Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASAS nebis in idem (orang tak boleh dituntut dua kali untuk perkara yang sama) jelas bukan sekadar pelengkap ataupun dekorasi. Selain berguna bagi ketertiban peradilan, prinsip itu juga penting agar orang tak sampai dirugikan karena dua kali diadili gara-gara perkara yang sama. Namun, dalam sebuah perkara impor fiktif di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, terdakwa Tansri Benui dan Soesanto Leo ternyata bakal dua kali diadili: dengan tuduhan penipuan dan korupsi.
Untuk perkara pertama yang berdelik penipuan, dua kakak beradik yang juga pemilik dan pengurus CV Wira Mustika Indah itu telah divonis Senin pekan lalu. Majelis hakim yang diketuai Soeratno menghukum mereka masing-masing dengan pidana dua tahun penjara. Kedua pengusaha pabrik paku dan seng itu dianggap terbukti melakukan impor kawat baja fiktif, sehingga merugikan Bank Prima Ekspres senilai US$ 688 ribu.
Sebagai pihak yang kalah perkara, kedua bersaudara bukan tidak terguncang batinnya. Dalam keadaan seperti ini, Kejaksaan Tinggi Jakarta telah pula menyidik mereka dalam perkara impor fiktif serupa. Kali ini kejaksaan menggunakan tuduhan korupsi, dengan nilai kerugian negara yang jauh lebih besar, yakni US$ 17 juta plus Rp 40 miliar. Seperti kata Jaksa Deddy S. Harahap, angka ini berasal dari kredit sindikasi 12 bank, terdiri dari bank swasta dan bank pemerintah, yang dikoordinasi Bank Prima Ekspres.
Pengacara Alamsyah Hanafiah kontan melancarkan protes. ''Kalau subyek dan obyek perkaranya sama, itu nebis in idem. Jelas tidak bisa," demikian alasannya. Kendati bersuara keras, Alamsyah mengaku belum menerima surat kuasa dari kedua kliennya.
Kasus impor fiktif itu sendiri terbongkar pada akhir 1997. Ketika itu setidaknya tiga lembar L/C (letter of credit atau jaminan bank atas wesel ekspor-impor nasabah) bernilai US$ 688 ribu, yang dibiayai 12 bank sindikasi Bank Prima Ekspres, dikemplang terdakwa.
Rupanya, impor kawat baja tadi merupakan tipuan belaka. Pemasok kawat baja yang disebut-sebut bernama PT Tri Niaga Enterprise di Singapura nyatanya milik Tansri Benui sendiri. Kapal MV Gang Qiang, yang dikatakan mengangkut bahan impor itu dari Singapura ke Tanjungpriok, Jakarta, juga tak pernah ada.
Menurut Jaksa Deddy S. Harahap, setelah perkara itu dilimpahkan oleh kepolisian ke kejaksaan, ternyata kejaksaan tak cuma menemukan kejanggalan pada tiga L/C tadi, melainkan sampai 111 lembar L/C. Tak mengherankan bila nilai kerugian akibat pembobolan kredit impor itu menjadi US$ 17 juta ditambah Rp 40 miliar.
Seharusnya, begitu menemukan fakta yang jauh lebih besar dari hasil pengusutan polisi, kejaksaan bisa langsung memberkas perkara itu dengan tuduhan korupsi. Dengan cara itu, pengusutan tak perlu dilakukan sampai dua kali. Cara ini juga pernah dilakukan kejaksaan, misalnya sewaktu memproses perkara para pemilik dan pengurus bank yang membobol bank mereka sendiri.
Namun, Jaksa Deddy S. Harahap bersikeras bahwa pengusutan kasus korupsi dalam perkara impor fiktif itu tidak melanggar asas nebis in idem. ''Meski modus operandinya sama, itu dua perkara yang berbeda. Jumlah L/C dan nilai kerugiannya juga jauh berbeda," ujarnya.
Sementara itu, Pengacara Alamsyah Hanafiah merasa yakin bahwa kliennya benar-benar melakukan impor kawat baja. Hal itu, katanya, dibuktikan dengan berbagai keterangan, baik dari instansi pabean, bea dan cukai, maupun perdagangan. Katanya, kalaupun terjadi penyimpangan, sesuai dengan perjanjian kredit impor antara CV Wira Mustika Indah dan sindikasi Bank Prima Ekspres, seharusnya aset CV Wira-lah yang disita kreditur.
Yang pasti, dua kali penuntutan dalam perkara serupa bukan terjadi kali ini saja. Preseden serupa juga terjadi pada kasus Bank Bali, dengan terdakwa mantan direktur utama Bank Bali, Rudy Ramli. Semula Rudy diadili hanya dengan delik perbankan. Belakangan, ia diberkas lagi dengan tuduhan korupsi. Untung saja, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan perkara pertama. Itu gara-gara jaksa salah mencantumkan pasal dakwaan.
Hp. S., Edy Budiyarso, dan Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo