PENGADILAN tampaknya semakin sering menganulir wewenang arbitrase, walaupun perwasitan di luar pengadilan itu sudah dipilih oleh para pelaku bisnis yang kemudian beperkara. Tampaknya, pengadilan tidak begitu menghiraukan Undang-Undang No. 30/1999 tentang Arbitrase, yang secara eksplisit menyatakan bahwa pengadilan tak boleh mengadili perkara yang perjanjiannya berklausul arbitrase.
Ketidakpedulian lembaga yudikatif itu terbukti dari perkara listrik swasta beberapa waktu lalu. Lewat putusan sela (sebelum vonis) yang diambilnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan berwenang mengadili perkara Perusahaan Listrik Negara (PLN) melawan PT Paiton Energy. Dua putusan serupa juga terjadi pada sengketa listrik swasta antara PLN dan Mid American Energy.
Baru-baru ini, dalam perkara PT Roche Indonesia melawan PT Tempo, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan hal senada. Padahal, tak beda dengan kontrak listrik swasta tersebut di atas, perjanjian distribusi obat-obatan antara Roche dan Tempo juga memuat pilihan hukum lewat forum arbitrase.
Roche, yang bermarkas besar di Swiss, dikenal sebagai produsen berbagai macam obat yang digunakan secara luas di sini seperti Redoxon, Supradyn, Saridon, dan Rennie. Adapun PT Tempo adalah anak perusahaan Tempo Scan, yang bertindak sebagai distributor tunggal produk Roche di Indonesia. Hubungan bisnis mereka sudah terjalin selama 25 tahun.
Namun, hubungan itu retak begitu Dieter Gerbade menjadi presiden direktur baru di Roche. Dieter rupanya beranggapan, perjanjian distribusi antara Roche dan Tempo yang tak ada batas waktu berakhirnya bisa melanggar larangan praktek monopoli. Karena itu, Dieter bermaksud mencari distributor pendamping Tempo di sini.
Untuk itu, perjanjian keagenan antara Tempo dan Roche harus diputus dulu. Perjanjian itu menyangkut dua divisi obat-obatan Roche, yakni obat bebas, seperti Redoxon, dan obat dengan resep dokter, misalnya Valium. Yang dibatalkan Roche pada 31 Agustus 1999 adalah perjanjian distribusi untuk obat bebas. ''Sesuai dengan perjanjiannya, para pihak bisa membatalkan salah satu divisi tanpa pemberitahuan kepada pihak lainnya," kata kuasa hukum Roche, T. Mulya Lubis.
Pemutusan kontrak secara sepihak itu dianggap sewenang-wenang oleh Tempo. ''Seharusnya dibicarakan dulu, jangan langsung potong begitu," ujar kuasa hukum Tempo, Amir Syamsuddin. Menurut Amir, tindakan Roche sama sekali tak mempertimbangkan jasa Tempo, yang selama 25 tahun telah membangun sistem jaringan penyaluran obat Roche di Indonesia. Dan untuk itu semua, Tempo telah melakukan investasi cukup besar, baik dalam bentuk uang, barang, gudang, maupun sumber daya manusia.
Kecuali itu, menurut perjanjiannya, hubungan tersebut hanya bisa diputuskan bila Tempo terbukti wanprestasi—kondisi yang justru tak pernah dialami perusahaan ini. Bahkan, tahun lalu, Tempo sukses memasarkan produk Roche senilai Rp 52 miliar. Tempo juga berusaha menaati aturan main Roche, umpamanya tak membuat obat yang persis dengan milik Roche.
Mungkin hal-hal seperti itu menyebabkan pengadilan ''berpihak" pada Tempo. Pada 22 Oktober 1999—meski sidang pertama perkara itu baru pada 4 November 1999—pengadilan telah menyita pabrik Roche di Cimanggis, Bogor. Akibatnya, Roche tak bisa memasok produknya ke apotek-apotek. Tak cuma itu. Pada 25 Januari 2000, pengadilan juga menyatakan berwenang mengadili sengketa tersebut.
Putusan itu tentu menyenangkan bagi Amir. Menurut pengacara ini, kalau perkaranya menyangkut masalah bisnis, misalnya pembayaran, pengangkutan, perhitungan komisi, semua hal itu memang wewenang arbitrase. Tapi, ''Perkara ini murni yuridis, menyangkut perbuatan melawan hukum akibat pembatalan perjanjian secara sepihak. Jadi, bisa ditangani pengadilan," ujarnya.
Lagi pula, tutur Amir, begitu Roche memutuskan perjanjian secara sepihak—tanpa melalui arbitrase sebagaimana tercantum pada perjanjian antara kedua belah pihak—sejak itu pula Roche sudah melepaskan haknya untuk menggunakan arbitrase. Jadi, kalau Roche sekarang mempersoalkan kompetensi arbitrase, tentu terlambat lantaran perkara sudah di pengadilan.
Sikap Mulya Lubis lain lagi. Ia menyatakan banding atas putusan sela tersebut. ''Putusan itu salah kaprah. Bisa menjadi preseden buruk bagi dunia hukum dan penanaman modal asing di Indonesia," katanya. Dari segi Undang-Undang Arbitrase, jelas putusan itu tak bisa dibenarkan. Begitu pula dari segi dalil bahwa sengketa itu bukan masalah bisnis. ''Itu alasan klasik. Untuk apa orang membuat perjanjian arbitrase kalau bukan untuk menyelesaikan sengketa bisnis? Itu sudah praktek hukum di dunia internasional," Mulya menandaskan.
Happy S., Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini