Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Abdul Rahman Saleh:Tergugat Akan Sulit Mengelak

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARU sebulan Abdul Rahman Saleh meninggalkan kantornya di Kejaksaan Agung, kini namanya kembali disebut-sebut karena langkah penerusnya, Hendarman Supandji, untuk segera mendaftarkan gugatan perdata atas mantan presiden Soeharto. Langkah ini dirintis Abdul Rahman setahun lalu.

Namun, banyak pihak menyesalkan keputusan Arman—demikian mantan Hakim Agung itu biasa dipanggil—menghentikan penuntutan perkara pidana Soeharto pada Mei 2006. ”Tuntutan pidana bisa memuluskan usaha gugatan perdata,” kata mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Antonius Sujata dua pekan lalu.

Sejak dicopot dari kabinet, Arman menghabiskan hari dengan menata ratusan buku miliknya di rumah baru di Kompleks Kejaksaan di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Jumat pekan lalu, Arman menjawab pertanyaan Wahyu Dhyatmika dari Tempo seputar perkara pidana Soeharto, termasuk simpang-siur keberadaan dokumen asli dalam berkas perkara penguasa Orde Baru itu.

Jaksa Agung Hendarman didesak untuk membatalkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara yang dulu Anda keluarkan. Komentar Anda?

Pada masa saya, kasus Pak Harto adalah kasus penting. Karena itu, kami serius menanganinya, termasuk mempersiapkan gugatan perdata. Kami melibatkan tim ahli, dan kami tahu persis kaitan antara kasus pidana dan perdata. Keduanya bisa berdiri sendiri. Tidak selalu gugatan perdata menang karena ada tuntutan pidananya.

Apa pertimbangan utama Anda ketika itu?

Pertimbangannya keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan Pak Harto sakit. Keputusan itu diambil berdasarkan rekomendasi tim dokter independen. Dia telah dinyatakan unfit to stand trial (tidak cukup sehat untuk diadili) seperti yang didiagnosis tim dokter. Kalau orang sakit begitu, pertimbangannya bukan apakah berkas perkaranya kuat atau tidak kuat, atau apakah dia salah atau tidak salah. Sudah saatnya ketidakpastian ini diakhiri. Jadi, surat ketetapan penghentian penuntutan perkara itu sudah final. Sejak itu, kami berkonsentrasi mempersiapkan gugatan perdata.

Penghentian penuntutan ditetapkan setahun lalu. Mengapa baru sekarang gugatan perdata siap didaftarkan ke pengadilan?

Tim ahli tentu sudah ada dan sudah bekerja sejak awal. Tapi, untuk memasukkan gugatan dan sebagainya, kami butuh surat kuasa dari presiden. Yang agak lama memang diskusi di tim ahli karena beberapa kali para anggota tim ini tidak sepakat di level teknis. Misalnya untuk menentukan apakah pelanggaran (Soeharto dan Yayasan Supersemar) adalah perbuatan melawan hukum atau wanprestasi. Misalnya saja, suatu hari tim sudah sepakat dan merampungkan konsep gugatan, lalu besoknya datang anggota tim lain yang menemukan hal baru dalam berkas. Konsep yang kemarin pun dirombak lagi.

Mengapa?

Kami memang tidak mematok waktu penyelesaiannya, misalnya harus selesai pada tanggal ini atau ini. Yang penting bagaimana menyelesaikan sebuah surat gugatan yang sesuai dengan hukum. Tapi, di akhir masa saya, surat gugatannya sudah selesai.

Anda yakin Kejaksaan Agung bisa memenangkan gugatan ini?

Kami merasa kans untuk menang besar. Alat bukti itu bisa diperkuat dengan dokumen pembantu seperti surat-surat dan saksi. Semua saksinya masih ada. Posisi yayasan (Supersemar) itu kan untuk menyalurkan dana bagi kegiatan sosial, bukan kegiatan yang mengarah pada bisnis. Tapi dana yayasan malah disalurkan untuk bisnis yang tidak ada hubungannya dengan rakyat kecil, dengan siswa tidak mampu. Ini yang kami sebut melenceng.

Kabarnya, Anda yang meminta Yayasan Supersemar digugat pertama kali?

Memang, waktu itu saya sempat bilang ini (gugatan atas Yayasan Supersemar) yang paling mudah dikerjakan lebih dulu.

Bagaimana dengan alat bukti yang semuanya merupakan dokumen fotokopi?

Dokumen fotokopi itu tidak penting karena ada bukti-bukti lain. Misalnya soal transfer dana dari bank ke yayasan dan kemudian ke bisnis. Saksinya juga ada. Saya kira tergugat akan sulit mengelak lantaran transfer-transfer ini bisa dilacak di Bank Indonesia. Apalagi jumlahnya sampai ratusan juta rupiah. Saya yakin, dengan bukti yang ada, tergugat akan sulit membantah. Bagaimana mereka mau menolak bukti sejelas ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus