Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bermula dari Tangisan Bocah

Kasus perdagangan ratusan bayi mencuat di Bekasi. Terungkap setelah pengelola sebuah yayasan menganiaya bocah perempuan.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panjang umurnya, panjang umurnya….” Suara seorang bocah perempuan menggema di ruang tamu Panti Sosial Binaan Departemen Sosial, Bambu Apus, Jakarta Timur. Ia bernyanyi riang ditingkah tepuk tangan dua bocah lainnya. Diambilnya pisau, dibelahnya kue tart yang berada di tengah meja ruang tamu, lalu dibagikan kepada kawan-kawannya.

Ismi Soraya, bocah itu, sedang berulang tahun? Mungkin. Soalnya, anak yang diperkirakan berusia 10 tahun ini tidak jelas tanggal lahirnya. Yang pasti, hari itu, Senin, 21 November lalu, ia tengah berbahagia karena mendapat kunjungan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi, dan Kepala Kantor Komnas Perlindungan Anak, Rachma Fitriati, yang akrab disapa Pipiet. Dengan riang, Ismi pun membagi kue kepada Kak Seto dan Piet.

Mereka lalu meminta Ismi menggambar. Dipilihnya pensil warna ungu. Di selembar kertas putih, lahirlah coretan tangannya berupa dua lingkaran. ”Coba gambar Ibu Sury,” pinta Pipiet. Dengan spontan Ismi menggeleng. ”Mama Sury jahat,” katanya sambil menghentikan kegiatannya.

Maklum, Mama Sury telah menorehkan riwayat nestapa dalam hidup Ismi. Mama Sury tak lain adalah Suryati Fatimah, 52 tahun, pengelola Yayasan Ibu Sury, yang mengurusi kesehatan wanita hamil dan bayi telantar. Dia ditangkap polisi di yayasan yang beralamat di Perumnas 1 Jalan Wijaya, Kelurahan Jakasampurna, Bekasi Barat, pada Rabu, 16 November.

Pada hari yang sama, polisi juga menjerat suaminya, Teddy Agus Setiawan, 56 tahun, berikut dua anaknya, Muhammad Arry Sanjaya, 23 tahun, dan Fitria Nani Pratiwi, 21 tahun. Semula mereka sekeluarga dituduh menganiaya Ismi.

Kasus ini terungkap berkat laporan tetangganya yang tak tahan mendengar bocah meraung-raung di rumah itu. ”Ada warga yang menelepon kami,” kata seorang polisi. Warga menelepon pada Selasa, 15 November, setelah mendengar tangisan bocah di gedung yayasan. Hari itu juga, sebuah tim dari Kepolisian Resor Bekasi meluncur ke lokasi. Namun, rumah kosong. Polisi membongkar pintu rumah dan menggeledah.

Di dalam kamar mandi lantai satu rumah berlantai dua itu, yang pintunya terkunci dari luar, polisi menemukan Ismi. Polisi terkesima melihat tubuh bocah itu penuh luka. Di kepalanya masih ada luka yang belum kering.

Di kulit paha kanan Ismi juga ada luka bakar berwarna merah muda. ”Disiram air panas oleh Mama Sury,” katanya. Beberapa giginya tanggal. ”Dipukul pakai ulekan,” katanya. Pada wajahnya ada guratan menyerupai keriput. Di pupil bola matanya memutih. Kepada polisi bocah ini mengaku sering dipukuli. Dia menuding orang tua angkatnya, Suryati, beserta keluarganya, yang menganiaya dia. Itulah sebabnya, polisi menunggu Suryati dan keluarganya pulang.

Sehari kemudian, yang ditunggu pun datang. Mereka lalu dibawa ke kantor polisi. Suryati mengaku menganiaya Ismi sejak tiga tahun lalu. ”Wanita ini mengaku memukul karena kesal. ”Dia suka berbohong,” kata Teddy yang mengaku menyekap Ismi sejak 9 November.

Hanya karena jengkel pula, anak-anaknya suka menyiram paha Ismi dengan air panas. Bocah ini juga sering dipukul dengan gagang sapu dan martil. Matanya kadang diolesi balsam sehingga terasa pedih.

Bukan hanya soal penganiayaan, warga akhirnya juga melaporkan perkara yang lebih gawat kepada polisi. Disebutkan, Yayasan Sury selama ini memperjualbelikan bayi dan anak.

Menurut seorang warga, Teddy membeli rumah di kompleks itu sejak 1980. Semula rumah yang dibeli hanya satu unit. Empat tahun kemudian, Teddy mendirikan Yayasan Sury. Nama Sury diambil dari penggalan nama istrinya, Suryati Fatimah, yang bekerja sebagai bidan. Dia bertindak sebagai pengelola utama, berperan merekrut bidan dan pengasuh anak, serta mengatur yayasan.

Yayasan itu berkembang pesat. Bangunan di tengah kompleks perumahan itu pun berubah menjadi mentereng. Dia membeli beberapa kaveling untuk disatukan dengan gedung yayasan, kemudian dibangunnya menjadi dua lantai.

Warga mulai jengkel setelah Teddy, tiga tahun lalu, membangun garasi di depan rumah. Masalahnya, lahan yang digunakan memakan sebagian badan jalan. Akibatnya, jalan itu tak bisa dilintasi mobil lagi. Kendati demikian warga tak ada yang berani melawannya. ”Dulu dia marinir, sekarang sudah pensiun, ” kata Yopi, 23 tahun, warga setempat.

Seorang warga yang lain bercerita, keluarga itu juga sangat tertutup. Setahun lalu, katanya, seorang pembantu ada yang dianiaya di yayasan itu. Kasus ini sempat mengundang warga berkumpul di depan yayasan dan melaporkannya ke polisi. Teddy memang sempat diperiksa, namun dia tak ditahan. Begitu pulang, dia langsung mencari orang yang melaporkannya seraya menebar ancaman akan menghajarnya.

Keangkuhan Teddy akhirnya mengundang warga untuk mencari tahu kegiatan yayasan yang dikelolanya. Warga curiga karena sering melihat remaja hamil ditampung di sana. Mereka datang berombongan, ada juga yang seorang diri. ”Mereka cakep-cakep banget,” kata Nyonya Midah, warga setempat.

Biasanya, wanita hamil masuk ke gedung yayasan di malam hari. ”Setelah itu, mereka tak pernah keluar hingga melahirkan. Ada yang berbulan-bulan,” kata seorang warga. Anehnya, setelah melahirkan, mereka pergi tanpa bayi. Di yayasan itu diperkirakan ada 40 suster yang merawat bayi. ”Tidak lama setelah dirawat, bayi-bayi tersebut dibawa pergi oleh orang yang berbeda,” ujar Nyonya Turyani, tetangga Sury.

Daud, pemuda yang pernah menjadi penjaga parkir di depan yayasan juga menceritakan hal yang sama. Dia kerap melihat tamu datang dengan tangan kosong, pulangnya menggendong bayi. ”Mereka pakai mobil mewah, ada juga orang kulit putih, ” katanya.

Semula, warga enggan melaporkan ke polisi karena takut. Setelah penganiayaan Ismi mencuat, barulah mereka buka mulut. Kepala Kepolisian Resor Bekasi, Komisaris Besar Edward Syah Pernong, mengatakan sudah lama mendengar cerita, namun selalu kesulitan mendapat bukti. ”Mungkin waktu itu bayinya disembunyikan di tempat lain,” katanya.

Edward mengatakan, sejak 1984 hingga sekarang Yayasan Sury telah menjual 300 anak. Sebagian besar diberikan ke warga negara asing, seperti asal Jerman, Brunei, dan lain-lain. Harganya bervariasi, ada orok yang dilepas dengan nilai ratusan ribu rupiah, ada pula yang laku puluhan juta.

Menurut Kepala Unit Kejahatan dan Kekerasan Polres Bekasi, Ajun Komisaris Warija, Suryati pernah menjual bocah kepada warga negara Jerman dan Brunei Darussalam pada 1998 dengan harga Rp 25 juta. Dikhawatirkan, anak-anak yang sudah dijual itu sebagian tak diasuh, tapi hanya diambil organ tubuhnya.

Suryati membantah tuduhan itu. Menurut dia, yayasan yang dipimpinnya untuk menampung wanita hamil yang mengalami kesulitan ekonomi. ”Selama di yayasan, mereka dirawat hingga melahirkan,” katanya.

Dia mengakui bayi yang dilahirkan tidak dibawa pulang oleh ibunya, melainkan diserahkan kepada orang lain. ”Kami menerima uang sebagai pengganti biaya perawatan, persalinan, kelahiran, sampai membesarkan,” ujar Suryati. Dia berdalih upaya ini dilakukan untuk menolong si anak agar diadopsi orang yang mampu.

Lalu kenapa Ismi sampai disiksa? Sury tak menjawab. Dia hanya bilang, ”Itu hanya kekhilafan saya. Saya bukan malaikat.” Alasan ini tentu sulit diterima karena penyiksaan itu dilakukan berkali-kali. Tak sekadar dijerat dengan pasal penyiksaan anak, keluarga Sury kini juga mendapat tuduhan yang lebih berat: memperdagangkan bocah.

Nurlis E. Meuko, dan Siswanto (Bekasi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus