Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seni itu doa. Seni itu takbir. Seni itu jeprut. Di masa ketika agama dipersempit jadi hukum-hukum, dan doa berubah jadi usaha menghimpun pahala, dan takbir bukan lagi sebagai ekspresi terpesona, kesenian --setidaknya dalam diri perupa Tisna Sanjaya-- memulihkan rasa syukur dalam hidup, kepada hidup, yang tak selamanya terang benderang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tisna dikenal sebagai seniman grafis dengan teknik etsa: sebuah teknik yang prosesnya mungkin bisa disejajarkan dengan pembuatan batik. Seperti pada batik, etsa tak sekaligus menampilkan gambar yang kita bikin; ada tahap-tahap yang harus ditempuh. Dan seperti pada batik, etsa bertolak dari garis, bukan sapuan kuas, termasuk dalam membentuk chiaroscuro, kontras gelap-terang seperti dalam karya Rembrandt. Beribu-ribu garis bisa diguratkan untuk membuat rupa tertentu, tapi, seperti seorang pembatik, seorang seniman etsa terbiasa dengan yang tak terduga dari karyanya sendiri. Baru di akhir proses, setelah dicetak, hasilnya akan kelihatan --mungkin tak seperti yang diperkirakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya kira itu yang mendekatkan Tisna dengan etsa: asyik dengan yang tak terduga. Banyak sekali dalam karyanya yang tak dikendalikan rancangan: ada kerumitan, keganjilan, khaos, meskipun kemudian menghasilkan kesan selaras. Yang "indah", jika kata ini masih bisa kita pakai, adalah yang tampil selalu sebagai surprise, beda dan bebas. Tak ada klise. Tak ada repetisi. Karya grafis berulang kali dicetak, tapi tiap tindasannya membawa perbedaan, seakan-akan tampil buat pertama kalinya, seakan-akan diekspresikan secara baru,"seperti zikir", kata Tisna. Karya seni adalah proses terpukau dan memukau yang tak kunjung berhenti.
Bagi Tisna, itu sumber rasa syukur. Doanya bukan meminta pahala, karena ia merasakan limpahan karunia, melainkan menghubungkan diri dengan yang telah menyediakan karunia. Takbirnya bukan untuk memobilisasi orang ramai, melainkan ungkapan terpesona kepada yang ada dan Yang Menghadirkan Ada. Hidup ditempuhnya bukan dalam bentuk yang telah jelas awal dan arahnya. Hidup dialaminya sebagai yang terbuka, digeluti dengan ikhlas, tanpa sikap a priori. Hidup adalah jeprut, sepatah kata Sunda yang tak bisa diterjemahkan, untuk menggambarkan suatu sikap yang tak ingin menyelesaikan percakapan yang bertele-tele tentang makna, percakapan yang tak mau mengakui bahwa kita sebenarnya culun, tak tahu mau ke mana, dari mana, dan untuk apa.
Pada saat yang sama, hidup yang terbuka mendiami bumi secara puitis.
Puisi adalah energi yang datang dari matahari, angin, tetumbuhan, air, anak-anak yang tersenyum dan menangis, minuman dan makanan yang diserap. Kehidupan sehari-hari adalah puisi, sastra yang ditulis di alam.
Dari sini kita bisa mengerti kenapa karya seni Tisna meluas --bukan dalam arti ekspansif, melainkan dalam arti tak berdinding. Aksen ruang perupa ini menampakkan dirinya bukan dalam wujud geometris, melainkan dalam gerak ke pelbagai penjuru. Sang perupa etsa juga seorang pemain teater, dan pemain teater ini juga orang yang bergumul dengan persoalan sosial-politik --khususnya soal-soal lingkungan. Tisna bekerja dalam kesunyian studio, melahirkan terang dari kegelapan asam dan tinta, tapi ia juga turun ke jalan untuk memprotes taman kota yang terancam.
Hidup baginya tak dibingkai. Hidup yang terbingkai, Gestell, dalam pengertian Heidegger, hanya cocok untuk kebutuhan mesin dan ilmu-ilmu. Alam diukur, diuji, dipakai. Sungai Citarum hanya diperlakukan sebagai pelengkap proses industri --tempat yang murah untuk membuang limbah.
Tapi bagi yang memandang hidup sebagai kediaman yang puitis, Citarum adalah sesuatu yang lebih: suara arusnya, gerak ombaknya, cahaya yang jatuh di airnya, keakrabannya dengan pohon dan rumpun sepanjang tebing --bahkan hal-hal lain yang tak kasatmata. Kita bisa menghargai dan merawat semua ini jika kita tak membentuk bingkai, tak menguasainya, tapi mengikhlaskannya, menyambutnya dengan Gelassenheit.
Dalam sikap itulah seni Tisna menyongsong keanekaragaman, yang sepele, yang serius, yang lucu, yang spiritual, yang sensual. Karya Tisna Sanjaya adalah karya Si Kabayan, seperti "the Fool" dalam King Lear Shakespeare: komikal, kocak, sembarangan ngomong, tapi di celah-celahnya selalu terlintas kearifan. Si Kabayan adalah antitesis bagi para pengkhotbah agama yang gemuruh tegas karena merasa telah menemukan Kebenaran. Si Kabayan juga antitesis para penguasa yang mengira sanggup mengendalikan keadaan dan perubahan, juga perancang dunia yang berasumsi bahwa yang ada harus bisa diterjemahkan dalam data.
Dalam esainya yang perseptif, "Sembahyang Tisna", kurator Hendro Wiyanto memakai istilah"gnostik" bagi karya dan aktivisme Tisna Sanjaya: di dalamnya ada pengakuan bahwa hidup mengandung banyak hal yang tak tersentuh akal yang ingin memperalatnya. Tapi justru itu Tisna mengakui adanya rahmat.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo