Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Perlawanan dari Balik Bukit Biru

Sumber air desa di Kalimantan Timur rusak karena aktivitas tambang ilegal. Warga penolak penambangan batu bara diintimidasi preman.

20 November 2022 | 00.00 WIB

Legimin, Ketua RT 9 Desa Sumbersari, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, di kebun selada/TEMPO/Linda Trianita
Perbesar
Legimin, Ketua RT 9 Desa Sumbersari, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, di kebun selada/TEMPO/Linda Trianita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENERGI warga Desa Sumber Sari, Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tersedot untuk melawan aktivitas tambang ilegal dalam setahun terakhir. Para penambang batu bara ilegal dituding merusak kualitas air dan tanah yang dulunya subur tersebut. "Air untuk menyiram sayuran sekarang keruh, harus diendapkan dulu supaya sayuran tak rusak," ujar salah seorang warga desa, Legimin, pada Sabtu, 12 November lalu.

Warga sekitar mengandalkan air dari Sungai Taman Arum dan Sungai Plei untuk mengairi sawah dan ladang. Semua air berasal dari Bukit Biru, kawasan perbukitan yang rimbun dan dikelilingi Desa Sumber Sari, Loa Sumber, dan Ponoragan. Mereka menanam padi, cabai, tomat, dan tanaman lain. Ada pula kolam ikan.

Dari hasil bumi tersebut, warga desa hidup makmur. Rata-rata mereka punya mobil dari hasil berladang. Saat awal masa pandemi Covid-19, Desa Sumber Sari mampu memasok beras bantuan untuk wilayah lain di Kutai Kartanegara.

Mereka bahkan dinobatkan sebagai kampung tangguh oleh Kepolisian RI hingga diikutkan berkompetisi di tingkat nasional. Sumber Sari juga disematkan sebagai desa wisata, desa pro-iklim oleh Dinas Lingkungan Hidup, dan desa andalan oleh Tentara Nasional Indonesia.

Semua kemakmuran dan prestasi tersebut terancam sejak akhir tahun lalu. Saat itu penambang mulai mengeksploitasi batu bara di Bukit Biru secara ilegal. Mereka menyebutnya dengan "tambang koridoran". "Kami harus mencurahkan tenaga melawan penambang ilegal sejak saat itu," tutur Legimin, yang juga menjabat Ketua Rukun Tangga 9 Desa Sumber Sari.

Syahdan, seorang pemilik toko bangunan di Kecamatan Loa Kulu meminta izin kepada Legimin untuk menggali batu padas di sekitar Bukit Biru pada akhir 2021. Batu keras itu diklaim akan digunakan untuk membuat fondasi rumah. Legimin mempersilakan asalkan jalan kampung yang rusak diperbaiki. Ekskavator akhirnya mulai naik ke Bukit Biru.

Alih-alih menggali batu padas, para pekerja malah menambang batu bara. Legimin terkejut saat mendatangi bukit. Dia menemukan tiga ekskavator sedang menggali batu hitam itu. "Pak, ini mau diambil batu padasnya atau batu bara?” dia bertanya kepada pegawai tambang. Pegawai tersebut menjawab: batu bara.

Legimin meminta kegiatan para pekerja dihentikan. Namun hal itu tak berlangsung lama. Ia beberapa kali didatangi preman berparang. "Mereka meminta agar diperbolehkan bekerja di atas. Saya menyampaikan warga kami menolak aktivitas tambang sejak dulu," ucap Legimin.

Sejak saat itu, konflik antara penambang dan warga desa sekitar Bukit Biru muncul. Sebelumnya mereka berhasil melawan. Pada 2011, warga desa mendesak Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menghentikan aktivitas PT BMS yang memiliki izin usaha pertambangan di sana. Selama tiga tahun berjuang, permintaan ini akhirnya dikabulkan.

Saat ini aktivitas para penambang makin masif. Pada Juli lalu, Kepala Desa Sumber Sari, Sutarno, menerima laporan banyaknya ekskavator di atas bukit yang berada 300 meter di atas permukaan laut itu. Sutarno memerintahkan salah seorang kepala dusun, Dedi, mengecek laporan itu. "Kalau saya yang turun sendiri, nanti dianggap ada kongkalikong dengan penambang," tutur Sutarno.

Dedi menemukan empat ekskavator. Ia menginterogasi para pekerja. Mereka menjawab bos tambang itu bernama Haji Hakim dan Haji Sahli. Saat itu Dedi meminta mereka berhenti menambang. "Setidaknya ada tiga kelompok penambang," kata Sutarno.

Tiga hari kemudian, Dedi mengajak Sutarno dan beberapa perangkat desa kembali ke sana. "Kami kaget, ternyata makin banyak alatnya, ada sembilan ekskavator," ujar Sutarno.

Merasa dirugikan, warga sekitar berencana berdemo di sekitar lokasi tambang ilegal pada Rabu, 3 Agustus lalu. Namun pada Selasa malam, 2 Agustus lalu, Dedi mendapat kabar akan ditangkap oleh personel Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Ia dituding sebagai provokator.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita sedang menempuh Magister Kebijakan Publik di Universitas Indonesia. Alumni Executive Leadership Program yang diselenggarakan oleh Asian American Journalists Association (AAJA) Chapter Asia pada 2022 fellowship dari Google News Initiative. Menyabet Juara 1 Kategori Investigasi ExcEl Award (Excellence in Election Reporting in Southeast Asia) 2021 dan 6 Finalis Kategori Media Besar Global Shining Light Awards 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus