Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bagio meninggal, hidup bagio!

Pelawak s. bagio meninggal dunia. meniti karier dari bawah. muncul sebagai pelawak yang khas dan matang. bagio dapat dianggap chaplin-nya indonesia.

14 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGIO meninggal. Hidup Bagio! Kenapa tidak. Kenapa harus raja saja yang berhak mendapat sorak-sorai vive le roi waktu dia mangkat. Kenapa hanya raja, sang penguasa agung, yang harus kita kenang jasanya buat masyarakat. Kenapa tidak juga Bagio. Karena dia rakyat biasa, karena dia ''hanya'' seorang pelawak? Bagio adalah seorang raja biarpun raja pelawak saja. Dia adalah seorang raja yang baik. Dia sampai ke jenjang tahtanya tidak melewati satu jalan pintas intrik keraton, seperti banyak bisa kita baca dalam Babad Tanah Jawi, melainkan lewat jalan pertapaan yang penuh dengan lara lapa, lewat gemblengan cobaan dan apprenticeship yang panjang. Sejak dia bersama Iskak dan Eddy Soed, mulai sebagai dagelan-dagelan drop-out Universitas Gadjah Mada, kemudian memilih karier sebagai pelawak, dia tempuh jalan yang panjang dan tidak menjanjikan kepastian itu dengan keuletan, dan tentunya dengan humor juga. Kalau tidak, bagaimana dia bisa bertahan demikian lama. Dan waktu jurus-jurus lawak telah dia kuasai, dia muncul sebagai pelawak dengan karakter yang khas dan matang. Gemblengan profesionalisme dan penderitaan seorang yang harus mulai dari lapisan tangga yang paling bawah akhirnya membentuknya sebagai sosok Bagio sang pelawak yang tidak ada duanya di negeri kita. Apakah itu sebagai Bagio si tukang bakso si tukang becak yang ikut menawarkan Ajinomoto atau sebagai pak guru dalam film adaptasi sutradara Sirait dari tokoh Topaz dan yang terakhir sebagai lurah bego, Bagio tetap Bagio. Ada potret yang khas pada diri pelawak yang pendek ini. Potret yang bukan menjadikannya sosok klise melainkan potret satu karakter yang selalu sanggup menerjemahkan peranan dengan pas. Mungkin peranan seperti itu hanya bisa didapat lewat ketekunan dan keuletan yang luar biasa. Yang tahan banting. Mungkin hanya pelawak seperti Bing Slamet, seniornya yang sangat dia kagumi, yang pernah mencapai prestasi seperti itu. Maka, waktu Bagio sampai pada tataran demikian, julukan sebagai raja pelawak, sesepuh pelawak, datang dengan mulusnya pada diri Bagio. Dan, agaknya, tidak seorang pun dari barisan pelawak di negeri kita, bahkan yang paling berbakat sekalipun, keberatan melontarkan julukan yang demikian. Apakah yang menjadi daya tarik seorang pelawak sesungguhnya? Apa yang membuat kita kepingin mendengarkan lawakan, meskipun kadang-kadang hanya sebentar? Mungkin karena di tengah rutin kehidupan, kita selalu membutuhkan pengalihan perhatian. Rutin kehidupan kadang-kadang membuat kita menjadi bagian dari satu jam besar yang begitu rumit sekrup-sekrupnya. Rutin kehidupan juga kadang-kadang membuat kita merasa menjadi bagian dari barisan panjang yang berbaris di satu tempat saja. Lawakan yang lucu, yang dibawakan dengan brilian oleh pelawak yang berbakat memberi tahu kita bahwa yang rutin itu tidak usah selalu membosankan. Ia memberi tahu juga bahwa di sela-sela yang rutin itu banyak pilihan dan alternatif. Meskipun pilihan dan alternatif itu bisa konyol dan absurd juga. Tetapi justru yang demikian, yang memberi tahu kekonyolan dan absurditas kita, memberi tahu kita juga bahwa manusia adalah makhluk yang lucu. Mungkin yang paling lucu dari semua binatang menyusui. Tidak banyak pelawak yang mampu memberi tahu kita tentang semua itu. Sayang. Charlie Chaplin adalah yang langka itu. Masih ingat film bisunya Modern Times? Dalam waktu yang begitu pendek dia membuat kita terbahak menyaksikan kekonyolan kita menyongsong zaman teknologi. Di negeri kita yang begitu banyak kekonyolan dan keabsurdan terjadi semestinya lahir pelawak-pelawak sekaliber Chaplin. Bagio, dan dulu Bing Slamet, mungkin juga Basio di Yogya, adalah Chaplin-Chaplin kita. Siapa yang akan meneruskan lawakan mereka? Yang akan mampu terus memberi tahu kita (dengan humor) akan kekonyolan dan absurditas kehidupan kita? Bagio meninggal. Hidup Bagio!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus