Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUFINUS Hotmaulana Hutauruk masih mengenali pria dalam tiga foto yang ditunjukkan Tempo melalui pesan WhatsApp. Mantan pengacara yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Hati Nurani Rakyat itu meyakini tiga foto tersebut menampilkan sosok yang sama: Budi Susanto. ”Saya kenal betul dia,” kata Rufinus, Jumat pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada September 2013, Rufinus mendampingi Budi Susanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Saat itu, Budi didakwa terlibat kasus korupsi simulator pembuatan surat izin mengemudi. Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi—perusahaan pemenang tender proyek simulator tahun 2011—tersebut dituding menyuap Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia saat itu, Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengadilan memvonis Budi hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. ”Saya sempat mendampingi di pengadilan banding, tapi kemudian mundur,” ujar Rufinus. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menambah hukuman Budi menjadi 14 tahun penjara dan denda Rp 88,4 miliar pada Oktober 2014. Sejak itu, ia berstatus narapidana dan menghuni Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, untuk menjalani hukuman 14 tahun penjara.
Dinding penjara ternyata tak membuat pria 51 tahun itu lepas dari perusahaannya. Tempo mendapatkan foto dan video Budi berada di area pabrik PT Mitra Alumindo Selaras di Jalan Kopel, Desa Gintung Kerta, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Akta Mitra Alumindo yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan Budi Susanto merupakan pemilik perusahaan dengan memegang saham mayoritas senilai Rp 9,339 miliar dari total saham Rp 12 miliar.
Video kehadiran Budi di kantornya terekam tak sampai 50 detik. Mengenakan topi hitam, ia tampak melenggang dengan dua pria dari area parkiran mobil menuju ke dalam bangunan pabrik kawat aluminium tersebut. Kemudian seorang laki-laki yang keluar dari sebuah lorong tergopoh-gopoh menyeka tangannya, lalu menjabat dan mencium tangan Budi. Penelusuran metadata atau keterangan atas informasi digital dari aplikasi Metadata View menunjukkan video tersebut diambil pada 29 Juni 2018.
Jejak Budi di luar penjara Sukamiskin juga terlihat dari tiga foto yang dibenarkan oleh Rufinus Hutauruk. Aplikasi Metadata View menyebutkan tiga foto itu diambil pada 13 Juli 2018 atau Jumat tiga pekan lalu. Pada salah satu foto, Budi terlihat menghadiri rapat yang dihadiri lebih dari lima orang. Salah satunya Cahyo Murdianto, Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Mitra Alumindo Selaras. Cahyo tak menjawab panggilan telepon dan tak membalas pertanyaan yang dilayangkan Tempo melalui pesan WhatsApp.
Seorang anggota staf Mitra Alumindo yang ditemui Tempo mengaku beberapa kali melihat Budi Susanto mengunjungi pabrik yang salah satunya memproduksi pelat nomor kendaraan tersebut. Karyawan yang tak mau disebut namanya itu mengatakan di pabrik tersebut tak ada yang berani membicarakan kehadiran Budi secara terbuka.
Tempo mencoba menemui Budi di penjara Sukamiskin pekan lalu. Tapi dia tak terlihat ada di antara deretan napi yang menerima tamu. Sampai akhir pekan lalu, Budi tak merespons surat permintaan wawancara yang disampaikan melalui petugas penjara.
Praktik pelesiran narapidana seperti yang dilakukan Budi Susanto kembali mencuat ke publik setelah tim Komisi Pemberantasan Korupsi menggulung Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Wahid Husein karena menerima suap dari terpidana korupsi di Badan Keamanan Laut, Fahmi Darmawansyah, pada Jumat dua pekan lalu. Suap diduga bukan hanya untuk jual-beli izin keluar, tapi juga agar narapidana bisa membangun sel mewah di penjara yang ditetapkan khusus buat koruptor sejak 2012 itu. Menurut KPK, tarif untuk mendapatkan semua fasilitas itu berkisar Rp 200-500 juta.
***
PELESIRAN para narapidana kasus korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin diduga sudah lama terjadi. Tim investigasi Tempo selama empat bulan sejak November 2016 membuktikan sejumlah narapidana koruptor dengan mudah ke luar penjara tanpa pengawalan ketat. Salah satunya Anggoro Widjojo, terpidana kasus korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan—kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Akhir Desember 2016, Anggoro terlihat berada di Apartemen Gateway, Bandung, sejak pukul 06.30. Turun dari ambulans milik penjara Sukamiskin, dia tak diikuti pengawal. Sekitar 13 jam berada di apartemen tersebut, Anggoro keluar berteman seorang perempuan muda. Menaiki mobil Mitsubishi Grandis yang dikemudikan perempuan tersebut, ia kembali ke penjara.
Tempo memergoki keberadaan Anggoro di Apartemen Gateway sebanyak empat kali. Melalui surat, Anggoro menjelaskan bahwa dia ke luar Sukamiskin karena sakit. ”Izin berobat diberikan berdasarkan pemeriksaan ketat oleh dokter dan sidang Tim Pemasyarakatan yang sah,” ujar Anggoro. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin saat itu, Dedi Handoko, membenarkan mengeluarkan izin berobat untuk Anggoro.
Bekas Wali Kota Palembang, Romi Herton, juga terlihat keluar dari penjara dengan naik mobil Mitsubishi Pajero. Tempo menyaksikan terpidana kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar itu berkunjung ke rumah istri mudanya, Lisa Meliani Zako, di kawasan Antapani dan menemui istrinya, Masyito, di Rumah Sakit Santosa, Bandung. Masyito juga menjadi terpidana kasus yang sama dengan suaminya.
Romi pun pernah bepergian ke Palembang bersama Masyito. Pasangan itu mengajukan izin membesuk putra mereka yang dirawat di Rumah Sakit R.K. Charitas, Palembang. Juru bicara Rumah Sakit Charitas, Eddy Cahyono, saat itu mengatakan putra Romi tak dirawat di sana. Belakangan, terungkap bahwa Romi-Masyito pulang ke rumah mereka di Talang Semut, Palembang, selama tiga hari. Romi, Lisa, dan Masyito tak menjawab permintaan wawancara.
Setelah investigasi Tempo terbit, Anggoro dan Romi dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, yang berkeamanan superketat. Romi meninggal di penjara tersebut pada September 2017 karena sakit.
Dalam wawancara khusus dengan Tempo sebelum investigasi tersebut dipublikasikan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan akan mengganti Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. ”Kami harus mencari lagi kepala LP yang punya kemampuan dan integritas,” katanya. Niat itu baru terwujud pada pertengahan Maret lalu. Dedi Handoko digantikan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Madiun, Jawa Timur, Wahid Husein.
Baru empat bulan menjabat, Wahid tertangkap tim KPK. Komisi antikorupsi meyakini dia menerima suap berupa mobil dan duit agar memberikan fasilitas lebih kepada narapidana. Suap itu juga diduga terkait dengan pemberian izin keluar-masuk penjara. ”Saya kecewa. Kejadian ini mempermalukan kami,” ucap Yasonna, Jumat pekan lalu.
***
SEJUMLAH narapidana kasus korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin yang berbincang dengan Tempo menyatakan pelesiran ke luar penjara seperti yang dilakukan Budi Susanto terjadi sejak dulu. Termasuk selama empat bulan Wahid Husein memimpin Sukamiskin. Dua narapidana mengatakan tahanan memanfaatkan izin berobat dan izin luar biasa, seperti menjenguk keluarga yang sakit, untuk berjalan-jalan, bahkan menginap.
Saat menggeledah Sukamiskin pada Jumat malam ketika penangkapan, penyidik KPK menemukan dua sel ditinggalkan penghuninya. Mereka adalah adik bekas Gubernur Banten Atut Chosiyah, Chaeri Wardana alias Wawan, serta bekas Bupati dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan, Fuad Amin. Wawan narapidana kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan kasus korupsi alat kesehatan, sedangkan Fuad terjerat kasus suap pengadaan gas alam.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Liberty Sitinjak mengatakan Wawan kembali ke selnya pada Sabtu sore. Sedangkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami mengatakan Fuad dirawat di Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung, karena muntah darah. Liberty membantah kabar bahwa keduanya pelesiran. ”Kami belum menemukan indikasi mereka jalan-jalan,” ujarnya.
Dua pejabat di KPK mengatakan penyidik komisi antikorupsi mencurigai Wawan kerap keluar dari penjara. Suami Wali Kota Tangerang Airin Rachmi Diany itu diduga berkali-kali mengunjungi daerah Cikarang, Tangerang Selatan, dan Serang. Penyidik juga menengarai Wawan masih mengatur berbagai proyek pemerintah daerah di wilayah Banten dari penjara. Sedangkan Fuad terpantau pernah ke Surabaya.
Kuasa hukum Wawan, Maqdir Ismail, membantah jika kliennya disebut kerap bepergian secara bebas dari penjara. ”Sepanjang yang saya tahu, dia memang kerap sakit. Kalau ke luar penjara pasti untuk berobat,” katanya. Dia juga menyangkal kabar bahwa Wawan masih menjalankan perusahaan dari balik jeruji. Sedangkan pengacara Fuad saat persidangan, Rudy Alfonso, mengaku tak mengetahui bahwa Fuad kerap pelesiran. ”Saya sudah bukan pengacaranya.”
Dua narapidana korupsi di Sukamiskin mengatakan fasilitas izin ke luar penjara, terutama Senin dan Kamis, menjadi dagangan Kepala LP Sukamiskin Wahid Husein dan Fahmi Darmawansyah. Keduanya kompak menyebutkan bahwa izin ke luar penjara menjadi wilayah bisnis Fahmi. Melalui jalur ini, narapidana bahkan tak perlu melalui pemeriksaan kesehatan oleh dokter di lembaga pemasyarakatan. Jika melalui prosedur resmi, tahanan harus mendapatkan rekomendasi dari dokter yang kemudian dibahas oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan—antara lain beranggotakan kepala pengamanan dan kepala penjara—dan diputuskan oleh kepala lembaga pemasyarakatan.
Biasanya tahanan harus membayar Rp 10 juta jika ingin keluar tanpa menginap. Jika tak kembali, napi bisa mengeluarkan duit Rp 15-30 juta. Pengawalannya pun hanya formalitas. ”Semua duit disetor melalui Andri Rahmat. Dia orang kepercayaan Fahmi,” ujar seorang narapidana. Setelah itu, duit diberikan kepada Kepala LP Sukamiskin Wahid Husein melalui anggota stafnya, Hendri Saputra. KPK juga menangkap Hendri dan menjadikannya sebagai tersangka bersama Wahid. Sebab, dari hasil penggeledahan di rumahnya, KPK menemukan duit Rp 27,255 juta. Saat keluar dari kantor KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka pada Sabtu dua pekan lalu, Fahmi memilih bungkam ketika ditanya seputar permainan di LP Sukamiskin itu.
Kedua narapidana itu juga menyebutkan bahwa Fahmi tak sendirian. Mereka kompak menyebut nama Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel Mallarangeng, narapidana kasus korupsi proyek Hambalang, Bogor, Jawa Barat, bekerja sama dengan Fahmi. Keduanya memang sama-sama menempati blok timur. ”Keduanya ada di kelompok yang sama. Perannya pun sama,” ucap narapidana korupsi yang lebih dari dua tahun ditahan di Sukamiskin tersebut. Choel, menurut mereka, juga terlibat dalam jual-beli kamar.
Choel belum bisa dimintai tanggapan. Dia tak menjawab surat permintaan wawancara yang dititipkan kepada sipir penjara. Pengacara Choel, Harry Ponto, mengatakan tak berhak mewakili kliennya berbicara dengan media. ”Saya tidak tahu sama sekali urusan itu,” ujarnya.
Seorang narapidana kasus korupsi mengatakan dia dan teman-temannya tak berani melawan Choel dan Fahmi. ”Kami takut diterbangkan jika melawan,” katanya. Istilah ”diterbangkan” berarti narapidana tersebut dipindahkan ke penjara lain.
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Febri Diansyah, mengatakan belum ada informasi keterlibatan narapidana lain ihwal pengurusan izin keluar. Sedangkan Ketua KPK Agus Rahardjo membenarkan adanya jual-beli surat izin ke luar penjara. ”Kami sudah mendengar itu sejak dulu. Tim penyidik masih mendalaminya,” ujar Agus. STEFANUS PRAMONO, SETRI YASRA, BUDIARTI UTAMI PUTRI (JAKARTA), LINDA TRIANITA (BANDUNG), HISYAM LUTFIANA (KARAWANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo