uang lalu diserahkan melalui pejabat Direktorat Kriminal Khusus dan Direktorat Polisi Air. Inspektur Jenderal Herry tak merespons permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 19 November lalu.
Dana koordinasi dari penambang batu bara ilegal atau kerap disebut “uang tutup mata” itu nilainya bervariasi, yaitu Rp 30-80 ribu per metrik ton dari batu bara yang dihasilkan beberapa pemain tambang koridor. Disebut koridor karena penambang ini tidak punya izin dan berkoordinasi secara door to door.
Uang yang telah terkumpul itu disertai nama-nama penambang serta titik koordinat lokasi tambang. Direktur Kriminal Khusus Polda Kalimantan Timur Komisaris Besar Indra Lutrianto Amstono ditengarai mengumpulkan uang tutup mata rata-rata sekitar Rp 10 miliar setiap bulan.
Fulus tersebut kemudian dititipkan kepada seseorang yang menjabat Kepala Urusan Keuangan di Direktorat Kriminal Khusus. Belakangan, diketahui mereka memiliki kode rahasia.
Catatan setoran suap ditulis di selembar kertas dengan kode 1 yang berjumlah Rp 1 miliar, kadang Rp 1,5-2 miliar. Lalu kode 2 senilai Rp 300 juta, kode 3 Rp 200 juta, kode 4 dan 5 masing-masing Rp 150 juta, kode 6 Rp 200 juta, kode 7 Rp 500 juta, dan kode 8 Rp 300 juta.
Penulisan kode itu ditujukan kepada pejabat tertinggi dan para pejabat utama di Polda Kalimantan Timur. Saat dimintai konfirmasi tentang uang setoran ini, Komisaris Besar Indra enggan menjawab. “Silakan ke Kepala Bidang Humas,” ucapnya.
Setidaknya ada 19 pengusaha tambang yang menyetor “uang tutup mata” ke Polda Kalimantan Timur. Salah satunya Tan Paulin, pengusaha batu bara asal Surabaya. Ismail Bolong menyebut nama Tan Paulin dalam video testimoninya.
Kepada tim investigasi dari Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Ismail Bolong menyebutkan menjual batu bara ilegal melalui Tan Paulin. “Mengenal Tan Paulin sejak 2020,” ujar Ismail seperti yang tertuang dalam dokumen pemeriksaan.
Tan Paulin adalah Direktur PT Sentosa Laju Energy, perusahaan yang berkantor di Surabaya. Tan Paulin juga disebut sebagai “Ratu Koridoran” karena terkenal sebagai pembeli batu bara ilegal atau di luar wilayah konsesi tambang. Paulin juga diduga membeli batu bara ilegal dari penambang lain seperti Haji Abdul Hakim.
Tan Paulin mencuat pada Januari 2022 setelah namanya disebut anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Muhammad Nasir. Saat itu Tan Paulin sedang berselisih dengan pemodal batu bara lain. Tan Paulin disebut ingin menguasai penjualan batu bara di wilayah Kalimantan Timur. Ia juga disebut sebagai “Ratu Batu Bara”.
Tan Paulin dikabarkan rajin beranjangsana ke para pejabat Polda Kalimantan Timur hingga Badan Reserse Kriminal Polri. Ia bersama suaminya memperkenalkan diri selaku pembeli yang memiliki izin usaha pertambangan dan izin penjualan batu bara atas nama PT Sentosa Laju Energy.
Sebelum dijabat Komisaris Besar Indra, Direktur Kriminal Khusus Polda Kalimantan Timur dijabat Komisaris Besar Bharata Indrayana. Tan Paulin dikatakan pernah tiga kali menemui Bharata. Ia juga sering berkunjung ke markas Badan Reserse Kriminal Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan.
Tan Paulin tak merespons permintaan wawancara Tempo yang dikirim ke akun WhatsApp miliknya. Dia memerintahkan pegawainya, Tirta Mayasari, menolak permintaan wawancara Tempo yang datang ke kantor PT Sentosa Laju Energy di Surabaya. “Abaikan saja,” demikian tulis Tan Paulin melalui pesan WhatsApp kepada Tirta.
Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan sudah mendengar kabar tentang aktivitas tambang ilegal di Kalimantan Timur dari Divisi Profesi dan Pengamanan pada awal 2022. “Saya perintahkan untuk diperiksa. Saya minta didalami dan ambil langkah. Kami sudah copot Kepala Polda dan para pejabat terkait saat itu,” ujar Sigit.
Truk pengangkut batu bara di Kilometer 48, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kartanegara, 14 November 2022/Dokumentasi Tempo
Dalam video awal, Ismail mengaku tiga kali menyetorkan uang dalam bentuk dolar Singapura dan Amerika Serikat kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto. Ia juga kerap menemui Agus. Setiap kali menghadap Agus Andrianto, Ismail Bolong mengklaim ditemani Kepala Subdirektorat V Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Polri. Komisaris Jenderal Agus tak merespons permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 19 November lalu.
Ihwal pengakuan Ismail tersebut, Sigit mengatakan informasi itu awalnya tak dilaporkan kepadanya. “Yang dilaporkan kepada saya hanya ringkasan pemeriksaan dan rekomendasi. Bukan laporan pemeriksaan yang rinci. Itu biasanya dari bawahan ke atasan,” ucap mantan ajudan Presiden Joko Widodo tersebut.
Agar isu ini tak menjadi polemik dan simpang-siur, Sigit memerintahkan anak buahnya segera menangkap lalu menginterogasi Ismail Bolong. “Dia pernah memberi testimoni, benar atau tidak, kami tidak tahu. Muncul video lagi yang menyampaikan dia memberikan testimoni karena dalam kondisi tekanan. Supaya lebih jelas, makanya lebih baik tangkap saja,” Sigit menegaskan.
Kepada Tempo, Ismail Bolong mengklarifikasi bahwa videonya soal suap tambang ilegal tersebut merupakan serangan dari mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, kepada Agus Andrianto. “Ini persaingan,” kata Ismail saat dihubungi pada Sabtu, 5 November lalu.
SAPRI MAULANA (SAMARINDA), MUHADZIB ZAKY (SURABAYA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo