Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Berharap pada Mahkamah Rayuan

Ratusan warga Aceh terlibat jaringan perdagangan ganja di Malaysia. Banyak yang hanya berbekal nekat.

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK dua bulan lalu, semangat hidup M. Daud Abu Bakar patah sudah. Kebun dan sawah tak disentuhnya. Warga jarang melihat dia keluar dari rumahnya di Desa Lhok Seuntang, Lhoksukon, Aceh Utara. Peran pria 59 tahun itu sebagai geuchik (kepala desa) pun tak jelas lagi.

Galau nian ia memikirkan nasib Nasruddin Daud, sulung dari lima anaknya. Nasruddin, 32 tahun, kini terkurung di Penjara Sungai Buloh, Sabah, Malaysia. Polisi Diraja Malaysia menangkapnya di depan Masjid Bandar Baru Selayang, Gombak, Kuala Lumpur, 18 Februari 2000. Dari mobilnya disita 14 kilogram ganja.

Nasruddin pernah mendalami agama di sebuah pesantren di Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Setelah empat tahun menimba ilmu, ia pulang ke desanya, pada 1996. Entah bagaimana, TNI mencurigainya terlibat Gerakan Aceh Merdeka. Menghindar dari tangkapan, dia minggat ke Malaysia pada medio 1996.

”Mula-mula kami mendapat kabar dia sudah bekerja sebagai buruh bangunan,” kata Daud. Empat tahun kemudian, dia beralih profesi menjadi pedagang cakram digital di Taman Datok Arun. Pada Januari 2000, Nasruddin pulang kampung. Dia menyunting seorang gadis di sana.

Pada pertengahan Februari, dia balik ke Malaysia. ”Lalu saya dengar kabar dia ditangkap,” kata Daud. Semula Daud tak begitu risau: rekan Nasruddin di Malaysia mengatakan sanggup mengurusnya. Nasruddin juga menghibur ayahnya. ”Katanya tidak apa-apa, sanggup diselesaikan sendiri,” Daud mengenang.

Namun, pada 2004, di mahkamah seksyen (mahkamah rendah), Nasruddin divonis hukuman mati. Dia minta banding. Setahun setelah vonis itu, Daud sempat membesuk putranya. Niat membelai kepala sang anak tak terkabul karena mereka hanya bisa berbicara lewat telepon, terhadang selembar kaca.

Itulah terakhir kali dia memandang wajah Nasruddin. Pada 6 Maret lalu, Daud menerima sebuah pesan pendek dari Malaysia. Di layar telepon selulernya tertulis, ”Hukum sudah kalahkan kita.” Daud paham, itu isyarat anaknya telah divonis hukum gantung di tingkat mahkamah persekutuan.

Memang harapan belum pupus karena masih ada dua tahap peradilan lagi, yakni tahap ”mahkamah rayuan” dan terakhir ”mahkamah tinggi”. Nasruddin juga tak sendirian di Penjara Sungai Buloh. Di sana ada ratusan pendatang Aceh yang ditahan karena ganja, selain yang menghuni Penjara Kajang.

Di Negeri Semenanjung itu, pendatang Aceh selalu saja dikaitkan dengan peredaran ganja. ”Di sini, ganja dan dadah identik dengan orang Aceh,” kata seorang sopir taksi di Kuala Lumpur. ”Kalau orang Aceh ditangkap, pasti kasus dadah.”

Seorang pedagang ganja di Malaysia mengatakan, ungkapan sopir taksi itu tak sepenuhnya benar. Sebab, menurut pria 27 tahun ini, jaringan perdagangan narkoba di Malaysia juga melibatkan warga negara lain dari berbagai etnis.

Menurut dia, geng ganja dari Aceh bermain di Malaysia sejak awal 1990-an. ”Orang Aceh banyak berada di jaringan distribusi ganja,” kata perantau dari Aceh Utara itu. ”Mereka jadi tukang antar ganja ke berbagai agen di Semenanjung Malaysia.”

Aceh memang salah satu sentra tanaman ganja di Indonesia. Tanaman ini tumbuh subur di kawasan pegunungan yang terletak di perbatasan segi tiga Gayo Lues, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Dari kawasan pegunungan ini ganja diangkut ke perbatasan Sumatera Utara, sepuluh hari berjalan kaki.

Namun agen ganja di Malaysia mengatakan ganja Aceh justru kurang laku. ”Terlalu cepat kering,” katanya. Karena itu, mereka mengambilnya dari Thailand dan Myanmar. ”Bila pasokan dari Burma dan Thailand putus, baru masuk ganja Aceh.”

Pria berkulit hitam itu menuturkan, mereka membeli ganja 200 ringgit (Rp 500 ribu) per kilogram, ditambah transportasi 100 ringgit per kilogram. Mereka lalu menjualnya ke agen besar di Malaysia seharga 900 ringgit per kilogram. Di pasaran, harganya menjadi 1.800 ringgit per kilogram.

Tergiur ringgit, ramailah pemuda Aceh beralih profesi menjadi pedagang ganja. ”Banyak yang hanya berbekal nekat, padahal tak paham jaringan kerja,” katanya. Karena itu, dia menganggap wajar banyak orang Aceh masuk penjara karena ganja.

l l l

KINI mereka menanti hukuman di dua penjara di Malaysia. Mereka diancam dengan Seksyen 39 B (2) Akta Dadah Berbahaya 1952. Jika terbukti bersalah, mereka akan digantung sampai mati.

Untuk mengetahui nasib warga Aceh ini, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf sampai membentuk tim advokasi, April lalu. Tim yang diketuai Afridal Darni itu bertolak ke Malaysia pada Mei lalu. Menurut catatan tim itu, terdapat 450 orang Aceh yang kini berada dalam dua penjara: 38 di antaranya sudah divonis hukuman gantung.

Yusuf Ismail Pase, advokat yang menjadi anggota tim itu, melukiskan Penjara Sungai Buloh sebagai tempat tahanan yang cukup besar dan punya banyak lorong. Pada 16 Mei lalu, ketika mereka masuk penjara ini, mereka melihat tahanan dari Aceh keluar dari lorong-lorong itu. ”Mereka terlihat bersih, segar bugar,” katanya.

Pada saat pertemuan, seorang tahanan malah menyambut sinis, ”Meunye ne jak keu no jak teumuleh, jak woe keudeh. Bak jak bie haba mangat (Jika datang kemari hanya untuk menulis, pulang saja. Jangan sampaikan kabar baik).”

Afridal menjelaskan, ”Kami mengumpulkan data, mengadvokasi, dan mendampingi warga Aceh yang terancam hukuman mati dan hukuman berat di Malaysia.” Direktur Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh itu menambahkan. ”Pat nyang jeuet ta bantu, akan ta bantu (Di mana kami bisa membantu, akan kami bantu).”

Hari berikutnya, tim itu berkunjung ke Penjara Kajang, Selangor. Di sini mereka melihat enam tahanan yang sudah divonis hukuman gantung. ”Saya terharu melihat mereka. Semuanya diborgol dan diawasi sipir penjara,” kata Saifuddin Gani, pengacara dari Aceh yang juga anggota tim advokasi.

Para tahanan itu berterus terang terlibat perdagangan ganja. Mereka sudah disidangkan di mahkamah seksyen dan divonis hukuman gantung. Kini mereka naik ke mahkamah persekutuan. Jika ini masih ditolak, masih ada mahkamah rayuan dan mahkamah tinggi.

Kepada warga Aceh yang terancam hukuman berat dan hukuman mati itu, Irwandi menyiapkan penasihat hukum. ”Kami juga melobi pemerintah Malaysia,” katanya. ”Namun kami tak bisa mencampuri urusan hukum di negara orang.”

Irwandi mengatakan advokat yang disediakan itu nanti akan berjuang untuk tingkat kasasi di mahkamah rayuan. ”Mudah-mudahan mereka mendapat keringanan hukuman,” katanya. ”Tapi masalah dadah di Malaysia memang cukup berat hukumannya.”

Nurlis E. Meuko, Adi Warsidi (Banda Aceh), Imran (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus