Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMA menjadi desas-desus, perkara suap yang mencuatkan nama Ajun Inspektur Satu Ismail Bolong merupakan bukti nyata praktik setoran di Kepolisian Republik Indonesia. Rasuah berjemaah ini dilakukan untuk melindungi tambang ilegal batu bara di Kalimantan Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tersebutlah Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, saat menjadi Kepala Divisi Profesi dan Keamanan Polri, yang mengirim surat berkategori rahasia kepada Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dalam layang tertanggal 7 April 2022 itu, Sambo—kini berstatus tersangka pembunuhan dan telah diberhentikan dari Polri—membongkar praktik penambangan tanpa izin yang dilindungi polisi Kalimantan Timur. Dalam surat itu, Sambo menyatakan suap juga mengalir kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Adrianto. Penyetor suap kepada Agus adalah Ismail Bolong, perwira rendahan di kepolisian Kalimantan Timur yang kini telah mengundurkan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jauh dari perhatian publik, perkara ini terungkap lewat video pengakuan Ismail Bolong yang beredar di media sosial. Dalam rekaman itu Ismail mengaku mengantar sendiri suap kepada Agus sebanyak Rp 6 miliar dalam tiga kali pengiriman pada September-November 2021. Kegemparan belum reda ketika beberapa pekan setelahnya muncul lagi video dari Ismail. Selain mencabut pernyataan sebelumnya, dia meminta maaf kepada Agus. Ismail mengaku membuat video pertama di bawah tekanan. Seolah-olah hendak mementahkan bantahan itu, belakangan beredar surat Ferdy Sambo yang memastikan kebenaran pengakuan pertama Ismail.
Perang “video dan dokumen” itu terjadi di tengah rumor rencana pemerintah mengganti Kapolri karena kinerja buruk polisi: dari kasus pembunuhan ajudan Ferdy Sambo hingga tragedi Kanjuruhan di Jawa Timur. Agus disebut-sebut sebagai salah satu kandidat yang bakal menggantikan Listyo Sigit Prabowo. Versi lain menyebutkan perkara ini merupakan buntut pengusutan kasus pembunuhan yang membuat Ferdy Sambo dipecat dan kini menjadi pesakitan di pengadilan. Sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal, Agus adalah pejabat yang memimpin pengusutan itu.
Daripada berhenti sebagai desas-desus, kepolisian hendaknya mengusut kasus Ismail Bolong. Mereka yang melindungi penambang ilegal dan menerima suap harus ditindak. Tradisi “setoran ke atas”—polisi di level bawah memberikan upeti kepada pejabat di atasnya secara berjenjang—harus dihentikan. Perkara penjualan barang bukti narkotik yang melibatkan mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Inspektur Jenderal Teddy Minahasa, merupakan contoh nyata praktik itu. Selain memperkaya atasan, uang setoran kerap digunakan untuk mendukung kegiatan kepolisian yang tidak dibiayai anggaran resmi.
Presiden Joko Widodo, sayangnya, berkali-kali melewatkan momentum untuk memperbaiki kepolisian. Ketika kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa mencuat, ia memang memanggil semua kapolda dan pejabat utama Polri ke Istana. Tapi, alih-alih meminta polisi tidak korup, dalam pidatonya ia hanya meminta polisi tidak bergaya hidup mewah dan pamer kekayaan di media sosial. Dalam beberapa kesempatan pemilihan pejabat polisi, ia menekankan pentingnya pejabat menjaga kekompakan polisi ketimbang melakukan pembersihan di lembaga itu.
Tak menukik ke substansi masalah, sikap Presiden itu sesungguhnya tak banyak gunanya. Ia meminta kepolisian tak gaduh tapi melupakan pentingnya polisi menjadi penegak hukum yang bersih, profesional, dan mengayomi masyarakat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo