Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENERGI warga Desa Sumber Sari, Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tersedot untuk melawan aktivitas tambang ilegal dalam setahun terakhir. Para penambang batu bara ilegal dituding merusak kualitas air dan tanah yang dulunya subur tersebut. "Air untuk menyiram sayuran sekarang keruh, harus diendapkan dulu supaya sayuran tak rusak," ujar salah seorang warga desa, Legimin, pada Sabtu, 12 November lalu.
Warga sekitar mengandalkan air dari Sungai Taman Arum dan Sungai Plei untuk mengairi sawah dan ladang. Semua air berasal dari Bukit Biru, kawasan perbukitan yang rimbun dan dikelilingi Desa Sumber Sari, Loa Sumber, dan Ponoragan. Mereka menanam padi, cabai, tomat, dan tanaman lain. Ada pula kolam ikan.
Dari hasil bumi tersebut, warga desa hidup makmur. Rata-rata mereka punya mobil dari hasil berladang. Saat awal masa pandemi Covid-19, Desa Sumber Sari mampu memasok beras bantuan untuk wilayah lain di Kutai Kartanegara.
Mereka bahkan dinobatkan sebagai kampung tangguh oleh Kepolisian RI hingga diikutkan berkompetisi di tingkat nasional. Sumber Sari juga disematkan sebagai desa wisata, desa pro-iklim oleh Dinas Lingkungan Hidup, dan desa andalan oleh Tentara Nasional Indonesia.
Semua kemakmuran dan prestasi tersebut terancam sejak akhir tahun lalu. Saat itu penambang mulai mengeksploitasi batu bara di Bukit Biru secara ilegal. Mereka menyebutnya dengan "tambang koridoran". "Kami harus mencurahkan tenaga melawan penambang ilegal sejak saat itu," tutur Legimin, yang juga menjabat Ketua Rukun Tangga 9 Desa Sumber Sari.
Syahdan, seorang pemilik toko bangunan di Kecamatan Loa Kulu meminta izin kepada Legimin untuk menggali batu padas di sekitar Bukit Biru pada akhir 2021. Batu keras itu diklaim akan digunakan untuk membuat fondasi rumah. Legimin mempersilakan asalkan jalan kampung yang rusak diperbaiki. Ekskavator akhirnya mulai naik ke Bukit Biru.
Alih-alih menggali batu padas, para pekerja malah menambang batu bara. Legimin terkejut saat mendatangi bukit. Dia menemukan tiga ekskavator sedang menggali batu hitam itu. "Pak, ini mau diambil batu padasnya atau batu bara?” dia bertanya kepada pegawai tambang. Pegawai tersebut menjawab: batu bara.
Legimin meminta kegiatan para pekerja dihentikan. Namun hal itu tak berlangsung lama. Ia beberapa kali didatangi preman berparang. "Mereka meminta agar diperbolehkan bekerja di atas. Saya menyampaikan warga kami menolak aktivitas tambang sejak dulu," ucap Legimin.
Sejak saat itu, konflik antara penambang dan warga desa sekitar Bukit Biru muncul. Sebelumnya mereka berhasil melawan. Pada 2011, warga desa mendesak Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menghentikan aktivitas PT BMS yang memiliki izin usaha pertambangan di sana. Selama tiga tahun berjuang, permintaan ini akhirnya dikabulkan.
Saat ini aktivitas para penambang makin masif. Pada Juli lalu, Kepala Desa Sumber Sari, Sutarno, menerima laporan banyaknya ekskavator di atas bukit yang berada 300 meter di atas permukaan laut itu. Sutarno memerintahkan salah seorang kepala dusun, Dedi, mengecek laporan itu. "Kalau saya yang turun sendiri, nanti dianggap ada kongkalikong dengan penambang," tutur Sutarno.
Dedi menemukan empat ekskavator. Ia menginterogasi para pekerja. Mereka menjawab bos tambang itu bernama Haji Hakim dan Haji Sahli. Saat itu Dedi meminta mereka berhenti menambang. "Setidaknya ada tiga kelompok penambang," kata Sutarno.
Tiga hari kemudian, Dedi mengajak Sutarno dan beberapa perangkat desa kembali ke sana. "Kami kaget, ternyata makin banyak alatnya, ada sembilan ekskavator," ujar Sutarno.
Merasa dirugikan, warga sekitar berencana berdemo di sekitar lokasi tambang ilegal pada Rabu, 3 Agustus lalu. Namun pada Selasa malam, 2 Agustus lalu, Dedi mendapat kabar akan ditangkap oleh personel Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Ia dituding sebagai provokator.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tambang batu bara di Loa Kulu, Kalimantan Timur, 23 Oktober 2022/dokumentasi Jatam Kaltim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang dinihari, Dedi menemui para polisi di salah satu hotel yang berjarak sekitar 15 menit dari Desa Sumber Sari. Empat polisi berpakaian preman membawa Dedi ke salah satu perumahan di Kota Samarinda. "Mereka bertanya kenapa saya menyuruh masyarakat berdemo. Saya ada kepentingan apa?" ucap Dedi.
Dedi beruntung karena berhasil lolos dari penangkapan itu. Sebelum diboyong, ia sempat menghubungi seorang polisi berpangkat perwira menengah. Kenalannya tersebut bertugas di Markas Besar Kepolisian RI tapi sedang bertugas di Samarinda. Sang perwira mendatangi lokasi Dedi dan sempat beradu mulut dengan para polisi lain yang ternyata berpangkat bintara. "Dari cekcok itu saya mendengar komandan keempat polisi itu bertugas di Polda Kalimantan Timur," ujar Dedi.
Sekitar 300 warga sekitar Bukit Biru akhirnya benar-benar berdemo pada hari itu. Info soal demo tersebut ditengarai bocor. Semua alat berat tak ditemukan di lokasi tambang ilegal. Warga desa membakar sejumlah barang. Mereka meminta polisi memasang garis polisi di lokasi tersebut. Permintaan ini urung dipenuhi. "Mereka bilang enggak bawa. Kami suruh ambil, polisi bilang police line habis," kata Legimin yang ikut berdemo pada hari itu.
Ternyata ada yang merekam pembakaran itu. Video itu digunakan untuk menakut-nakuti warga desa. Mereka diancam akan ditangkap karena merusak barang orang lain. Merasa aparat tak berpihak kepada warga, mereka patungan mengganti tenda dan tangki solar yang dibakar.
Polisi membujuk para warga desa agar menerima pertambangan tersebut. Mereka ditawari imbalan Rp 60 ribu tiap metrik ton. Warga desa tetap menolak.
Tak seperti warga Desa Sumber Sari yang kompak, warga Desa Loa Sumber terpecah menghadapi tambang ilegal. Pada Juli lalu, komandan Komando Rayon Militer Loa Kulu mendatangi warga desa agar membolehkan aktivitas tambang batu bara koridoran. Ia juga berjanji para penambang membangun jalan dan warga desa ikut menerima jatah penjualan batu bara.
Sebagian warga menerima dan sebagian lagi menolak, termasuk Syahril, warga Desa Loa Sumber. Ia mengatakan warga desa yang menerima tak kunjung mendapat uang seperti yang dijanjikan. "Kalau kami konsisten menolak. Karena apa? Yang kena imbasnya kami di sini. Kalau hujan, lumpur dari atas memenuhi jalanan, dan kerusakan lainnya,” tutur Syahril.
Tempo melihat sendiri penambangan batu bara ilegal itu masih berlangsung di Bukit Biru pada pada Sabtu, 12 November lalu. Ekskavator menerabas pepohonan untuk membuka jalan. Sembilan laki-laki dan seorang perempuan berjaga di jalur menuju tambang ilegal itu. "Mereka preman warga sini yang disewa untuk menciptakan konflik horizontal," kata Syahril.
Saat dimintai konfirmasi, Haji Abdul Hakim membantah jika disebut terlibat tambang ilegal di Loa Kulu. "Lain, bukan saya," ucapnya. Adapun Haji Sahli tak kunjung merespons saat dihubungi nomor telepon miliknya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalimantan Timur Komisaris Besar Yusuf Sutejo mengatakan pihaknya sudah banyak mengungkap kasus tambang ilegal. "Saat ini baru sampai operator karena yang ditemukan di lapangan. Masih dicari siapa yang menyuruh," ujar Yusuf.
Kepala Dinas Penerangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Brigadir Jenderal Hamim Tohari mengatakan lembaganya akan menyelidiki keterlibatan anggota militer dalam kegiatan tambang ilegal. "Bila hasil penyelidikan menemukan bahwa info itu benar, akan ditindak," tutur Hamim.
SAPRI MAULANA (SAMARINDA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo