Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah seminar tentang Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) telah digelar di Koninklijke Bibliothcek di Den Haag, Belanda, pada Selasa, 15 November 2005.
Seminar yang diselenggarakan oleh Instituut voor Nederlandse Geschiedenis atau Lembaga Kesejarahan Belanda itu menampilkan Prof P.J. Drooglever, yang mengulas buku karyanya yang berjudul Een Daad van Vrije Keuze, De Papoea’s van westelijk Niew-Guinea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht, atau terjemahan bebasnya: Tindakan pemilihan yang bebas, orang Papua dari Irian Barat, dan batas-batas hak penentuan nasib sendiri.
Kesan saya, dari summary tulisan Drooglever tersebut, tulisan itu merupakan hasil tinjauan (akademis) dan studi sejarah tentang peristiwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), atau Act of Free Choice, yang berlangsung dari Juli sampai Agustus 1969 berdasarkan New York Agreement antara Belanda dan Indonesia pada 15 Agustus 1962.
Tampaknya ada usaha dari pihak-pihak tertentu di Belanda untuk mengungkapkan (secara akademis) kejadian historis, dalam hal ini Pepera tahun 1969, menurut perspektif dan interpretasi Belanda.
Drooglever, dalam bab 13, misalnya, mengemukakan antara lain bahwa dalam penyelenggaraan Pepera itu telah terjadi serious mismanagement yang, menurut dia, diakui sendiri oleh Menteri Luar Negeri Adam Malik setelah berkunjung ke Irian Barat dan Fernando Ortiz Sanz, wakil Sekjen PBB, U Thant, untuk mengawasi Pepera, waku tiba di Iran Barat pada 1968 telah dibanjiri oleh petisi dari orang-orang Papua yang mengadu tentang mismanagement di segala bidang dari pihak Indonesia.
Selanjutnya, ketika Fernando Ortiz Sanz menyampaikan pengaduan itu kepada pihak Indonesia, yakni Sudjarwo Tjondronegoro, agar diambil langkah-langkah sebagai respons dari petisi itu, Sudjarwo malahan menganggapnya sebagai campur tangan. Karena itu pihak Indonesia menolak referendum, dan sebaliknya mendukung penyelenggaraan Pepera itu melalui sistem musyawarah yang merupakan tradisi Indonesia dengan menekankan pada putusan kolektif berdasarkan konsensus.
Menurut Drooglever, pendapat dari peninjau Barat dan Papua menyatakan bahwa Pepera ini adalah pura-pura (sham), di mana para pemilih, yang mengalami penekanan, memberikan suara bulat memilih Indonesia.
Singkatnya, Pepera tahun 1969, bila dilihat dari kaca mata Belanda, mengandung kelemahan dan kekurangan, namun telah diterima oleh masyarakat internasional. Kata-kata Drooglever adalah the end of the Act of Free Choice meant the start of an Indonesian administration that was fully accepted by the international community.
Sebaliknya, ia mengakui pertumbuhan penduduk Papua sebanyak 50 persen di bawah pemerintahan Indonesia dan pemerintah Indonesia terus mendukung serta menyelenggarakan pendidikan, termasuk pendidikan oleh gereja, terutama untuk kaum muda Papua, serta memberikan kesempatan perluasan horizon masyarakat Papua melalui hubungan dan kontak, media, dan hubungan pribadi, dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Pertanyaannya, bagaimana kita menyikapi tulisan Drooglever tersebut. Apakah makna tulisan Drooglever tentang Pepera tahun 1969 itu?
Sebelumnya, menurut saya, sekalipun Pepera tahun 1969 itu mengandung kelemahan dan kekurangan, seperti dikemukakan Drooglever, secara de facto dan de jure Pepera tersebut telah diterima oleh Sidang Umum PBB, dengan 84 suara mendukung, tidak ada yang menentang, dan 30 abstain, dengan Resolusi PBB No. 2504 tanggal 19 November 2005.
Hal tersebut pada waktu itu, diperkuat oleh pernyataan Perdana Menteri Belanda, Piet de Jong, pada 15 Oktober 1969 di muka parlemen Belanda: ”Het resultaat van de volksraadpleging is bekend en kan niet—ik wil dit nog eens onderstrepen—ongeldig worden verklaard”. Terjemahannya, hasil dari penentuan pendapat rakyat (volksraadpleging) itu telah diketahui dan tidak dapat—sekali lagi saya menggarisbawahi—dinyatakan tidak berlaku.
Kita ketahui juga pada tahun-tahun tersebut pengembalian Irian Barat, oleh Presiden Soekarno, telah dijadikan perjuangan nasional bangsa Indonesia.
Dengan demikian, sahnya Irian Barat—sekarang Papua—masuk ke Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dibarengi dengan perlakuan dan perlindungan, termasuk hak asasi manusia, warga Indonesia dari etnis Papua yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya.
Masalah dan persoalan masyarakat Papua hendaknya dianggap sebagai masalah dan problem dari sesama warga Indonesia, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terjadi pada Pepera tahun 1969 tidak terjadi lagi.
Makna kedua, menurut saya, adalah sikap patronizing yang bersifat memaksa dan tidak demokratis harus diakhiri. Masyarakat Papua telah mempunyai Otonomi Khusus Papua berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001, dengan Majelis Rakyat Papua (MRP), yang merupakan representasi kultural, yang dibentuk pada 31 Oktober 2005, walaupun pembentukannya terdapat kelemahan-kelemahan tertentu.
Sekarang tibalah saatnya, sejak Pepera tahun 1969, untuk melaksanakan dan mematuhi otonomi khusus itu, dengan MRP, sehingga tidak ada lagi suara di masyarakat Papua yang menuduh terjadi Pepera jilid 2.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo