MAKSUD hati hendak menggenjot penerimaan pajak, apa daya mental aparat belum siap. Paling tidak, ini terlihat dari kasus manipulasi restitusi pajak yang terbongkar di Surabaya, Tangerang, dan Jakarta. Pemotongan atas kelebihan pembayaran pajak itu kini baru ketahuan dilakukan oleh 12 pengusaha. Akibatnya, negara rugi Rp 38 miliar. Sumber di Kejaksaan Agung menduga kejahatan itu mulus berkat kerja sama dengan aparat pajak sendiri. Pekan-pekan ini, dua yang dituduh sebagai pelakunya, Helmy Nasaar Machfud dan Delip Kumar Gobrindam Vasandani, diadili di Pengadilan Negeri Surabaya. Menyusul: empat tersangka di Jakarta dan Tangerang. Mereka adalah Thaariq S.A. Aziz, Muljadi Djojomartono, Priyanto Dwisaksono, dan bekas Kepala Seksi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tangerang, Zulfikar Effendi Kari. Enam tersangka lainnya masih dikejar. Satu di antaranya Prem K. Nathani, warga negara Singapura. Ia kabur tiga tahun lalu setelah mengeruk Rp 2,5 miliar. Seorang lagi yang lari adalah Muhammad Asnawi Abubakar, karyawan Kantor Pajak Wilayah VI, Jakarta Pusat. Bermodal empat perusahaan ekspor fiktif, Agustus September tahun lalu Asnawi mengeruk Rp 1,1 miliar. Meski kejaksaan menduga aparat pajak banyak terlibat, Direktur Jenderal Pajak Fuad Bawazir tidak sependapat. ''Itu hanya keteledoran petugas pajak,'' kata Fuad kepada TEMPO. Soalnya, menurut Fuad, waktu yang ditetapkan untuk mengajukan restitusi cuma sebulan. Karena banyaknya pemohon restitusi, aparat pajak acap tergesa-gesa melakukan tugasnya. Jadi, menurut Fuad, ia belum perlu mengubah peraturan tersebut. Sebab, manipulasi itu bisa terjadi karena kebodohan anak buahnya saja. ''Kok, mau-maunya dikibuli pengusaha nakal,'' katanya. Sementara itu, sumber TEMPO di Kejaksaan Agung tadi bertekad membuktikan keterlibatan aparat pajak, di pengadilan. ''Kalau petugas pajak melakukan verifikasi ke lapangan, tentu mereka mengetahui bila faktur yang diajukan pengusaha itu palsu semua,'' katanya. Contohnya adalah Zulfikar Effendi Kari tadi. Konon, untuk tidak melakukan verifikasi di lapangan, ia dibayar Rp 280 juta oleh Priyanto Dwisaksono, yang mengaku konsultan pajak. Dialah yang menghubungkan Muljadi Djojomartono, Direktur PT Ciputat Perkasa (CP), dengan Zulfikar. Dalam operasinya, Priyanto alias Epi, 29 tahun, menggunakan faktur pajak palsu dari PT CP perusahaan pemasok bahan bangunan. Dalam penyidikan kejaksaan, terungkap, kepada KPP Tangerang, Muljadi menyerahkan faktur PPN tanpa melakukan penjualan kepada PT Geniomitra Makmur Bersama (GMB) di Tangerang. Akibatnya, mereka meraup Rp 2,4 miliar. Muljadi mendapat Rp 976 juta. Sisanya untuk Priyanto dan Zulfikar. Ketika diminta mengembalikan uang itu, Muljadi malah menjawab kepada penyidik, ''Daripada saya kembalikan, lebih baik ditahan. Paling-paling hukumannya lima tahun.'' Usut punya usut, menurut sumber itu, Muljadi hidup senang di tahanan. Namun, Muljadi membantah. ''Kejaksaan Agung tidak mengerti hukum,'' ujar lelaki berusia 33 tahun dan berpendidikan SMA itu saat ditemui TEMPO di Rumah Tahanan Salemba, Kamis pekan lalu. Menurut keterangan yang diperolehnya dari Zulfikar, verifikasi baru dilakukan setelah uang restitusi cair. Ia juga tidak puas dengan tuduhan bahwa perusahaannya fiktif. ''Semuanya riil. Dari akta notaris hingga nomor pokok wajib pajak, semuanya sah,'' katanya. Tentang kehidupannya di tahanan, itu juga dibantahnya. ''Itu fitnah,'' ujarnya. Mengenai faktur PPN-nya, Muljadi mengaku memperolehnya dari Kusuma Amri, Direktur GMB. ''Jual-beli faktur itu sudah menjadi rahasia umum. Saya tidak tahu kalau itu melanggar hukum,'' katanya. Muljadi lalu mengakui, akal-akalan itu mulus berkat sempitnya waktu pengajuan restitusi. ''Petugas pajak kan tidak mungkin memeriksa faktur permohonan satu per satu,'' katanya. Uang hasil manipulasi itu, menurut Muljadi, sudah habis untuk membeli faktur restitusi pajak lainnya dari Kusuma Amri, yang kini buron. Jika faktur itu berhasil dicairkan, tak kurang dari Rp 4 miliar akan masuk ke kantongnya. ''Sial, saya keburu tertangkap, dan uang saya pun dibawa lari,'' keluhnya. Dalam pada itu, Zulfikar Effendi Kari, yang dituduh melicinkan akal-akalan Muljadi dan Priyanto, menolak memberikan keterangan. ''No comment,'' kata lelaki berambut ikal itu seraya kembali ke ruang tahanannya. Jawaban Priyanto juga senada. ''Saya cuma penghubung. Uang yang saya terima tidak sampai Rp 50 juta,'' kata lelaki bertubuh tegap yang ditahan sejak 10 Maret lalu itu. Selain itu, kini Kejaksaan Agung harus bekerja lebih keras. Sebab, ada masalah baru yang harus dihadapi di Surabaya. Jaksa Wisnu Subroto, yang menyeret Helmy Nasaar Machfud, Direktur PT Inraco Arta Jaya, Surabaya, ke persidangan yang lalu, cuma mencantumkan angka Rp 3,9 miliar. Padahal, yang diungkapkan Kejaksaan Agung di depan Komisi III DPR beberapa waktu lalu, Helmy berhasil meraup Rp 7,7 miliar. Menurut Wisnu Subroto, angka itu diperolehnya dari instansi pajak. Tapi, menurut sumber di Kejaksaan Agung, angka Rp 7,7 miliar tadi diperoleh dari hasil penyidikan tim kejaksaan sendiri, bukan dari instansi pajak. ''Itu kan perkara korupsi, bukan kasus perpajakan,'' katanya. Andi Reza Rohadian, Taufik T. Alwie (Jakarta), dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini