HASIL Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) di Timor Timur sejak awal sudah mengundang kontroversi. Dari kubunya masing-masing, tim KPP HAM dan tim advokasi para jenderal bertubi-tubi melontarkan pendapat mereka sehingga masalah sebenarnya—tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur—luput dari perhatian.
Sebagaimana luas diberitakan, laporan komisi yang diketuai Albert Hasibuan itu, setelah diserahkan ke Komnas HAM dan Jaksa Agung Marzuki Darusman, diumumkan Senin pekan lalu. Nama aparat sipil, polisi, dan militer yang diduga terlibat dicantumkan di situ, termasuk nama beberapa jenderal TNI—di antaranya Jenderal Wiranto.
Keesokan harinya, pengumuman nama-nama tadi diprotes oleh tim advokasi perwira tinggi TNI yang dipimpin mantan Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara, Muladi. Penyebutan nama itu—terutama nama para jenderal—dinilainya telah melanggar asas praduga tak bersalah. Berdasarkan prinsip ini, seseorang tak boleh dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
"Pengumuman KPP HAM dengan menyebutkan nama-nama perwira TNI itu sudah men-judgement seakan-akan mereka bersalah," kata Muladi. Menurut pengalamannya selama lima tahun menjadi anggota Komnas HAM, lembaga penyelidik kasus pelanggaran hak asasi itu sangat berhati-hati dalam menyebut nama. Tapi laporan KPP HAM, "Dengan bukti permulaan yang kurang dan cara penyelidikan yang tak memenuhi standar hukum pidana, sudah berani menyimpulkan, bahkan menyebut nama," katanya menyesalkan.
Rekan Muladi di tim advokasi itu, Adnan Buyung Nasution, lebih garang. Buyung beranggapan, pengumuman hasil kerja KPP HAM juga merupakan trial by the press (peradilan lewat pers). "Hakim saja bila memvonis seseorang tak boleh mengumumkan vonis itu di koran. Itu pidana tambahan. Tapi ini, pelanggaran hak asasi yang belum tentu bersalah sudah diumumkan," ujar Buyung. Diingatkannya, pengumuman nama-nama itu tak ada dasar hukumnya, baik dalam Undang-Undang tentang HAM Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Peradilan HAM, maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jelas, "Mereka telah menghalalkan segala cara, merusak supremasi hukum, dan menginjak-injak hak asasi para perwira tinggi TNI," kata Buyung berapi-api.
Albert Hasibuan dengan tenang menepis tudingan itu. "Nama-nama yang disebut itu selalu dibubuhi kata-kata "diduga". Artinya, mereka sama sekali belum dianggap bersalah, apalagi seolah-olah telah dihukum," kata Albert. Lagi pula, bisa-tidaknya mereka dinyatakan sebagai tersangka, itu wewenang penyidik yang timnya harus segera dibentuk oleh Jaksa Agung.
Menurut Albert, "Untuk mempertanggungjawabkan hasil kerja KPP HAM, tentu pelanggaran hak asasinya harus diperjelas, termasuk siapa yang diduga melanggar dan bentuk pelanggarannya." Ia juga mengingatkan, pengumuman hasil KPP HAM sudah sesuai dengan wewenang KPP HAM yang dimandatkan oleh Komnas HAM. Selain itu, tak ada larangan dalam KUHAP untuk penyebutan nama dimaksud.
Menanggapi "pleidoi" Albert, Mohammad Assegaf, yang juga anggota tim advokasi tersebut, ikut bersuara. "Dalam pengumuman itu, kata-kata 'diduga' hanya satu kali disebut. Selebihnya sudah menuding. Kalimat yang menyebut Wiranto harus dimintai pertanggungjawaban itu sudah menempatkan Wiranto sebagai tersangka," demikian Assegaf.
Belum bisa dipastikan apakah protes keras itu akan berlanjut ke pengadilan atau tidak. Yang jelas, dalil "melanggar asas praduga tak bersalah" yang kini gencar dilontarkan kalangan pengacara itu dulu juga sering diulang, terutama dalam kaitan dengan desakan masyarakat yang ingin agar pemberantasan korupsi secepatnya dilakukan. Sebut saja ketika Indonesian Corruption Watch melaporkan kasus dugaan suap ke alamat Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Juga tatkala nama-nama penerima kucuran dana Bank Bali diumumkan berdasarkan audit PricewaterhouseCoopers.
Dalam dua kasus tersebut, pihak-pihak yang mencoba mengungkapkan berbagai indikasi dan bukti akan adanya korupsi langsung dituding melanggar asas praduga tak bersalah. Padahal, asas praduga tak bersalah, sebagai prinsip akuisitur—berbeda dengan inkuisitur yang didominasi peradilan rakyat atau orang per orang—lebih ditujukan ke alamat peradilan negara, terutama aparat polisi, jaksa, dan hakim, agar tak sewenang-wenang menganggap tersangka sudah bersalah. Jadi, bukan ditujukan terhadap masyarakat pelapor. Kalaupun pelanggaran asas itu dianggap telah merugikan hak asasi orang yang dilaporkan, itu pun perlu ditimbang dengan menilik skala dan kepentingan umum dari kasus yang dilaporkan.
Happy S., Arif A. Kuswardono, dan Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini