Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yakinkah Anda, Indonesia mendapat keuntungan dari perjanjian kerja sama pertahanan dengan Singapura? (30 Mei-6 Juni 2007) | ||
Ya | ||
25,59% | 111 | |
Tidak | ||
67,97% | 295 | |
Tidak tahu | ||
6,45% | 28 | |
Total | 100% | 434 |
Tak dikira, banyak pihak menentang perjanjian kerja sama militer dengan Singapura yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ubud, Bali, 27 April lalu. Di Batam, misalnya, ribuan mahasiswa menandatangani kain putih 30 meter untuk menolak rencana latihan militer yang menurut mereka akan merusak ekosistem laut di perairan Provinsi Kepulauan Riau itu.
Sebenarnya, dalam konferensi pers seusai penandatanganan perjanjian itu, Presiden Yudhoyono sudah menegaskan bahwa kerja sama penting dalam rangka menjaga keamanan perairan Malaka. Belum lagi ”imbalan” perjanjian ekstradisi yang memungkinkan Indonesia membawa pulang para koruptor yang kini bersembunyi di negeri jiran itu.
Toh kritik dan penolakan tak berhenti. Puncaknya, Senin dua pekan lalu, 28 anggota Komisi Pertahanan DPR RI menolak meratifikasi perjanjian tersebut. ”Soalnya, Indonesia tidak mendapatkan apa-apa,” ujar Abdillah Toha, anggota Komisi, memberikan alasan.
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono membantah. Baginya, Indonesia untung karena selain adanya transfer pengetahuan tentang alat-alat persenjataan, sebagian besar biaya latihan disediakan Singapura. Dan kalau memang terjadi kerusakan ekologi laut akibat latihan, menurut Juwono, Singapura siap memperbaikinya. ”Jadi, jangan khawatir,” ujarnya.
Tapi penjelasan Juwono tak melunakkan Komisi. Mereka malah meminta pemerintah memperbaiki perjanjian kerja sama itu. ”Terutama masalah area latihan dan dampak lingkungan yang mungkin terjadi,” ujar Ketua Komisi, Theo L. Sambuaga.
Sebagian besar responden Tempo Interaktif sependapat dengan Komisi Pertahanan: perjanjian itu hanya menguntungkan Singapura. ”Singapura mendapat fasilitas latihan militer sebagai solusi atas minimnya lahan yang bahkan tak mampu menampung pesawat tempur mereka,” ujar India K., salah seorang responden.
Indikator Pekan Ini: Adang Daradjatun dan Dani Anwar akhirnya mendaftarkan diri sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Kamis pekan lalu. Mulanya mereka berkukuh tak akan maju sebelum Mahkamah Konstitusi memutuskan bisa-tidaknya calon independen tampil dalam pemilihan Gubernur DKI. Entah mengapa mereka menyerah. Dengan dua pasangan yang sudah mendaftar—satu lagi adalah Fauzi Bowo dan Prijanto—proses pemilihan akan jalan terus. Tidak ada alasan untuk menunggu MK mengumumkan hasil uji materi terhadap UU Pemerintah Daerah (yang antara lain mengatur bahwa setiap calon kepala daerah minimal harus didukung oleh 15 anggota DPRD) akhir bulan ini. Akhirnya, apa boleh buat, calon independen harus menyingkir sementara. Tapi keputusan MK tetap penting ditunggu karena nasib gagasan agar calon independen boleh ikut pemilihan bergantung pada keputusan mereka. Menurut Anda, perlukah calon independen dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo